Eka Kurniawan: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas

SETELAH buku “Corat- Coret di Toilet” milik Eka selesai saya baca. Saya ingin membaca karya- karya lain miliknya. Salah satu buku kedua miliknya yang saya baca adalah “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas”.

“Hanya orang yang enggak bisa ngaceng bisa berkelahi tanpa takut mati,” kata Iwan Angsa sekali waktu perihal Ajo Kawir.

Cerita tentang kemaluan ini biasanya identik dengan dunia malam ataupun bencana dari alat kemaluan yang tak bisa dikendalikan. Namun pada buku ini Eka membuat hal tersebut berbeda melalui penokohan Ajo Kawir, sebatang kemaluan mampu mengajarkan tentang filsafat hidup.

Masa lalu Ajo Kawir normal saja, seperti bocah lainnya. Ia memiliki teman akrab, Si Tokek. Hingga suatu hari, Si Tokek mengajak Ajo Kawir untuk mengintip perempuan gila, Rona Merah. Gila karena suaminya dibunuh orang, Meski gila dan tidak montok, tapi yang ini berbeda. Kata Tokek.

Seharusnya malam itu menjadi malam yang menyenangkan bagi mereka. Namun apes, saat mereka mengintip Rona Merah. Datanglah dua orang Polisi bejat itu bermain dan memperkosa perempuan yang tak bisa berhenti tertawa dan menangis itu. Ajo Kawir dan Si Tokek menonton semua adegan yang dilakukan dua Polisi itu melalui celah kecil dinding rumah. Hingga kaki Ajo Kawir tergelincir dan suara gaduhnya mengagetkan semua orang. Si Tokek berlari, namun Ajo Kawir tertangkap basah. Ia dipaksa oleh dua Polisi itu untuk memperkosa Rona Merah, bukannya berdiri, kemaluan Ajo Kawir malah enggan dan tidur. Untuk waktu yang amat lama. Tetap tak berdiri meski dua belas pelacur telanjang di depannya, dan segala hal telah dicoba untuk membangunkannya.

Begitu nestapa kehidupannya karena burung yang tak bisa bangun, ia menghilangkan kegundahan tersebut dengan hobi berkelahi. Jadilah ia jagoan yang disegani. Keberaniannya membuat ia menjadi supir truk lintas pulau. Kemudian cerita berlanjut tentang orang- orang jalanan, kebut- kebutan truk di jalan raya, perkelahian yang berbuntut pembunuhan, hingga cerita asmara antara Ajo Kawir dan Iteung berujung pernikahan.

“Syarat pernikahan itu ada lima. Paling tidak itu yang kuingat pernah kudengar dari corong di masjid. Satu, ada kedua mempelai. Dua, ada wali perempuan. Tiga, ada penghulu. Empat, ada ijab kabul. Lima, ada saksi. Tak pernah kudengar pernikahan mensyaratkan burung yang berdiri,” kata Si Tokek.

Mungkin burung bisa menumbuhkan kehidupan baru. Namun tak ayal, ia adalah sebab bagaimana musibah bisa terjadi. Karena burung yang bangun, Rona Merah diperkosa. Karena burung pula, Si Iteung mendapatkan pelecehan seksual dari Guru BK, dan membuatnya jadi belajar dan hobi berkelahi. Karena burung yang tak bangun-bangun pula, Ajo Kawir jadi jagoan hebat.

Namun pada akhirnya burung Ajo Kawir mengajarkannya tentang kebijaksanaan. Tentang ketenangan. Bahwa walaupun kita semua keluar dari burung, hidup akan hancur bila terus menerus memprioritaskan masalah burung. Buktinya, dengan burung yang terus tertidur, Ajo Kawir paham betul bagaimana menuntaskan semua urusan dan pekerjaan. Bukannya terus menerus mendahulukan nafsu seksual.

Sastra tak mesti ditulis dengan ungkapan-ungkapan berkonotasi positif. Bukankah memang seharusnya begitu? Eka menawarkan sebuah sastra yang memotret kenyataan. Tak melulu harus bicara masalah moral dengan bahasa yang menggurui. Atau eksploitasi seksualitas untuk menambah bumbu layaknya cerita stensilan. Maka jangan heran jika menemui kata “ngaceng“, “tai“, “perek” dalam buku ini.

Satu hal yang menarik dari novel setebal 245 ini adalah keberanian Eka dalam menghidupkan bahasa-bahasa tabu yang cenderung dibunuh. Bisa dikatakan, Eka melalui novel ini hendak mengkritik kalangan konservatisme dari kacamata literer. Kritik bagi sebagian kalangan penulis yang mengharamkan atau menghindari sebagian kata karena dinilai tidak patut dan bercitarasa pornografi. Ia hendak membangkitkan kembali bahasa yang oleh sebagian pengguna bahasa dikebumikan dalam pusara tabu. Eka tak ingin menutup-nutupi kata-kata hanya karena faktor nilai rasa yang sifatnya subjektif. Meski demikian, karena kecakapan Eka, karya ini tidak terjebak pada karya vulgar nan erotik laiknya novel picisan.

Kebiasaan Eka menggunakan karakter dengan nama-nama yang unik dan sering merupakan julukan ditunjukkan juga di sini. Ajo Kawir, Si Tokek, Iwan Angsa (ayah Si Tokek), Iteung, Jelita, Mono Ompong, Si Kumbang, Si Macan (mantan penjahat), Paman Gembul (yang meminta Ajo Kawir untuk membunuh Si Macan), Rona Merah, Agus Klobot, Budi Baik (sesama petarung yang mencintai Iteung), Si Janda Muda, Perokok Kretek, dan Pemilik Luka adalah nama-nama yang imajinatif. Setiap nama menjadi tidak terlupakan karena punya peran masing-masing. Setiap nama dipertimbangkan dengan baik kemunculannya,dan khususnya nama-nama yang tidak berperan utama, memberikan kontribusi pada tindakan, pemikiran, dan transformasi dalam hidup para karakter utama.

Judul novel yang panjang dengan mudah akan melekat di lidah dan ingatan. Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas sesungguhnya melukiskan problematika yang dialami Ajo Kawir sebagai laki-laki impoten yang menginginkan kemaluannya bisa ereksi lagi (dan digunakan juga, tentu saja). Itulah sebabnya, sampul novel yang dirancang Eka Kurniawan sendiri, termasuk ilustrasinya, sebenarnya termaktub pada truk Ajo Kawir. Gambar seekor burung yang sedang tertidur pulas, nyaris seperti burung mati, dan di atasnya ada tulisan “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas”.

Melalui buku ini pantaslah jika Eka Kurniawan bukanlah penulis konvensional!

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow

Get every new post on this blog delivered to your Inbox.

Join other followers: