Mereka Bukan Kuli

Beberapa waktu lalu, saya mengantar Emak saya ke pasar. Seperti biasa, tak ada yang aneh, setelah tiba di pasar lalu saya pulang ke rumah. Namun, di tengah perjalanan saya melihat sebuah gedung yang baru saja hendak dibangun.

Beberapa peralatan bangunan, seperti mobil pengaduk semen, pasir, batubata, koral, rangka besi sudah siap untuk dirangkai. Puluhan kuli dengan pakaian lusuh, mengenakan helm, bersarung tangan bahu membahu mengangkat ember yang sudah diisi adukan semen.

Seperti piala bergilir, ember yang berisi adukan semen itu diangkat dan diberikan pada pekerja yang berada diatas lalu pekerja itu menyerahkannya lagi pada pekerja selanjutnya. Begitu seterusnya hingga
ember itu diterima oleh pekerja paling akhir yang akan menumpahkan adukan semen itu ke dalam tiang yang hendak dibangun. Keringat membasahi punggung baju mereka, ditambah dengan debu dan terik matahari yang membuat keringat mengucur lebih deras, dan pakaian yang lusuh bertambah lusuh dan kotor.

Pemandangan ini, menarik perhatian saya dan memaksa untuk menurunkan tuas gas dan berhenti sejenak. Aku memandangi mereka dari seberang jalan. Terlihat disana, ada seorang yang menunjuk para kuli, mengarahkan bagian mana yang harus dikerjakan lebih dahulu. Dia adalah mandor pekerjaan tersebut. Saya lalu berfikir, “betapa beruntungnya saya dengan usia muda seperti ini sudah bisa bekerja, membantu perekonomian keluarga.”

Mereka bukan kuli, mereka adalah pekerja istimewa. Istimewa dan bahkan lebih berharga daripada orang-orang yang suka mengadahkan tangan di jalan dengan kenyataan memiliki badan sehat dan kuat. Mereka bukan kuli, mereka adalah lelaki tangguh. Yang lebih suka mandi keringat, dibanding berkeluh kesah terhadap keadaan atau menangisi sesuatu yang tak dimiliki. Mereka adalah cermin jati diri, mereka bekerja bukan untuk hari ini saja, mereka bekerja setiap hari, dengan tenaga dengan hati. Mereka bahkan lebih tinggi derajatnya daripada mereka yang mengambil uang rakyat dengan sembunyi-sembunyi. Dan saya suka senyum mereka, senyum penuh keikhlasan yang dibalut tetesan keringat saat bekerja.

Kenyataan itu menampar pipi saya, membuat saya sadar untuk mensyukuri apa yang sudah digenggaman saat ini. Dan sejak hari itu, aku tak ingin mengeluh lagi.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow

Get every new post on this blog delivered to your Inbox.

Join other followers: