Eka Kurniawan: An Unconventional Writer dan Corat- Coret di Toilet

PADA suatu hari saya membaca tulisan M. Aan Mansyur yang ia posting di blog miliknya (entah kenapa, hari ini domain tersebut sudah tak dimiliki olehnya). Ia menulis tentang Eka Kurniawan dan Anggota DPR, sebuah essai yang menarik untuk dibaca.

Dari sana saya mulai mencari tahu siapa Eka dan menemukan blognya. Sejak saat itu saya sering berkunjung ke blog milik Mas Eka, di ekakurniawan.com. Ia banyak menulis tentang jurnal di blognya. Berbagi pandangan terhadap karya- karya penulis yang ia baca. Kadang ia bicara tentang hal lain, tapi tetap saja ia berbicara tentang buku dan kesusastraan.

Saya penasaran seperti apa sosok Eka, ketika saya mengetahui bahwa ia disebut- sebut sebagai “An Unconventional Writer” dan salah satu Penulis terbaik sejak Pramoedya Ananta Toer. Lalu saya membeli buku “Corat- Coret di Toilet” miliknya. Sebuah buku berisikan 12 cerita pendek yang ia tulis dari tahun 1999- 2000an. Ini adalah buku pertama miliknya yang saya baca!

***

Corat- Coret di Toilet adalah salah satu cerita pendek yang ada di dalamnya, sekaligus menjadi judul buku tersebut. Cerpen Corat- Coret di Toilet diawali dengan kisah seorang Mahasiswa di kampus yang sedang BAB (Buang Air Besar) di toilet yang dindingnya baru saja dicat. Bocah itu mengeluarkan spidol dan menulis di dinding toilet, “Reformasi gagal total, Kawan! Mari tuntaskan revolusi demokratik”. Setelah itu menyusul lagi mahasiswa yang juga BAB di toilet sama membalas tulisan di dinding itu, “Jangan memprovokasi! Revolusi tak menyelesaikan masalah. Bangsa kita mencintai perdamaian. Mari melakukan perubahan secara bertahap.” Dari dua tulisan di dinding tersebut akhirnya menjadi tulisan sambung- menyambung bagi mahasiswa-mahasiswi yang BAB di toilet itu.

“Kau pasti antek tentara! Antek orde baru! Feodal, borjuis, reaksioner goblok! Omong kosong reformasi, persiapkan revolusi!” Kalimat yang ditulis seorang gadis dengan lipstik miliknya. Menyusul lagi balasan dari mahasiswa lain, “Hai Gadis! Aku suka gadis revolusioner. Mau kencan denganku?”

Di siang bolong muncul lagi gadis yang lain, lalu menulis balasan di dinding tersebut setelah menyelesaikan hajat di toilet itu. “Mau kencan denganku? Boleh! Jemput jam sembilan malam di cafe. NB: jangan bawa intel.”

Menyusul lagi tulisan lain yang mengomentari tulisan- tulisan sebelumnya. “Kawan, kalau kalian sungguh- sungguh revolusioner, tunjukkan muka kalian kalau berani. Jangan cuma teriak- teriak di belakang, bikin rusuh. Dasar PKI!”

Seminggu berlalu tanpa ada orang yang berani masuk ke dalam toilet tersebut. Sebab ada seorang oknum yang sengaja menghujani kakus dengan roket- roket yang keluar dari pantatnya tanpa dibersihkan! Sampah- sampah roket itu menumpuk, saling berpelukan di lubang kakus. Namun akhir ada juag seorang mahasiswa yang ‘terpaksa’ masuk ke kakus itu ketika semua toilet sedang penuh sementara ia bisa lagi mempertahankan diri agar tidak jebol. Disini mahasiswa itu mengakhiri kisah horor di toilet itu dengan aksi heroik, memejamkan mata dan menutup hidung, ia mengguyur lubang kakus, menyerang onggokan- onggokan yang nyaris tak berbentuk hingga semuanya larut dan menghilang. Ia ambil spidolnya dan segera ikut menulis, “Ini dia revolusioner brengsek, yang ngebom tanpa dibanjur! Jangan- jangan tak pernah cebok pula. Hey, Kawan, aku memang PKI: Penggemar Komik Indonesia. Kamu mau apa, heh?”

Coretan- coretan di dinding toilet itu makin banyak, mulai dari corat- coret nakal, cerdas maupun goblok, sebagaimana toilet- toilet umum di mana pun, di stadion, dan bahkan gedung- gedung apartemen.

Hingga akhirnya seorang mahasiswa alim merasa jengkel terhadap coretan tersebut. Lalu ia ikut menulis, meski hatinya menangis, “Kawan- kawan, tolong jangan corat- coret di dinding toilet. Jagalah kebersihan. Toilet bukan tempat menampung unek- unek. Salurkan saja aspirasi Anda ke bapak- bapak anggota dewan.”

Di bawah tulisan mahasiswa alim itu, tertulislah pula komentar dalam satu minggu. Hampir seratus setelah satu bulan kemudian. Tak jelas siapa saja yang menulis. Tulisan ditulis dengan beragama alat: pena, spidol, lipstik, pensil, darah, paku yang digoreskan ke tembok, patahan batu bata atau arang. Betapa inginnya mereka menanggapi tulisan tersebut. Hingga berlaku pepatah: tak ada rotan, akar pun jadi.

Tulisan pertama berbunyi: “Aku tak percaya bapak- bapak anggota dewan, aku lebih percaya kepada dinding toilet.”

Tulisan kedua berbunyi: “Aku juga.”
Dan seratus tulisan tersisa, juga hanya menulis, “Aku juga”.

***

Selain Corat- Coret di Toilet ada juga cerita lainnya seperti: Peter Pan, Dongeng Sebelum Bercinta, Teman Kencan, Rayuan Dusta untuk Marietje, Hikayat Si Orang Gila, Si Cantik yang Tak Boleh Keluar Malam, Siapa Kirim Aku Bunga?, Tertangkapnya Si Bandit Kecil Pencuri Roti, Kisah Dari Seorang Kawan, Dewi Amor dan Kandang Babi.

Saya tidak menyesal menghabiskan waktu untuk membaca tulisan Eka yang cukup cerdas, ia mampu mengangkat hal kecil yang menjadi masalah pada kehidupan manusia menjadi sebuah cerpen yang membuat kita berpikir.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow

Get every new post on this blog delivered to your Inbox.

Join other followers: