Dua Puluh Dua

MARI bayangkan sebuah peristiwa dua puluh dua tahun silam, tepat lima hari setelah ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang keempat puluh enam. Seorang wanita dengan tertatih, bertarung nyawa, antara hidup dan mati, memperjuangkan kelahiran anaknya yang dikandung dalam rahim selama kurang lebih sembilan bulan. Seorang lelaki separuh baya, berharap cemas menantikan kelahiran bayinya, berjalan kesana-kemari, ia menggigit keras rahang pipi, tangannya mengepal kuat, keringat dingin membasahi permukaan kulit, wajahnya melukiskan rasa takut, was-was bila terjadi hal yang tak diinginkan pada istri dan bayinya.

Petang datang membayang dan persalinan tak kunjung usai, hingga malam menjelang, tepat dua jam sebelum tengah malam. Suara tangis bayi laki-laki pecah ke permukaan bumi diiringi oleh senyum haru mereka, mereka tersenyum bangga menatap wajah polos bayi laki-laki itu. Bayi itu tetap menangis hingga perlahan mereda ketika suara adzan nan pelan dibisikkan di telinga kanannya. Peristiwa itu tak akan pernah hilang dari ingatan meski hanya sebentar, selalu menjadi kenangan tersimpan di palung hatinya yang paling dalam.

Bayi laki-laki itu akhirnya menjelma menjadi anak kecil yang periang, menghabiskan waktu petang bermain di sungai, bermain bedil bambu, berlari tanpa beban bersama teman sepermainan. Waktu berlalu, putaran hidup mengantarkannya pada banyak hal baru yang mesti dilihat dan dipelajarinya sebagai bekal menghadapi zaman yang pelik. Keluarga, sahabat, tetangga, orang-orang sekitar adalah orang yang paling berjasa dalam hidupnya.

Ia tumbuh sehat dan kuat, dibesarkan di tengah keluarga yang disiplin, penuh kesahajaan dalam keseharian. Ia tumbuh dari darah seorang ayah pekerja keras, dari darah ibu yang penyayang. Darah itu menjadi satu, berbaur dalam urat nadi yang mengalir dalam tubuh. Bayi itu tumbuh menjadi remaja yang sederhana, ia tak pernah berkecil hati meski diejek teman karena pekerjaan ayahnya hanyalah tukang cukur rambut dan ibunya penjual sayur di pasar.

Pernah merasakan jatuh cinta dan patah hati secara bersamaan, membuat hatinya lebih kuat dan tangguh dalam menjalani hidup. Pertemuan demi pertemuan dengan gadis yang dicintainya membuat sadar bahwa cinta yang sejati tak pernah bisa dicari dari sebuah hubungan yang tak halal. Perpisahan adalah keputusan yang diambilnya, ia mengigit kuat pemahaman itu. Sembari menunggu waktu dan orang yang tepat ia menyibukkan diri dalam penantian, memperbaiki diri dengan banyak belajar hal baru, bekerja lebih giat, menambah wawasan, menatap dunia, memiliki hobi baru yang membantunya dalam meraih mimpi.

Waktu cepat sekali berputar, ia tak pernah mau menunggu meski sebentar. Waktu membawanya berlari dari dimensi masa kanak-kanak ke dimensi ruang yang baru. Hari ini adalah hari kesekian puluh ribu yang ia jalani sejak hari kelahiran itu. Hari ini, laki-laki itu mengucap do’a dalam diamnya.

“Tuhan, berikanlah aku keberkahan umur. Kuatkan dan tangguhkan jiwaku untuk selalu berada di jalan-Mu. Berikanlah kesehatan pada orangtuaku, ampunilah mereka sebagaimana mereka telah ia mengasihiku sejak kecil”.

Meski usianya telah bertambah, lelaki itu tetaplah anak kecil di mata ibunya. Anak laki-laki nakal yang selalu membuat kedua orangtua bahagia setiap kali pulang ke rumah. Dan lelaki itu adalah seseorang yang baru saja menuliskan cerita ini untukmu.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow

Get every new post on this blog delivered to your Inbox.

Join other followers: