PADA suatu hari dalam perjalanan menuju tempat kerja, saya sengaja tidak membawa motor. Jadi, saya berangkat menumpang travel. Saat itu ada dua penumpang, seorang lelaki tua dan pemuda yang kurang lebih sebaya dengan saya. Dalam perjalanan tersebut, lelaki tua dan pemuda asyik sekali mengobrol dengan Si Sopir. Saya yang duduk di jok belakang Sopir hanya mendengarkan cerita mereka bertiga.
Saya sedang tidak ingin menguping isi pembicaraan mereka, namun apa daya, earphone saya rusak. Mau tak mau karena saya punya telinga, harus ikut mendengarkan juga. Dalam obrolan tersebut diketahuilah bahwa pemuda tersebut pernah memiliki seorang pacar yang satu tempat dengan Pak Sopir. Pak Sopir tersebut kerap melihat Si Pemuda berkunjung ke rumah Si gadis yang juga tetangga dekat Pak Sopir. Sementara itu lelaki tua tersebut adalah kerabat jauh Si Pemuda yang kebetulan baru kali ini menyadari hubungan kekeluargaannya. Maka obrolan tersebut makin menarik untuk didengarkan ketika Pak Sopir bertanya perihal kenapa tak lagi berkunjung ke desanya. Si Pemuda itu dengan nada suara pelan berkata pada Pak Sopir bahwa ia sudah tak lagi menjalin hubungan cinta dengan Si gadis. Si gadis lebih memilih pria lain daripada dirinya. Lalu, Pak Sopir mulai mengeluarkan kalimat- kalimat pujangganya dan nasihat agar Si Pemuda tetap tegar menghadapi kondisi tersebut. Tentu saja dengan gurauan atau humor yang ia buat, bukan dengan nada serius. Dan sepanjang perjalanan ke tempat kerja, saya tak bisa tidur dibuatnya.
Percakapan sejenak terhenti ketika seorang banci juga ikut naik ke dalam travel kami, ia duduk di belakang. Sepanjang perjalanan ia hanya diam dan menjadi pendengar yang baik. Obrolan tentang kisah cinta yang bertepuk sebelah tangan pun berlanjut. Entah sampai dimana, saya harus berhenti mendengarkannya ketika saya sudah tiba di tujuan.
Si Pemuda beruntung, selama obrolan berlangsung pendengar yang mendengarkan curahan hatinya tersebut memberikan respon yang baik. Seperti Pak Sopir yang memberikan nasihat dan saran bagi Si Pemuda agar bisa move-on dalam kisah percintaannya. Lain lagi dengan lelaki tua tersebut, ia menceritakan masa mudanya dulu, bagaimana ia move on.
Namun apa jadinya, ketika orang yang kira akan memberikan respon positif dalam menanggapi curhat kita malah sebaliknya. Tak peduli, terkesan masa bodoh atas masalah yang kita hadapi. Abai terhadap apa yang kita rasakan. Dan seolah ingin berkata: “urus saja urusanmu sendiri”.
Kedekatan dan kenalnya kita kepada seseorang adalah bahan pertimbangan diri kita untuk menilai, apakah seseorang tersebut layak untuk dijadikan tempat curhat atau tidak. Apakah seseorang tersebut juga bisa menjaga rahasia.
Sebagai seorang manusia normal, tentu saja pernah curhat. Namun curhat tersebut tidaklah sembarang. Saya hanya memercayakan curhat kepada orang yang tepat, seperti: ibu, kakak, sahabat. Namun, juga pernah ketika saya menganggap seseorang tersebut adalah orang tepat untuk dijadikan tempat curhat, ternyata harus berakhir dengan kekecewaan. Orang tersebut ternyata lebih mengabaikan, jangankan memberi solusi, memberi perhatian pun enggan.
Namun kabar baiknya, ada satu tempat curhat yang paling baik. Yang tak akan mengecewakan, pendengar yang baik sekaligus pemberi solusi paling tepat. Siapakah dia? Dia adalah Allah swt, Tuhan semesta alam, tempat satu-satunya untuk berharap dan meminta, kepada-Nya- lah seharusnya semua keluh kesah kita tumpahkan. Berdoalah kepada-Nya, memintalah hanya kepada-Nya. Sungguh hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram.