“Oh, bukan, aku bukan lagi Kapten Bebek Hijau. Aku Kapten Bebek Kuning, yang telah menaklukkan bukit dan akan pulang dengan kemenangan. Aku Kapten Bebek Kuning, aku Kapten Bebek Kuning!”
Ia terus bernyanyi dan ia terus menari.
CERPEN ini sudah saya baca berulang kali sejak pertama kali Eka (Sang Penulis) memposting di blog miliknya 2 tahun lalu hingga cerpen ini dimasukkan ke dalam salah satu buku kumpulan cerpen terbarunya “Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi”.
Pada cerita Kapten Bebek Hijau, Eka mendongeng dengan baik. Ia berhasil menarik perhatian pembaca bahkan dimulai dari judulnya. Gaya kepenulisan yang mudah dimengerti dan penuh kejutan membuat saya tidak bosan meski telah membacanya berulang kali. Kapten Bebek Hijau akan menjadi salah satu judul dongeng yang akan saya ceritakan kepada anak saya kelak.
Disini saya akan menuliskan kembali cerita Kapten Bebek Hijau tersebut, selamat membaca.
***
KAPTEN BEBEK HIJAU
Di kaki bukit, tinggallah Emak Bebek dengan bulu berwarna kuning cermerlang. Tak banyak bebek dilahirkan kuning di dunia ini, mungkin hanya dua atau tiga bebek di satu pegunungan. Dan, di pegunungan itu hanya Emak Bebek yang berwarna kuning. Ia sangat bangga dengan warna bulunya. Lalu, ketika ia bertelur dan telur-telur itu menetas menjadi empat anak bebek, semua anaknya berbulu kuning. Mereka menjadi keluarga bebek paling bahagia di pegunungan tersebut.
Hingga suatu hari, salah seekor anak bebek memakan buah mogita yang sangat beracun. Beruntung si anak bebek tidak sampai mati karena ia baru memakan buah itu sedikit saja. Rasanya saja tidak enak meskipun penampilannya memang sangat menarik. Emak Bebek lupa mengajarkan anak-anaknya bahwa di bukit itu terlarang bagi mereka untuk makan buah mogita. Itu makanan ular. Walaupun begitu, akibat makan buah tersebut meskipun sedikit saja, bulu si anak bebek berubah menjadi hijau.
Hijau! Bahkan, para bebek tak pernah tahu ada bebek berwarna hijau di muka bumi ini. Dan, warna itu, seekor bebek pengembara berkata, merupakan warna paling buruk untuk bulu seekor bebek.
Tentu saja si anak bebek langsung memperoleh julukan yang menyedihkan hati, “Bebek Hijau”.
Meskipun Emak Bebek dan ketiga saudaranya berusaha menghibur, Bebek Hijau menjadi murung. Ia tak mau makan, tak mau main. Bersembunyi saja di dalam sarang. Saudara-saudarnya bahkan harus berbohong bahwa warna hijau juga sebenarnya menarik.
“Lihat saja, sebagian besar bebek berwarna cokelat menjijikkan. Beberapa putih gading yang membosankan. Ada juga yang hitam, seperti jelaga. Tapi, hijau? Hanya kamu yang berbulu hijau, sebab kamu istimewa. Hijau seperti pasukan perang, sebab kamu Kapten Bebek Hijau. Ya, mulai sekarang namamu Kapten Bebek Hijau.”
Itu tak berhasil membuat Bebek Hijau, maksudnya Kapten Bebek Hijau, terhibur. Bagaimanapun, menjadi bebek satu-satunya yang berwarna hijau tak hanya unik, tapi juga aneh. Ia tahu itu, saudara-saudaranya juga tahu, dan Emak Bebek juga tahu.
Kapten Bebek Hijau sudah mencoba melunturkan warna hijau dari bulunya. Selama beberapa hari ia berendam di danau kecil tak jauh dari sarang mereka, menggosokkan bulunya ke bebatuan, tapi tak memperlihatkan hasil sama sekali. Malahan jatuh sakit karena itu. Pernah juga ia merontokkan semua bulunya sehingga ia menjadi bebek tanpa bulu, dan butuh beberapa minggu sebelum bulu-bulu baru tumbuh. Ia menjadi kedingingan sehinga Emak Bebek dan ketiga saudaranya harus selalu memeluknya. Ketika bulu-bulu baru mulai tumbuh, warnanya tak kembali seperti sediakala. Bulu-bulunya tetap berwarna hijau.
Kapten Bebek Hijau semakin sedih.
Emak Bebek, dengan berat hati akhirnya berkata, “Sebenarnya, ada satu cara untuk membuat bulumu kembali kuning seperti semula. Tapi, kamu harus melalui perjalanan yang sangat berbahaya.”
“Aku akan melakukan apa pun demi kembali menjadi bebek kuning. Aku tak takut apa pun.”
“Ah, ya, benar. Bukankah kamu Kapten Bebek Hijau si pemberani?”
Emak Bebek pun memberi tahu rahasia tersebut: di puncak bukit, tumbuh kunir raja yang jika ia memakannya, warna bulunya akan kembali menjadi kuning. Tapi, dari kaki bukit ke puncak bukit, banyak pemangsa yang jahat, yang bisa mengancamnya. Emak Bebek tak bisa menemainya karena ia harus menunggui ketiga anaknya yang lain. Sementara jika mereka pergi bersama-sama, sema saja mereka menyerahkan hidup satu keluarga kepada pemangsa jahat.
Kapten Bebek Hijau pun bertekad untuk pergi sendiri ke puncak bukit.
…
Suatu pagi, berangkatlah Kapten Bebek Hijau menaiki bukit untuk mencari kunir raja. Emak Bebek dan ketiga saudaranya melepas kepergiannya dengan berat hati. Mereka menangis karena tak bisa menemani. Kapten Bebek Hijau mencoba menghibur mereka, berkata bahwa ia akan menjaga diri baik-baik, dan akan kembali ke sarang mereka sebagai bebek kuning sebagaimana sebelumnya. Kembali dengan kemenangan.
Ia belum pernah bepergian sejauh itu. Maka, ia seusungguhnya tak tahu bahaya semacam apa yang akan mengadangnya. Emak Bebek juga belum pernah bepergian sejauh itu, sehingga Emak Bebek tak bisa memberi tahu bahaya seperti apa yang mungkin terjadi. Mereka hanya memberi tahu bahaya seperti apa yang mungkin terjadi. Mereka hanya tahu, banyak pemangsa yang jahat dan tidak bersahabat.
“Berhati-hatilah terhadap serigala, ular, dan rubah. Mereka sangat menyukai daging bebek kecil sepertimu.”
Kapten Bebek Hijau belum pernah melihat serigala, ular, maupun rubah. Tak pernah ada binatang jahat di tempat mereka tinggal selama ini. Walaupun begitu, ia berjanji tak akan berteman dengan binatang-binatang sperti itu. Dan, Emak Bebek mengingatkan, sebaiknya ia tak bertemu dan bercakap-cakap dengan binatang asing mana pun.
“Terus saja naik ke puncak bukit, cari kunir raja, dan setelah itu segera pulang.”
Kapten Bebek Hijau mengingat dengan baik pesan Emak Bebek.
Hari pertama perjalannya berlangsung tanpa ada gangguan apa pun. Ia melihat pemandangan yang selama ini tak diketahunya. Ada deretan pohon-pohon bambu yang sangat indah sepanjang tepian sungai. Di kejauhan ia melihat satu air terjun dengan suara yang bergemuruh. Bunga-bunga dahlia liar bermekaran di satu gerombol. Begitu menyenangkannya semua itu hingga Kapten Bebek Hijau ingin menari-nari dan bernyanyi-nyanyi, hingga ia teringat pesan Emak untuk tidak menarik perhatian binatang lain.
Maka, ia pun harus berjalan secara diam-diam. Dan, ketika malam datang, ia bersembunyi di balik satu bongkah batu.
Hari kedua, ia bertemu dengan seekor serigala. Ketika ia melihatnya, Kapten Bebek Hijau segera tahu itu seekor serigala. Ia sedang berjalan di setapak ketika di kejauhan dilihatnya seekor binatang berkaki empat dengan moncong panjang dan bulu kelabu. Emak Bebek pernah menggambarkan, serupa itulah serigala. Kapten Bebek Hijau tak sempat bersembunyi, serigala itu telah melihatnya. Emak Bebek sudah mengatakan bahwa sebenarnya serigala tak begitu suka memakan bebek. Mereka lebih suka makan kelinci atau kancil. Namun, jika sedang lapar, serigala bisa memakan apa pun, terutama bebek kecil. Dan, serigala di depannya itu tampak sekali sedang kelaparan.
Serigala menggeram dan lari ke arahnya. Kapten Bebek Hijau terkejut, melompat ke gerombol bambu dan meringkuk di sana, menggigil. Serigala muncul, menggeram-geram mengelilingi gerombol bambu. Bebek Hijau diam saja, tubuhnya makin menggigil. Ia ingin menangis. Serigala terus berkeliling mencarinya. Kapten Bebek Hijau mulai bingung, kenapa serigala tak juga menangkapnya. Ia persis ada di depan matanya. Namun, serigala terus mencarinya, hingga merasa putus asa, dan segera pergi.
Kapten Bebek Hijau bingung, tapi sekaligus lega. Ia melihat ke sekelilingnya, dan bertanya-tanya kenapa serigala ak melihatnya. Hingga ia menemukan jawabannya:
“Ah, bambu-bambu ini sangat hijau, dan tubuhku juga hijau. Serigala tak melihat seekor bebek hijau di tengah batang-batang bambu berwarna hijau.”
Kapten Bebek Hijau pun memutuskan untuk bermalam dan berisitirahat di tengah gerombol bambu.
…
Perjalanan ke puncak bukit mencari kunir raja ternyata bukanlah perjalanan yang gampang, bukan pula perjalanan cepat yang bisa ditempuh dalam satu-dua hari saja. Dan, benar apa yang dikatakan Emak Bebek, banyak makhluk jahat berkeliaran sepanjang jalan.
Kapten Bebek Hijau, kini ia sangat bangga dengan namanya, pernah bertemu ular jahat yang hendak memangsanya. Ia sedang menyeberang sungai, berenang, dan mengayuh dengan sayap mungilnya, ketika dari arah hulu meluncur seekor ular belang. Sangat jelas ular itu meluncur ke arahnya, hendak memangsanya. Kapten Bebek Hijau mempercepat kayuhan sayapnya. Hup, hup, hup.
Gerakannya sangat lambat. Arus sungai yang sedikit kencang agak susah ditaklukkan Kapten Bebek Hijau. Ia mulai cemas. Hari-hariku berakhir di sini, pikirnya. Berakhir di perut seekor ular belang.
Ia ingin menangis. Jangan cengeng, pikirnya, kamu seekor kapten. Kamu Kapten Bebek Hijau. Kamu akan menjadi satu-satunya bebek yang berhasil menjelajah seorang diri naik dan turun bukit. Ia teringat kepada Emak Bebek dan saudara-saudaranya, dan itu membuatnya tambah ingin menangis. Ayo, Kapten, semangat, Kapten! Kamu pergi ke puncak bukit bukan untuk dimangsa ular belang. Kamu pergi untuk menemukan kunir raja dan pulang dengan kemenangan.
Saat itulah ia melihat gumpalan lumut hijau melayang-layang di permukaan air. Ia tak punya waktu untuk terus berenang ke tepian. Lagi pula, melompat ke darat tidak berarti ia terbebas dari ancaman ular belang. Ular itu sangat cepat, bisa memangsanya di air maupun di darat. Satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah menyeruak ke tengah gumpalan lumut dan diam di sana, dan itulah yang ia lakukan.
