KERAP aku berpikir bahwa suatu hari nanti aku akan tumbuh menua dan akhirnya kau akan pergi. Aku tak akan sempat lagi mencium tanganmu yang keriput penuh kerut. Atau tak lagi bisa memijatimu selepas maghrib, setelah lelah seharian menggelar barang dagangan di Pasar.
Di bangku kayu yang terbuat dari bilah bambu, kau sering membuatkanku secangkir teh ataupun susu. Duduk saja sendirian kau disana, mengamatiku yang kini lebih suka menghabiskan waktu bersama teman- teman diluar daripada berdiam di rumah, anakmu tumbuh besar dan menolak untuk dicium seperti waktu kecil dulu.
Ketika aku berpikir bahwa suatu hari aku akan tumbuh menua dan akhirnya kau akan pergi. Aku ingin sekali, sekali lagi tidur di pangkuanmu dan menceritakan apa saja yang ingin kubicarakan, perihal seorang gadis yang membuatku jatuh hati, rutinitas kerja yang melelahkan, si kuda besi yang kini kuubah penampilannya atau membicarakan cuaca seperti yang selalu kau tanyakan pada setiap awal percakapan di telepon.
Aku selalu ingin belajar darimu, tentang mencintai dan dicintai. Sebab usiaku tak lebih dari seumur jagung dibandingkan perjalanan hidupmu yang penuh liku.
Ketika aku berpikir bahwa suatu hari aku akan tumbuh menua dan akhirnya kau akan pergi. Aku tahu bahwa kau adalah alasan terkuat bagiku untuk tetap melangkah maju. Aku selalu merasa cukup ketika bersamamu. Sejauh apapun perjalanan yang kutempuh, bait doa- doamu tak pernah jemu menghiasi tiap langkahku.
Ketika kau telah pikun, kuharap kau tak akan memikunkan satu hal dalam dirimu. Bahwa aku selalu mencintaimu dengan alasan terkuat.
Dan pada akhirnya, aku menyadari bahwa kau adalah cinta pertama bagi anak lelaki, wanita yang pernah meminjamkan rahimnya untuk kusinggahi.