Sumatera Barat: Pelesir ke Bukittinggi dan Danau Maninjau

MASIH di kota Padang, usai menikmati sarapan lontong sayur yang disajikan oleh pihak Hotel. Kami berdua bersiap- siap untuk melakukan perjalanan ke kota Bukittinggi. Dari kota Padang ke kota Bukittinggi ini kami mengendarai angkutan umum. Sebagai informasi, ternyata di kota Padang ini ongkos kendaraan darat cukup murah bila dibandingkan dengan tempat tinggal saya di Sumatera Selatan. Jarak antara kota Padang dan Bukittinggi yang mencapai 90 km dengan tarif 15 ribu rupiah/orang, bandingkan dengan di Sumatera Selatan jarak Prabumulih- Palembang (92 km) dengan tarif 25 ribu rupiah/orang.

Selama perjalanan saya sering menjumpai mobil Angkot (Angkutan Kota) di kota Padang yang modis. Para Sopir memodifikasi kendaraannya seunik mungkin, sehingga mirip dengan mobil balap. Ada banyak aksesoris tambahan yang melekat, baik interior maupun eksterior. Seperti body mobil yang dibuat ceper (rendah), penambahan stiker warna- warni, pemasangan DVD, LCD dan kursi duduk yang dibuat senyaman mungkin. Para Sopir melakukan ini untuk meningkatkan jumlah penumpang sekaligus membuat rasa penasaran orang- orang untuk mencoba duduk di dalamnya. Salut untuk para Bang Sopir, kreatif dan unik!

***

Kota Bukittinggi memiliki suhu yang dingin berkisar antara 22- 29 derajat celcius karena berada dekat dengan daerah pegunungan. Sehingga saat kami menyewa Hotel di kota Bukittinggi, kami tidak menemukan Pendingin Ruangan (AC) di kamar. Dan sungguh, dinginnya terasa merasuk ke tulang saat malam tiba. Sangat disayangkan tak ada fasilitas air hangat untuk mandi di hotel yang kami sewa, saya memutuskan untuk mandi pukul 11 siang, hahaa..

Hotel kami berada tak jauh dari Jam Gadang dan Museum Bung Hatta sehingga memudahkan kami untuk jalan- jalan mengelilingi kedua tempat tersebut. Ada banyak orang yang menjual pernak-pernik, oleh- oleh di sekitar Jam Gadang. Ada juga yang menyediakan jasa sewa Bendi (kereta Kuda).

Dalam hal pembelian oleh- oleh saya tidak khawatir lagi, sahabat saya (Arie) bisa diandalkan untuk penawaran harga, ia juga pandai berbahasa Minang sebab calon istrinya adalah seorang gadis keturunan Minang.

Baiklah, cinderamata, oleh-oleh sudah dibeli. Dan siang hari kami menyewa sebuah sepeda motor (lagi) untuk berjalan- jalan mengelilingi kota Bukittinggi.

***

Minang terkenal dengan masakan rendangnya yang lezat, semua orang tahu tentang itu. Namun kali ini saya tak ingin makan masakan rendang di Padang (sebab saya sering makan Nasi Rendang), maka kami memutuskan untuk mencicipi masakan lain, Itiak Lado Ijo (Itik Cabe Hijau) yang katanya kandungan pedasnya bukan main. Itiak Lado Ijo adalah masakan yang terkenal disini, adalah daging itik yang dimasak dengan santan (mirip seperti memasak opor) dan dilumuri banyak cabai hijau.

Saya tidak suka makanan pedas, sebetulnya. Namun kali ini saya tidak menolak ajakan Arie untuk mencicipi masakan satu ini. Dengan berbekal keberanian maka saya memesan satu porsi Itiak Lado Ijo yang berada di Ngarai Sianok. Sembari menikmati pemandangan alam Ngarai Sianok yang menakjubkan satu porsi Itiak Lado Ijo berhasil saya habiskan, rasanya? Sungguh pedas! Hahaa.. Wajah saya berkeringat, mulut mengangah kepedasan. Pedas sekaligus nikmat. Bagi Pencinta masakan pedas, Itiak Lado Ijo adalah makanan yang wajib dicoba bila berkunjung ke Bukittinggi.

Dari Ngarai Sianok kami bergerak menuju Danau Maninjau. Masih dengan sepeda motor yang kami sewa, kami bertanya kepada penduduk yang tinggal disana.

“Bang, dari sini (Bukittinggi) ke Maninjau berapo jauh lagi?” tanya Arie.

“Limo baleh kilo lagi” (Lima belas kilometer lagi), jawab Abang penjual bensin eceran.

Lima belas kilometer tak cukup jauh, hal itu bisa kami tempuh sekitar tiga puluh menit dengan motor. Kami berpikir hari belum begitu sore, tak ada salahnya untuk pergi ke Maninjau sejenak. Tanpa sweater ataupun jaket kulit, kami tempuh perjalanan ke Maninjau hanya dengan kaos oblong dan celana pendek gunung (sebab memang pergi ke Maninjau adalah hal yang tak direncanakan sebelumnya, hanya untuk mengisi waktu kosong sebelum malam tiba).

