Melek Media

Di kamar ini, sebuah televisi layar datar jarang sekali menyala. Saya lebih suka menghabiskan waktu dengan laptop kesayangan saya dibanding menonton TV. Saya lupa kapan terakhir kali menonton TV, program TV yang hanya menyajikan tayangan itu- itu saja membuat saya memilih mematikan TV.

Beberapa hari terakhir, di TV marak menyiarkan kejadian tentang banjir yang melanda ibukota serta beberapa berita yang menyinggung kinerja pemerintah yang tak becus dalam menghadapi masalah, lawakan komedi tak bermutu yang hanya menertawakan kekurangan fisik, perbincangan gaya hidup artis yang sedang mencari sensasi. Di arus globalisasi yang menderas mewajibkan kita agar selalu pintar untuk memilih tontonan yang baik, saling serang antar media kerap membuat masyarakat kita lupa bahwa kita sedang menjadi korban pembingkaian informasi. Padahal fakta dan informasi memiliki distingsi yang jelas. Fakta adalah realitas yang benar terjadi, sementara informasi adalah pemberitaan yang bersandar pada fakta. Artinya, ada suatu proses dimana fakta bertransformasi menjadi informasi.

Kita ambil contoh, misalnya: pada zaman pemerintahan Soeharto, pemerintah melakukan pembersihan besar- besaran terhadap mereka yang mengganggu keamanaan lokal. Melalui penembakan misterius (petrus) masyarakat kita dibuat takut untuk ber-tato. Sebab pada setiap terbitan koran kota hal pertama yang disorotinya adalah tato. Seolah tato adalah simbol kriminalitas. Mereka yang memiliki tato akan dicap sebagai penjahat.

Pasca tumbangnya pemerintahan Soeharto banyak media bermunculan. Jurnalisme tumbuh pesat dan bebas, masing- masing mengusung identitas dan ideologi. Kebebasan yang seolah tanpa batas inilah yang kerap diselipkan ‘kepentingan’, kepentingan inilah yang membuat media dijadikan alat untuk berkuasa. Aburizal Bakrie, Hary Tanoe Sudibjo, dan Surya Paloh misalnya. Tak akan setenar sekarang jika tanpa media yang membentuk citra mereka di depan publik. Jurnalisme disalahgunakan menjadi alat praktis politik.

Pada zaman Orde Baru, pembingkaian fakta hanya terjadi pada mereka yang pro dan kontra terhadap pemerintah. Namun kini, semuanya bisa dikonstruksi sedemikian rupa sesuai dengan kepentingan pemiliknya. TV One yang milik Aburizal Bakrie tak sedikitpun menyinggung masalah tentang Lumpur Lapindo. Secara cerdik redaksinya mengganti dengan Lumpur Sidoarjo. Penamaan kasus tidak mengarah kepada pelakunya melainkan pada nama tempat. Hal ini akan mempengaruhi pandangan masyarakat. Selain itu, mengapa Metro TV sama sekali tak pernah membahas tentang PT.Freeport di Papua? Mengapa pemberitaan kasus korupsi partai demokrat begitu ramai diperbincangkan? Ternyata begitu banyak hal yang harus dijawab, sementara berbagai macam permasalahan tak kunjung selesai.

Jika sudah demikian, maka korbannya adalah kita semua. Masyarakat dibuat terbuai dengan segala pemberitaan. Menganggap bahwa peristiwa yang hangat diperbincangkan adalah hal patut dipikirkan, tanpa disadari bahwa kita sedang digiring untuk mengamini kepentingan seseorang. Hiperrealitas bentukan media telah membutakan masyarakat yang mengaku haus informasi, tak peduli seberapa menyesatkan informasi itu.

Bukankah Allah swt telah memberikan teguran kepada kita agar selalu berhati- hati terhadap sebuah berita sebagaimana yang tertulis dalam kitab suci Al-qur’an:

“Hai orang- orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu”. (QS: Al-Hujuraat: 6)

Untuk itulah, kita harus pandai memilah- milah media. Memilah- milah media artinya mencari mana informasi yang melalui pembingkaian media secara benar tanpa dilebih- lebihkan. Melek media disini bukan berarti membaca berbagai media secara bersamaan. Melek media disini berati kita mengerti proses pembingkaian media tersebut. Jika ingin menyoroti kecendrungan sebuah koran, maka yang pertama kita baca adalah rubrik editorialnya. Disana akan terlihat bagaimana mereka mengulang- ulang pemberitaan meski ditulis dengan sudut pandang yang berbeda. Media selalu memiliki maksud tertentu dengan mengulang sebuah pemberitaan.

Diakhir tulisan ini, saya harap kita dapat mengolah semua pemberitaan di media dengan baik serta menanamkan kesadaran melek media pada masyarakat. Ini adalah persoalan yang penting bagi kita semua agar kita keluar dari pembingkaian media dan mengembalikan kesadaran kita. Demikian.

Follow

Get every new post on this blog delivered to your Inbox.

Join other followers: