Langit bergetar oleh ucapan yang keluar dari mulutku. Kalimat itu dicatat sebagai janji nan suci, semesta menjadi saksi. Hari itu menjadi sejarah cinta kita, Dek.
Kisah cinta kita tidak seperti Novel karangan Tere Liye dimana Borno yang rela bangun pagi-pagi untuk mengantri Sepit miliknya di urutan kedelapan. Agar ia bisa mengantar Mei melintasi sungai Kapuas ke sekolah tempatnya mengajar.
Kisah cinta kita juga tidak seperti kisah seorang Tentara yang meninggalkan Istrinya untuk pergi berperang, sebagaimana yang diceritakannya kepadaku. Mereka yang saling berkirim surat, yang baru bisa dibaca dua minggu kemudian. Istri yang menangis lirih ketika melihat bendera setengah tiang di suatu pagi.
Meski tidak seharu kisah novel atau kisah cinta seorang Tentara. Cinta kita punya alur tersendiri, penuh kejutan, air mata, senyum bahagia, kesabaran dan rasa syukur. Cinta kita ini akan kita sama-sama ceritakan kepada anak-anak kita nanti, Dek. Betapa bahagianya aku menjadi suamimu, betapa bangganya aku memiliki anak-anak dari rahimmu. Betapa beruntungnya anak-anak kita memiliki ibu sepertimu. Kita bersama merawat dan menyaksikan anak-anak kita tumbuh besar, menjadi generasi yang sering kita doakan. Kita akan menua bersama. Kita akan bersama menjalani kisah cinta ini hingga waktunya tiba. Kisah cinta kita ini, Dek, adalah kisah yang terbaik yang ditulisNya.