Tiga puluh menit perjalanan ditempuh, ban belakang motor bocor. Untung ada sebuah bengkel tambal ban di sekitar tempat kami berhenti. Dua puluh menit menunggu, ban belakang motor yang bocor selesai ditambal. Perjalanan kami lanjutkan. Cuaca berkabut, sebab kami sudah mulai memasuki area perbukitan, suhu perbukitan yang dingin ditambah deruan angin saat kami bermotor membuat kami sedikit kedinginan. Perjalanan tetap berlanjut hingga speedometer telah melewati angka lebih dari lima belas kilometer. Dan Danau Maninjau yang ingin kami tuju belum juga nampak di depan mata.

Kami berinisiatif untuk bertanya lagi kepada penduduk yang sedang duduk santai di pinggir jalan.

“Permisi Pak, dari sini ke Maninjau berapo jauh lagi?”

“Indak jauh, delapan baleh kilo lagi” (Tidak jauh, delapan belas kilometer lagi), ucap Bapak itu dengan ramah sambil menunjuk ke arah Maninjau.

Kami menelan ludah. Astaga, masih jauh rupanya. Ternyata dari Bukittinggi ke Danau Maninjau berjarak sekitar tiga puluh tiga kilometer. Kami saling menatap wajah masing- masing. Sudah di pertengahan jalan, hari sudah sore. Kami sepakat untuk tetap melanjutkan perjalanan, meski dalam hati sedikit dongkol karena memercayai omongan Abang Penjual Bensin eceran. “Limo baleh kilo lagi?” -,-“

Tiga puluh menit kemudian, tibalah kami di kelokan maut yang berjumlah empat puluh empat kelokan. Wow! Ini adalah kelokan berbahaya yang pernah saya lewati, tikungan tajam dan curam, tiap kelokan yang kami lewati ada sebuah plat besi yang bertuliskan angka- angka kelokan mulai dari “Kelok 1, Kelok 2 dan seterusnya hingga Kelok 44”. Sepanjang kelokan ada banyak monyet yang berkeliaran, mereka hidup dari makanan yang diberi oleh Wisatawan yang lewat. Arie suka monyet, saya tidak. Dan ia tahu bahwa saya pernah trauma dengan monyet. Saya tak ingin dekat- dekat monyet.

***

Setelah menempuh delapan puluh menit perjalanan, akhirnya kami tiba di sebuah tempat yang dulunya hanya saya lihat di layar komputer saja. “Selamat datang di Danau Maninjau”. Perjalanan yang lelah itu sepadan dengan keindahan Danau Maninjau yang kami dapat. Airnya jernih, ada banyak ikan disana. Di sepanjang pinggiran danau mudah sekali dijumpai keranda ikan. Hampir semua penduduk di sekitar Danau Maninjau bekerja sebagai Petani Ikan. Sebagian besar ikan- ikan tersebut dijual ke kota Bukittinggi dan sekitarnya menggunakan truk atau mobil pick-up.

Hanya saja, kami tak bisa berlama- lama di Danau Maninjau, cuaca mendung. Kami memutuskan untuk segera kembali ke Hotel di Bukittinggi. Namun, belum selesai melewati empat puluh empat kelokan hujan turun dengan deras. Kami berteduh di sebuah warung makan di pinggir jalan. Memesan kopi dan mie instan.

Kami bahkan tak membawa sweater ataupun jaket kulit, apalagi jas hujan. Kalau saja ada orang yang menjual jas hujan plastik kami sudah membelinya, namun di tengah hujan badai seperti ini siapa pula yang menjual? Saat kami bertanya kepada Pemilik Warung, mereka hanya punya payung. Lupakan tentang keinginan untuk menikmati matahari terbenam di Danau Maninjau ataupun berfoto ria. Kami terkurung di sebuah warung kecil disini. Kami menikmati segelas kopi sembari menunggu hujan reda.

***

Satu jam kami menunggu di warung tersebut. Matahari sudah tumbang di kaki langit, hari sudah gelap, hujan belum reda, namun tak sederas sebelumnya. Menyisakan gerimis. Mie instan sudah habis dua bungkus, segelas kopi tinggal ampasnya. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Kami memutuskan untuk berangkat dengan segala resiko kehujanan dan kedinginan. Tak masalah, kami melaju dengan hati- hati dan waspada.

Tiga puluh menit perjalanan, pakaian basah setengah. Badan kami kedinginan. Singgah sebentar di sebuah Masjid, sebab gerimis menjelma hujan deras. Disana kami menunaikan kewajiban dan menunggu hujan reda kembali. Lima belas menit menunggu, hujan belum juga reda. Kami meminta sebuah plastik kepada Penjaga Masjid untuk meletakkan barang berharga kami seperti: dompet dan handphone.

Sebab pakaian sudah basah setengah, mandi sekalian. Kami melanjutkan perjalanan dengan bergantian mengendarai motor. Hujan tetap turun. Dingin menusuk tulang.

Lima puluh menit kemudian, kami tiba di Bukittinggi dengan selamat. Hujan telah reda, pakaian basah. Setibanya di kamar kami saling menertawakan satu sama lain, “Limo baleh kilo lagi!”. Ucap kami bersamaan sambil menirukan dialek Abang Penjual Bensin eceran.

bersambung..

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow

Get every new post on this blog delivered to your Inbox.

Join other followers: