*Peluk, bukan tangkap

Sungguh, kritikan terbaik yg pernah ada di dunia ini datang dari orang2 yg sangat sayang kepada kita. Dan itu tidak pernah mudah. Bukan tidak mudah bagi yang menerima kritiknya. Melainkan bagi yang melepas kritik tsb.

Sulit sekali loh, mengingatkan orang yang kita sayangi. Takut disalah-pahami, takut nanti kontra-produktif. Takut nanti bertengkar. Tapi karena sayang, maka itu harus dilakukan. 

Saya pernah menyaksikan. Ada sahabat, susah payah dia menebalkan tekad, menguatkan niat, untuk menasihati sahabatnya. Susaaah sekali, saat disampaikan, dia seperti hendak menggigit putus lidahnya sendiri. Lantas apa yang terjadi setelah kalimat itu keluar? Sahabatnya terdiam, lantas bergegas memeluknya. ‘Terima kasih. Sungguh terima kasih telah mengingatkan.’ Mereka berdua bertangisan.

Itu contoh terbaiknya. Saat yang mengingatkan, dan diingatkan, sama2 jalan.
Atau ada kisah lain. Seorang ulama dan seorang pemimpin negeri sedang bertemu, lantas beranjak hendak shalat bareng. Mereka wudhu. Ulama itu membuka kerannya lebar2, sengaja sekali menumpahkan air sebanyak2nya. ‘Astagfirullah, wahai Ulama, bukankah berlebih2an air dalam berwudhu itu mubazir?’ Seru pemimpin negeri yang melihatnya. Ulama menatap pemimpin tersebut, ‘Benar. Tapi jika kamu bisa melihat betapa mubazirnya air ini keluar, kenapa kamu tidak bisa melihat renovasi istanamu, rumah2 dinasmu, belanja kendaraan2 mewahmu, perjalanan2 dinasmu, dan semua berlebihan2an kamu dan anak-buah mu?” Pemimpin itu terdiam.

Dalam ber-negara, saling mengingatkan itu adalah penting sekali. Apalagi jika sebuah negara mengaku dia demokrasi. Pemimpin dipilih oleh rakyat. Lebih2, saling mengingatkan adalah kuncinya. Semua orang bebas berpendapat, pandangan yang berbeda sangat welcome. Sepanjang disampaikan dengan baik.
Tapi saat seseorang/sekelompok orang sejatinya memang munafik, maka dia cuma mau semua orang memuji saja. Berbaris orang2 menyambutnya, maka semua orang harus bertepuk-tangan, bersorak, memuja-muja. Jangan ada suara yang berbeda. Sekecil apapun. Bahkan saat suara itu sangat sopan, sangat baik, dia tetap tidak terima. Amankan! Singkirkan orang itu dari barisan.
Kamu menyadarinya tidak sih? Itulah kemunafikan sejati.

Dan orang2 munafik ini, mereka lupa, orang2 yg mengkritik itu, boleh jadi sangat sayang kepada negeri ini. Mereka tertib bayar pajak, mereka tertib berkontribusi kepada negara. Dan mereka peduli atas masa depan negeri ini. Mereka bukan penjahatnya.

Sungguh, sampai kapan kamu akan memahami arti kata demokrasi yang sebenarnya. Memahami arti kata ‘abdi rakyat’ yang sejati. Karena bukan apa2, setiap sen gaji kamu, setiap senti seragammu, setiap jengkal kantormu, juga mobil dinasmu, semua dibayar oleh rakyat. Bahkan pajak penghasilan kamu, juga ditanggung negara, dibayar rakyat. Coba lihat sesekali slip gajimu itu. Kamu itu sudah digaji rakyat, pajak juga ditanggung rakyat.
Maka berterima-kasihlah.

Peluk erat siapapun yang mengkritik. Dengarkan. Sesakit apapun kritikan itu, boleh jadi malah membuat kamu besok2 lebih baik lagi melayani rakyat. Karena bukankah, hei, kamu sendiri loh yang rebutan pengin jadi pejabat, kamu sendiri yang rebutan pengin jadi PNS, Polisi, Militer, capek2 ikuta test, dll. Kamu paham tidak, kamu itu akan melayani rakyat. Kalau tidak mau dikritik, tdk mau dimintain tolong, ditanya2, maka jadilah youtuber saja. Selebgram. Atau seleb tiktok. Bebas.
Atau jangan2, negeri ini demokrasinya KW. Demokrasi hanya ada saat kamu mengemis minta dipilih, bermanis mulut menjawab saat test ingin jadi aparat, tapi setelah berkuasa, kamu maunya negeri ini jadi ‘kerajaan’. Dimiliki, dikuasai oleh keluarga2 dinasti, turun-temurun. Baik dinasti lama, maupun yang baru muncul. Anak, mantu, semua berebut jadi raja2 kecil baru.
Tabik.

*Tere Liye, penulis novel ‘Negeri Para Bedebah’

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow

Get every new post on this blog delivered to your Inbox.

Join other followers: