PERNAH suatu hari saat makan siang di sebuah warung bakso. Saya dan teman didatangi oleh seorang perempuan tua yang belakangan ini saya ketahui bahwa ia adalah perempuan yang biasa mengemis di jalan raya depan warung bakso tersebut. Perempuan tua itu berpakaian lusuh dengan membawa bandulan pakaian di punggungnya, berkerudung warna hijau berjalan kesana- kemari meminta simpati dan perhatian orang yang didatanginya. Ia menghampiri kami sembari menyodorkan kantong permen plastik lusuh dengan tangan kanannya seraya berkata “Assalamu’alaikum. Minta sedekah, Nak“. Saya yang sedang asyik menikmati bakso hangat itu terdiam sejenak menyadari kehadirannya. Saya menatap kedua matanya sambil menyunggingkan senyum. “Apakah ibu sudah makan?”. Ia menggelengkan kepala. “Jika ibu lapar makanlah disini, saya pesankan satu porsi”. Awalnya ia menolak. Namun setelah saya diamkan beberapa menit, ia menerimanya.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa di negeri ini, pengemis adalah sebuah profesi yang menggiurkan. Betapa tidak, dalam sehari mereka bahkan bisa mengumpulkan uang ratusan ribu hasil mengemis dengan menyamar sebagai orang paling ‘menyedihkan’ di muka bumi. Modusnya pun beraneka macam, kaki buntung, buta, tangan terluka, menggendong bayi hingga bercerita panjang lebar bahwa ia tak punya ongkos pulang dan sebagainya. Bahkan fakta yang membelalakkan mata kita adalah ketika mengetahui bahwa di dalam karung- karung bekas pengemis gadungan itu ditemukan uang belasan hingga puluhan juta hasil mengemis. Sebuah kenyataan yang memilukan dan membuat semua orang berfikir dua kali untuk memberi sedekah.
Meski tak semuanya begitu, memang ada juga pengemis yang memang benar- benar pengemis dengan cacat fisik. Namun kenyataan yang ada membuat kita membenci semua hal itu.
Pengemis adalah contoh kemarahan rakyat atas ketidak-adilan negeri dalam penegakan hukum. Mereka dengan tega melakukan hal yang paling memalukan ini agar Pemerintah sadar betapa malangnya hidup di negeri yang kaya raya ini. Para koruptor sama saja dengan pengemis gadungan yang meminta- minta di jalanan. Mereka hanya berbeda dalam cara berpakaian. Pengemis gadungan berpakaian lusuh, kotor dan membuat kita iba sementara Koruptor berpakaian rapi, bersih dan membuat kita mudah percaya dengan janji- janji palsu yang dibuatnya. Mereka sama- sama serakah dan hina, hanya saja berbeda cara dalam memperkaya diri.
Rasulullah SAW pernah bersabda dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: “Tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah”.
Itu artinya tangan diatas yang berarti memberi adalah lebih baik daripada tangan dibawah (menerima). Namun sepertinya orang- orang lebih banyak tidak memedulikan nasehat berharga ini. Sebagian orang lebih suka menerima, apalagi hal- hal yang bersifat gratisan. Ini adalah dilema besar mengingat di negeri ini 70% penduduknya adalah memeluk agama Islam. Dan pengemis- pengemis disana dengan teganya mengucap salam sambil menyodorkan kantong permen plastik, minta sedekah.
Saat pembagian sosial kemanusiaan, orang- orang ‘mampu’ berebut berpura- pura menjadi tidak mampu untuk menerima bantuan yang tak seberapa itu. Akibatnya orang- orang yang layak menerima bantuan tersebut pun terabaikan. Hasilnya bantuan sosial pun sering salah sasaran.
Mental meminta- minta dan gratisan telah membuat orang- orang malas bekerja dan menggantungkan hidup pada pemberian orang lain. Padahal seandainya mereka tahu bahwa betapa mulianya pekerjaan menjual kayu bakar di pasar daripada meminta- minta, kita semua tidak akan rela melakukan perbuatan memalukan tersebut.