SEBULAN sudah usia pernikahan kami. Sejak menikahi istri saya, Iin. Banyak orang- orang bertanya kepada saya, bagaimana bisa saya bertemu dengannya? Apakah kalian dulu pacaran? Bagaimana kisah cinta kami? Dan pertanyaan lain yang penuh rasa penasaran. Saya juga kewalahan menjawab pertanyaan- pertanyaan tersebut. Untungnya saya bisa menjawab pertanyaan mereka dengan singkat dan lugas. Banyak teman, sahabat dan rekan kerja tak mengira bahwa jodoh saya datang begitu cepat. Bahkan saat saya membagikan undangan pernikahan kami, rekan- rekan kerja saya seperti tak percaya bahwa dua pekan lagi saya akan melepas masa lajang. Kabar gembira itu berhembus luas bak angin membawa kebahagiaan bagi mereka yang selama ini selalu menanyakan kepada saya “Kapan menikah?”. Tanpa susah payah, pertanyaan itu terjawab dengan sendirinya.
Kabar ini juga membungkam mulut orang- orang yang selama ini mengolok- olok saya dengan ledekan seperti: “truk aja gandengan, masa kamu gak punya pasangan?”, “malam minggu kok sendirian?“, “game o-net saja punya pasangan, masa kamu gak?” “cieee yang jomblo” dan lain sebagainya. Namun semakin diolok- olok seperti itu kesabaran saya semakin bertambah, dan saya senang. Kenapa? setidaknya dengan diamnya saya membuat mereka malu.
Bagi sebagian orang mungkin menyatakan keberadaan kekasih hati (sebelum menikah) kepada orang lain adalah hal lumrah, seperti: memamerkan foto mesra di sosial media, ungkapan mesra tentang pasangan agar dibaca oleh banyak orang di sosial media, yang bertujuan agar orang lain mengetahui keberadaan kekasih hati tersebut. Namun hal ini bertolak belakang dengan prinsip saya yang saya genggam, sebuah perasaan yang teramat spesial ini tak akan pernah saya umbar dengan cara murahan seperti itu. Saya rahasiakan dengan amat baik, takut sekali dan khawatir jika orang lain tahu bahwa si A adalah sosok yang saya sayangi. Saya sembunyikan di hati terdalam, mencintai dalam diam. Berdoa dan berusaha, memantaskan diri, dan sibuk memperbaiki diri. Mengamati dari jauh, gentar sekali untuk menggombal, apalagi saat duduk saling berpandang, malu rasanya. Menatap sepasang matanya saja tak kuat. Bicara pun serba salah, salah tingkah. Bingung mau bicara apa. Tak pelak lagi itu adalah hal yang pernah saya alami, jatuh cinta kata mereka. Bukan karena apa- apa, saya melakukan hal itu untuk melindungi sosok yang saya sayangi itu dari fitnah. Bagaimana mungkin saya mengaku- ngaku sebagai kekasih hatinya, yang bahkan agama dan negara pun tak mengakuinya. Maka dari itu saya mempersiapkan diri dengan banyak hal agar bisa menjemput kekasih hati saya itu dengan cara terbaik, cara terhormat, yang diakui oleh agama dan negara. Pernikahan adalah satu- satunya cara untuk memuliakan wanita.
***
Sebuah pernikahan tak lepas dari pengaruh sosial di sekitarnya. Begitu juga dengan orang- orang yang ingin sekali tahu tentang pernikahan kami. Nasihat- nasihat pernikahan kami lahap dengan baik, sebab kami adalah sepasang merpati butuh sayap- sayap yang kuat agar bisa menghadapi tantangan di depan, kami butuh perahu yang kokoh agar tak digulung ombak kehidupan. Di tengah banyaknya nasihat- nasihat kebaikan dari orang tua, keluarga dan sahabat selalu..dan selalu ada saja orang- orang yang usil, kepo sekali ingin tahu urusan kami sama seperti saat saya masih lajang, kalau dulu saat lajang orang- orang jahil meledek saya dengan “Kapan menikah?” maka kali ini orang- orang sibuk bertanya pada saya “Istrimu udah isi belum (hamil)?”
Bagaimana mungkin saya bisa menjawab pertanyaan yang hanya Tuhan saja yang tahu jawabannya?
Ayolah, tidak lucu menanyakan pertanyaan tersebut. Walau sebagian orang hanya menganggap sebagai lelucon saja namun pertanyaan membuat sebagian orang merasa tidak nyaman, termasuk saya.
***
Berbeda dengan dua pertanyaan diatas, pertanyaan ketiga ini amat jarang sekali dipertanyakan. Orang- orang akan marah jika dilempari dengan pertanyaan ini. “Kapan mati?” kenapa orang- orang mesti marah dan kesal dengan pertanyaan ini, bukankah sama saja dengan pertanyaan “Kapan menikah?” dan “Kapan isi?”. Ketiga pertanyaan tersebut tidak bisa dijawab dengan pasti oleh manusia.
Maka, sebelum menanyakan ketiga pertanyaan tersebut kepada orang lain ada baiknya dipikirkan lagi. Apakah pantas dipertanyakan? Apakah layak? Apakah kita benar- benar peduli atau sekadar kepo alias usil belaka?
Sebab, jika kita benar- benar peduli pada seseorang kita tak hanya sekadar bertanya, kita akan gigih berusaha untuk membantu dengan cara konkret, memberikan bantuan.
Demikian.