Burung Nakal Modal Rebahan

ADA jenis burung kangkok dari keluarga Cuculidae yang menyimpan telurnya di sarang burung lain. Ketika telur kangkok menetas, ia akan mendepak telur atau anak si pemilik sarang ke luar. Anak burung itu kemudian menipu si pemilik sarang seolah sebagai anaknya.

Saya pernah melihat cara berkembang biak model parasit itu di beberapa video dan tempo hari melihatnya juga di pembukaan film Vivarium. Di film itu, ada seorang anak kecil yang mempertanyakan, kenapa ada burung yang demikian jahat? Ibu gurunya tercekat dan nyaris tak bisa menjawab, kemudian berkata kira-kira, ”Begitulah alam.”

Sekali waktu saya pernah mendengar cerita tentang pasangan suami istri. Karena si istri memiliki karir dan penghasilan lebih baik, juga sudah punya rumah, si suami tinggal di rumah istrinya. Karena kasihan dengan ibunya yang tinggal di rumah kecil, si suami pun mengajak ibunya tinggal bersama.

Problem mulai muncul karena si ibu rupanya sangat kolot. Dia tak senang menantunya sibuk kerja dan kurang banyak mengurus urusan rumah tangga seperti mencuci, memasak, dan membersihkan rumah.

Dia merasa itu pekerjaan seorang istri, bukan pembantu. Lebih parah lagi, si suami memihak ibunya.

Apakah kita dengan gampang bisa mengatakan ”begitulah alam”? Apakah seorang suami dan mertua yang masuk ke rumah milik seorang istri dan kemudian mengatur rumah tersebut merupakan sesuatu yang alamiah, seperti kelakuan si kangkok dianggap lumrah? Saya yakin, seperti si anak di film itu, akan ada yang berkomentar, ”Jahat sekali, sih?”

Pernyataan ”begitulah alam” seolah-olah merupakan hukum yang tak dapat diganggu gugat. Kenyataannya tidak sesederhana itu.

Burung-burung yang sarangnya diinvasi akhirnya juga berevolusi. Mereka sadar dan mulai waspada untuk tidak menetaskan telur yang bukan miliknya.

Sementara itu, burung-burung yang berkembang biak secara parasit tersebut juga ikut berevolusi. Mereka terus mencari cara untuk menipu burung-burung pemilik sarang.

Hukum alam yang sesungguhnya adalah pertarungan hidup dan mati, siapa yang akan melanjutkan keturunannya dan siapa yang akan terancam kepunahan.

Bertahan hidup dan berkembang biak merupakan hal paling mendasar makhluk hidup, yang bahkan menentukan arah evolusinya. Bagi kebanyakan burung, bersusah payah mengumpulkan ranting dan rumput kering, lalu menyusunnya di ranting, kadang melumurinya dengan ludah, merupakan bagian dari naluri bertahan hidup dan berkembang biak itu.

Bagi si kangkok, menyimpan telur di sarang burung lain juga proses yang sama. Jika ada cara yang gampang menetaskan telur, kenapa ia harus repot-repot membangun sarang? Jika ada burung lain yang bisa memberi makan anaknya, kenapa ia tidak mempergunakan waktu untuk mencari makan buat diri sendiri?

Sekitar dua minggu lalu saya sempat didorong juga oleh naluri bertahan hidup. Entah kenapa, tiba-tiba saya berpikir, bagaimana jika toko-toko tutup? Bagaimana jika tukang sayur tak lagi datang? Memangnya saya bisa makan buku dan laptop? Saya akhirnya dengan penuh semangat belajar membuat tempe, dipandu internet.

Setelah merasa mengerti, saya membeli semua bahan. Bukan hanya kedelai dan ragi, saya bahkan membeli daun pisang. Saya ingat di waktu kecil, tempe yang dibungkus daun pisang dan bentuknya tipis serta kecil lebih enak daripada tempe berbentuk balok seperti di supermarket. Selama tiga hari saya berkutat, dan berhasil membuat tempe.

Boleh dibilang saya menyukai tempe bikinan saya sendiri itu. Saking senangnya, saya melakukannya lagi selang beberapa hari dan membagi-bagikannya kepada tetangga. Lalu, sambil rebahan dan malas bergerak, saya membayangkan seandainya saya seriusi, mungkin saya bisa bisnis dan punya penghasilan seratus ribu rupiah sehari.

Masalahnya, seratus ribu rupiah sehari tak menutupi tagihan hidup saya. Pada saat yang sama, tangan saya cuma dua, tak mungkin membuat tempe lebih banyak.

Otak burung kangkok saya mulai bekerja dengan nakal. Kalau saya mengambil pekerja lima orang, tentu mereka bisa menghasilkan keuntungan lima ratus ribu rupiah sehari. Per orang saya bayar lima puluh ribu rupiah, sisanya untuk saya.

Jika saya bisa menghasilkan dua ratus lima puluh ribu rupiah sehari sambil rebahan, buat apa saya bikin tempe sendiri? Keuntungan saya akan semakin banyak jika ada sepuluh orang pekerja. Apalagi ratusan atau ribuan. Begitulah awal mula naluri kangkok di dunia manusia.

Jika burung itu menginvasi sarang burung lain untuk membesarkan anaknya, saya cukup menginvasi tenaga orang lain untuk menambah keuntungan. Ngomong-ngomong, ada yang lebih enak dari itu, sih. Apa? Cukup kirim surat berkop Sekretariat Negara untuk dapat proyek, misalnya.

Apakah kita akan mengatakan ”begitulah alam”? Seharusnya tidak. Bahkan, anak kecil di film Vivarium pun tahu, ada keculasan di sana, ada kejahatan, dan ada ketidakadilan. (*)

Eka Kurniawan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow

Get every new post on this blog delivered to your Inbox.

Join other followers: