Perasaan- Perasaan Yang Menulis Ceritanya

BANYAK orang yang mengatasnamakan “mood” untuk berhenti menulis seperti yang biasa diucapkan lewat kalimat seperti ini: “Nanti saja setelah aku punya mood untuk menulis”, “Aku sedang tidak mood untuk menulis” dan lain sebagainya. Saya juga kerap melakukan hal sama. Meski saya telah berkomitmen untuk tetap menulis meski tidak mood, ternyata kedua tulisan saya yang ditulis dengan mood dan tanpa mood menghasilkan karya yang berbeda. Tulisan yang ditulis dengan mood jauh lebih baik dibandingkan saat tidak mood. Dan memang kita tak perlu memaksakan diri untuk menulis, cukup tulis apa yang bisa ditulis.

Secara umum kita semua mengetahui bahwa sebuah cerita/tulisan/makalah yang baik memiliki tiga unsur pembentuk utama, yakni: Pertama, Penyebab Konflik. Menciptakan sebuah konflik dalam cerita sungguh besar dampaknya bagi alur cerita yang akan kita tulis pada bab selanjutnya. Sebab, dari sinilah semua cerita berawal. Keahlian seorang Penulis-lah yang dituntut untuk mengembangkan sebuah konflik menjadi cerita baik untuk selanjutkan bisa mudah dimengerti oleh Pembaca. Kedua, Akibat Konflik. Sebuah cerita tak luput dari sebab- akibat. Jika pada awal cerita telah kita tuliskan penyebab konfliknya, maka kita cukup melanjutkan tulisan kita dengan memasukkan unsur akibat konflik. Misal: Budi yang diceritakan di awal cerita adalah seorang anak miskin namun giat belajar akan menerima rapor dengan nilai baik di akhir semester yang akan membuat keluarganya bahagia dan bangga. Dan yang ketiga adalah Penyelesaian Konflik. Disini kita sudah masuk bagian ending, seorang Penulis yang telah menciptakan konflik dan akibat konflik harus mengolah cara untuk mengakhiri konflik yang ia buat. Tentu saja setiap Penulis memiliki cara tersendiri untuk bagian ini, ada yang mengakhirinya dengan manis, sedih, hingga sadis.

Kembali lagi kepada mood yang saya bicarakan di awal tadi. Menata mood menulis memang hal yang tidak mudah sebab disini kita sedang bermain dengan perasaan sendiri. Namun hal terpenting dari itu semua adalah “Bagaimana cara membangun mood agar tetap terus menulis?” (Saya akan membagikan tips pribadi saya tentang membangun mood menulis di tulisan yang akan datang).

Mood atau perasaan saat kita menulis sebuah karya adalah penting, apapun yang kita rasakan seperti sedang sedih, bahagia, jatuh cinta atau patah hati maka manfaatkan kondisi emosi tersebut sebagai mood booster untuk menghasilkan karya yang baik. Sebab kondisi seperti ini mampu membuat tulisan kita lebih hidup, lebih dalam. Hal yang harus diingat adalah ‘jangan terbawa arus perasaan’ sehingga kita menulis curhatan yang tak jelas, mewek, nangis yang kesemua itu hanya membuat tulisan kita terkesan cengeng tetapi tuliskan apa yang kita rasakan saat sedih, patah hati atau jatuh cinta. Tuliskan emosinya, bukan reaksi. Tuliskan apa yang kita renungkan saat sedih, bukan tangisannya, tuliskan hal- hal yang membuat kita begitu semangat saat jatuh cinta bukan rayuan gombalnya dan sebagainya. Diluar sana ada banyak karya- karya hebat yang lahir dari perasaan- perasaan yang dikelola dengan baik. Kalian bisa mencarinya sendiri. Terlalu banyak untuk saya sebutkan satu per satu.

2 Comments

Leave a Reply to rangga wijaya Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow

Get every new post on this blog delivered to your Inbox.

Join other followers: