PERUT lapar yang membuat saya keluar untuk membeli makanan. Di pinggiran jalan protokol, banyak orang berjualan makanan. Tiba di tempat tujuan, saya langsung memesan satu porsi martabak telur spesial. Saya menunggu sekitar lima belas menit hingga pesanan saya selesai dimasak. Sebab hanya ada satu antrian yang sebentar lagi selesai. Menjelang pukul sembilan malam, jalanan kota masih ramai dengan kendaraan roda dua dan empat. Kota kelahiran saya kini telah banyak mengalami perubahan selama lima tahun terakhir. Beberapa gedung baru telah berdiri diantara bangunan lainnya. Saat mengantri pesanan, saya mengamati dua bocah yang dari tadi hilir-mudik di sekitar penjual tersebut. Satu diantara mereka mengenakan rompi berwarna kuning yang kebesaran, lusuh dan celana panjang berwarna merah. Bocah satunya lagi mengenakan celana pendek dengan baju yang sudah banyak lubangnya. Pesanan pertama telah selesai, penjual menyerahkan satu porsi martabak kepada seorang wanita yang dari tadi menunggu. Setelah itu, wanita tersebut menghampiri temannya yang menunggu di atas motor. Rupanya, hal tersebut diamati oleh kedua bocah tersebut. Bocah-bocah itu mendekati dua wanita yang sebentar lagi menyalakan motornya. Sambil menatap pengendara motor, kedua bocah itu memasang tatapan kosong sambil memainkan ujung bajunya.
Tebak? Apa yang sebetulnya bocah-bocah itu inginkan?
Uang parkir.
Betul. Kedua bocah tersebut menunggu uang parkir dari dua wanita itu. Salah satu diantara wanita itu bertanya kepada bocah. “Parkir? Kok bayar parkir, kan ditungguin?” wanita itu menatap tak mengerti. Kedua bocah itu tak menjawab pertanyaan tersebut. Namun salah satu dari wanita itu kemudian mengeluarkan uang selembar bergambar Tuanku Imam Bonjol. Bocah dengan rompi kuning itu menyambut uang itu dengan ceriah. Lalu kedua wanita itu pergi. Dan kedua bocah itupun kembali ke tempat semula.
Hal ini memancing rasa penasaran saya untuk bertanya kepada bocah-bocah itu. Dengan lambaian tangan dan tatapan mata. Saya berhasil memanggil kedua bocah itu, mereka mendekati saya dengan gaya seperti sebagaimana mereka mendekati wanita tadi.
“Kalian kok kerja malem-malem. Gak belajar apa, untuk sekolah besok?”
“Malem hari kami kerja Om, besoknya sekolah”
“Kenapa kalian kerja?”
“Bantu orangtua Om, untuk beli buku dan biaya sekolah”
“Lho, emang bapak ibu kalian kemana?”
“Bapak juga jaga Parkir di depan SM (salah satu nama pusat perbelanjaan di kota kelahiran saya), kalo ibuk di rumah”
“Kalian sekolah kelas berapa?”
“Saya kelas lima SD, sekolah di Pasar bawah, kalo dia (sambil menunjuk bocah dengan baju penuh lubang) sekolah di sana” (menunjuk salah satu sekolah yang tak jauh dari tempat parkir).
Saya diam sejenak. Masih ada beberapa pertanyaan yang mengganjal, namun martabak telur spesial pesanan saya sudah siap. Setelah membayar pesanan. Saya hendak langsung pulang. Saat menyalakan mesin motor, kedua bocah tersebut dengan tatapan kosong (seperti yang mereka lakukan pada pengendara lainnya) mendekati saya. Lalu saya berkata, “Kenapa? Parkir? Kan ditungguin?” kemudian saya menarik tuas gas, meninggalkan mereka. Dari kaca spion saya melihat mereka masih memandangi saya dengan tatapan kosong lalu kembali ke tempat semula.
Sekitar dua puluh meter berjalan ke depan, seorang tukang Parkir lainnya menatap saya sinis. Saya tidak tahu kenapa dia bersikap demikian. Saya tak ambil pusing. Memang, saya tahu persis apa yang saya lakukan malam itu. Saya tidak membayar uang parkir. Bukan karena yang menjaga parkir itu anak kecil, sehingga saya berani untuk tidak membayar parkir. Jika yang menjaga Parkir itu seorang yang sudah dewasa pun saya tidak akan membayar jika saya tidak turun dari motor saya. Kenapa mesti bayar parkir? Lho saya sendiri yang jaga motor. Lagipula saya tidak berhenti di tempat lahan parkir yang mereka jaga, saya menghentikan motor di tempat lain. Tukang Parkir mau apa? Entahlah, di kota kelahiran saya sepertinya setiap tempat yang kosong menjadi lahan basah bagi mereka yang mencari keuntungan dari jasa parkir. Terlepas, apakah legal dan tidaknya aktivitas ini. Bahkan, di tempat tertentu yang sudah jelas-jelas ada tulisan PARKIR GRATIS pun tukang parkir masih saja mencoba untuk mengambil keuntungan.
Di atas motor saya masih memikirkan hal tadi, kenapa bocah seperti itu sudah harus mencari uang, di malam hari pula? Apakah keadaan ekonomi betul-betul sempit sehingga mesti seorang anak bekerja hingga malam, menjadi tukang parkir? Jika memang benar apa yang dikatakan anak tadi adalah benar adanya dan malam dihabiskan menjadi tukang parkir, kapan lagi bocah tersebut membuat PR dan belajar?
Atau hanya sebuah kamuflase dibalik busuknya eksploitasi terhadap anak yang saat ini kian marak dilakukan. Sindikat gelap yang mengambil keuntungan yang memanfaatkan banyak anak-anak. Sudah lama saya menolak untuk memberi uang terhadap anak-anak di jalanan atau pengemis yang meminta-minta, bukan karena tidak iba, apalagi tidak empati. Namun, memberi uang kepada mereka secara langsung tidak akan membuat mereka berhenti meminta-minta. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sindikat oknum pengemis amat licik, mereka memanfaatkan rasa kemanusiaan untuk mendapat banyak keuntungan tanpa mau bekerja keras. Berpura-pura seperti orang susah, memelas agar dikasihani. Jika kita memberi uang kepada mereka, itu sama saja dengan menolong mereka untuk tetap terus bermalas-malasan. Apa ini yang kita mau? Demikian pula yang dilakukan oleh pihak yang tak bertanggungjawab, mereka tega memanfaatkan kepolosan anak untuk meraup keuntungan. Tanpa memikirikan apa jadinya masa depan anak-anak tersebut. Semestinya para pihak berwajib dan pihak terkait turun tangan dan benar-benar menegakkan peraturan tentang sanksi bagi mereka yang mempekerjakan anak di bawah umur. Ini serius sekali, PR besar bagi kita semua.