Memakai sorban putih di kepala, jubah putih, tampilan Pangeran Diponegoro lebih mirip seorang ulama mahsyur, dibanding seorang ‘pangeran’. Fisiknya biasa-biasa saja, hanya sepucuk keris di pinggang yang menampakkan dengan nyata, dia adalah panglima perang, seorang pangeran dengan wibawa tak terbilang.
Pangeran Diponegoro adalah putra sulung dari Sultan Hamengkubawana III (itu cukup untuk membuatnya pantas dipanggil Pangeran), tapi meski sulung, menyadari posisinya putra dari selir, dia menolak usulan Ayahnya yang hendak mengangkatnya menjadi raja. Dia memilih menekuni agama, tinggal merakyat. Pilihan yang amat langka. Dan itu membuktikan betapa berbeda level seorang Pangeran Diponegoro–dia tidak tertarik dengan kekuasaan.
Tetapi sejarah mencatat lain, dia tetap dikenang, bahkan lebih mahsyur dari sebuah jabatan Raja. Apa yang terjadi? Adalah serdadu Belanda, yang bertahun-tahun merendahkan penduduk, bertahun2 membebani dengan segala pajak, tidak menghormati adat-istiadat setempat, menghina agama, dsbgnya. Pada suatu hari, serdadu Belanda memasang patok di tanah milik Pangeran Diponegoro. Wah, wah, itu benar-benar melewati batas.
Pangeran Diponegoro yang telah lama muak melihat kesombongan Belanda, memutuskan mencabut kerisnya, memulai perang yang akan dikenang oleh sejarah. Pangeran Diponegoro mulai membangun markas di sebuah gua yang bernama Gua Selarong, di sinilah dia memimpin pasukan menyerukan ‘perang sabil’, melawan penjajah Belanda. Seruan itu bergaung jauh sekali, banyak tokoh dan rakyat jelata yang bergabung, termasuk Kyai Maja, tokoh agama di Surakarta.
1825-1830, lima tahun berperang, kerugian Belanda tiada tara. 15.000 serdadu, 20 juta gulden. Jika di kurs-kan hari ini, boleh jadi bisa setara puluhan trilyun (susah menelusuri daya beli nilai gulden ke 2016). Perang ini bukan perang ecek-ecek, ini perang massif, terbuka, perebutan puluhan desa, kota. Juga melibatkan taktik perang gerilya, hit & run. Jika siang hari Belanda mengambil sebuah desa, malamnya, desa itu sudah dikuasai kembali oleh pasukan Pangeran Diponegoro, serdadu Belanda berhasil di pukul mundur.
Pada puncak peperangan, Belanda mengerakan 23.000 serdadu untuk menyerang Pangeran. Jika itu jadi film, dek, itu lebih megah dibanding adegan film Lord Of The Ring, atau The Last Samurai. Belanda menggunakan peralatan paling canggih di jaman itu untuk melumpuhkan pasukan Pangeran. Dan catat baik-baik, bedanya adalah, kisah Lord Of The Ring adalah fiksi, sementara kisah Pangeran Diponegoro adalah nyata. Senyata catatan2 perwira Belanda yang di bawah ke negerinya, senyata nama-nama korban serdadu, jutaan gulden yang dihamburkan mereka.
Pernah nonton film cowboy? Yang buronan dicari, dihargai uang? Belanda juga membuat sayembara, harga ‘kepala’ Pangeran Diponegoro saat itu adalah 50.000 gulden. Itu boleh jadi harga ‘buronan’ termahal yang pernah ada. Tapi tidak ada rakyat yang mau mengkhianati Pangeran Diponegoro, meski Belanda dengan liciknya membuat strategi adu domba, memprovokasi rakyat, dan semua cara-cara menjijikkan lainnya.
Perang terus berkecamuk, puluhan kapal dari Belanda merapat di tanah jawa, membawa serdadu tambahan. Sayangnya, setelah diserbu habis2an oleh Belanda, kekuatan pasukan Pangeran Diponegoro semakin berkurang. Satu per satu panglima perang Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda. Kyai Maja, Pangeran Mangkubumi, Sentot Alibasya. Pangeran semakin terjepit, hingga akhirnya, tahun 1830, Pangeran menyerah kepada Belanda–demi melindungi pasukan yang tersisa. Perlawanan perang sabil itu terhenti. Pangeran Diponegoro dibuang ke Sulawesi. Beliau wafat, dimakamkan di Makassar.
Demikianlah kisah Pangeran Diponegoro. Ingatlah selalu, saat dia memimpin perang sabil, melawan penjajah Belanda. Ingatlah seorang Pangeran Diponegoro, berderap kudanya, teracung kerisnya, memimpin pasukan rakyat jelata, sambil berseru, “Allahuakbar! Allahuakbar! Allahuakbar!”
Betapa besar jasa para ulama bagi negeri ini.
*Tere Liye