Ular belang telah sampai di tepian lumut dan terdengar ia bergumam, “Sialan, di mana bebek kecil itu?
Ingin sekali Kapten Bebek Hijau menjawab, Bebek itu tak ada di sini. Ia pergi ke arah hilir. Namun, tentu saja ia tak mengatakannya. Itu akan terdengar sangat bodoh.
Ular belang terus mencari-carinya, sementara Kapten Bebek Hijau menggigil dengan jantung bergemuruh karena ketakutan. Ular itu sangat dekat dengannya, ia bahkan bisa mencium aroma napasnya yang bau bangkai.
“Sialan, sialan. Bebek kecil itu menghilang.” Kembali terdengar keluhan si ular belang, sebelum akhirnya ia meluncur ke arah hilir bersama arus sungai. Barangkali mencari mangsa yang lebih besar dan lebih enak untuk dimakan, dan lebih mudah untuk ditangkap.
Untuk kali kesekian, Kapten Bebek Hijau terbebas dari mara bahaya. Hari-hariku belum berakhir, pikirnya. Dan, ia tahu kenapa.
Sudah agak lama, selama dalam perjalanan itu, Kapten Bebek Hijau menyadari bulunya yang hijau menyelamatkan hidupnya. Ia bisa bersembunyi di gerombolan dededaunan yang hijau, di tengah belukar anak bambu, dan seperti barusan terjadi, di atas gumpalan lumut. Warna hijau tubuhnya menyatu dengan warna hijau dendaunan, dan itu membuat para pemangsa selalu tak berhasil menemukannya.
Walaupun begitu, ia tetap ingin kembali menjadi bebek kuning. Ia tetap meneruskan perlajanan untuk menemukan kunir raja. Ia menginginkan warna bulunya yang sejati.
Begitulah setelah berhari-hari, Kapten Bebek Hijau akhirnya tiba di puncak bukit. Di sana ada hamparan padang rumput yang luas, dengan rumput yang hijau beriak. Di sana sini, dengan mudah ia menemukan pohon kunir raja. Tanpa menunggu lebih lama, ia mencerabut satu pohon dan memakan ubinya, dan benar apa yang dikatakan Emak Bebek, hanya dalam waktu singkat warna bulunya berubah. Si hijau yang buruk itu perlahan-lahan luntur, seperti lumpur basah, dan warna kuning cemerlangnya muncul.
Kapten Bebek Hijau girang bukan main. Ia menari-nari dan bernyanyi-nyanyi, di bawah limpahan cahaya matahari yang cerah ceria.
“Oh, bukan, aku bukan lagi Kapten Bebek Hijau. Aku Kapten Bebek Kuning, yang telah menaklukkan bukit dan akan pulang dengan kemenangan. Aku Kapten Bebek Kuning, aku Kapten Bebek Kuning!”
Ia terus bernyanyi dan ia terus menari.
…
Di angkasa, seekor burung elang sedang sangat lapar. Sudah dua hari ia belum makan. Ia melihat ke bawah, mencari mangsa. Ia hanya melihat hamparan rumput hijau. Di mana-mana hijau. Ia menoleh ke kiri. Padang rumput hijau. Ke kanan. Padang rumput hijau. Hijau yang membosankan.
Tunggu, pikirnya, apa itu yang berwarna kuning cemerlang? Kuning di tengah hamparan rumput hijau? Warna kunging yang bergerak-gerak riang? Ah, seekor anak bebek.
Dengan cepat burung elang menukik dan menyambar Kapten Bebek Kuning. Bebek berwarna kuning terkenal karena rasanya yang enak. Akhirnya, aku memperoleh makan siang, pikir burung elang dengan bahagia.
Ditulis oleh: Eka Kurniawan (2013)