Pak Pos barangkali jarang sekali melintas saat ini. Atau sama sekali tidak pernah terlihat lagi sejak teknologi seperti: HP dan internet berkembang. Kehadiran mereka dahulu yang selalu ditunggu digantikan nada dering panggilan, yang dengan mudahnya seseorang bertukar pesan, mendengar suara dan bertatap muka, hanya dengan menggerakan ujung jari.
Kini dengan mudahnya kita berkirim pesan melalui SMS, atau aplikasi terkenal lainnya seperti: WA, Telegram dan Medsos lainnya. Hal ini terkadang membuat kita lupa cara menulis sebuah surat formal terlebih dalam sebuah Instansi atau Proyek dimana koresponden menjadi ujung tombak sebuah komunikasi. Sedikit aneh memang, saya mendapati hal itu terjadi dalam diri saya sendiri. Ketika mendapat tugas untuk mengonsep sebuah surat, saya berulang kali mencari referensi surat yang mirip agar bisa modifikasi. Atau ketika menulis sebuah Risalah Rapat pada sebuah meeting, kerap menjumpai beberapa kesulitan untuk menuliskan dan merincikan masalah yang sedang dibahas. Akhirnya saya menyadari, terkadang teknologi menjauhkan kita dari literasi.
Pernah, sebuah surat lolos dari ulasan dua hingga tiga orang, bahkan orang yang menandatanganinya sekalipun tak menyadari bahwa subjek dan isi adalah dua hal yang berbeda. Hidup manusia saat ini seperti dikejar oleh Harimau. Ingin terus berlari secepat mungkin. Hal apapun ingin serba cepat. Orang-orang tidak lagi suka dengan pepatah alon-alon asal kelakon. Jika bisa cepat dan tepat, kenapa tidak? Namun saya pikir terkadang menjadi lambat ada baiknya juga, agar bisa memahami sebuah hal dengan seksama.
Orang-orang lebih tertarik untuk membaca sebuah pesan singkat, caption sebuah gambar yang menarik, ketimbang membaca buku yang tebal. Orang-orang melewatkan sebuah pesan dengan tulisan panjang ketimbang membaca dan meresapinya. Orang-orang cenderung rela bertanya hanya untuk mendapatkan jawaban yang padahal kalau saja ia mau membaca sebentar saja, ia sudah mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. Peristiwa tadi menunjukkan kepada kita betapa orang-orang saat ini lebih suka hal yang cepat, singkat dan tidak suka bertele-tele. Namun di lain sisi juga ketika dihadapkan pada sebuah hal yang menuntut keahlian dalam literasi, kecermatan dalam membaca dan menganalisa, tangan kita seolah-olah terbelenggu.
Membaca menjadi hal yang menyenangkan bagi sebagian kalangan, namun mungkin tidak bagi sebagian lainnya. Padahal penelitian dari University of Edinburgh dan King’s College London, mengatakan bahwa kemampuan membaca yang sudah dibangun dari usia belia mampu meningkatkan kecerdasan secara keseluruhan. Itu artinya, ketika kita meluangkan banyak waktu untuk membaca maka akan memberi banyak hal positif dalam kehidupan kita. Membaca membuat kecerdasan lainnya, seperti: ingatan, kosakata, rasa empati, konsentrasi menjadi lebih baik.
Dan sangat disayangkan, kita terlalu banyak membaca hal yang tidak kita butuhkan. Kita dibanjiri oleh informasi yang tidak penting, bahkan ketika seorang Artis diluar sana ribut dengan pacarnya dijadikan sebuah trending topic, orang-orang beramai-ramai menuliskan tagar, membaca dan menuliskannya. Orang-orang tidak hanya kehilangan selera membacanya tapi juga kehilangan nurani, mereka lupa bahwa diluar sana masih banyak orang yang kelaparan dan hidup menderita. Orang-orang masih membuang sampah sembarang, padahal sebuah papan besar tertulis agar menjaga kebersihan, orang-orang masih merokok pada tempat yang bertuliskan dilarang merokok. Entah sampai kapan kita akan seperti ini?
Ketika buku-buku hanya menjadi tumpukan dan pajangan saja, lalu berdebu. Saya pikir sudah seharusnya setiap insan menanamkan kebiasaan membaca ini dimulai dari diri sendiri, dimulai dari rumah, dan mulai saat ini. Kita mungkin akan bernostalgia sejenak dengan kenangan masa kecil dulu, saat belajar membaca.