Kalau kau bertanya padaku, siapa anak paling nakal di desa ini. Jawabannya Bahar. Bocah laki- laki usia sepuluh tahun yang baru saja menginjak kelas lima Sekolah Dasar itu, namanya terkenal dari ujung desa hingga lereng Bukit. Kejadian ‘Ranjau Darat’ yang selalu diingat warga Bukit Barisan.
Menjelang petang, seorang supir Angkutan Desa marah besar karena ulah Bahar. Adzan sholat maghrib berkumandang yang menjadi penanda umat Muslim melaksanakan sholat malah menjadi momen sial bagi supir. Supir itu bernama Jon, nama lengkapnya Jono. Nama pemberian bapaknya yang dulu pengagum berat Jhon F. Kennedy. Jon, sehari – hari memang menjadi supir, tidak hanya mengantar penumpang namun juga mengangkut hasil pertanian yang hendak dijual di kota. Namun kali ini, Jon harus menerima kenangan dari Bahar.
Bahar yang kala itu perutnya mules beranjak ke Kakus belakang Masjid, seusai menuntaskan hajatnya, sepasang mata Bahar mencari plastik bekas. Entah setan apa yang membisiki kupingnya. Barangkali Bahar tertidur saat Ustaz mengajarkan doa sebelum masuk Kakus. Saat mengaji di Masjid, Bahar lebih banyak bermain ketimbang menghafal doa – doa.
Setelah cebok, dimasukkannya kotoran itu ke dalam plastik hitam lalu dilempar ke seberang jalan. Agar menjadi ranjau darat bagi yang menginjaknya. Bahar melemparkan plastik itu layaknya seorang Tentara yang melempar granat ke arah musuh, mirip aksi di Film. Ia membayangkan musuh yang teriak saat terinjak granat itu.
Hari apes memang tidak ada di kalender, lemparan Bahar salah sasaran. Senyum pongah itu berubah pucat. Ketika mobil L300 yang dikendarai Jon, persis melintas di depan Masjid saat plastik dilempar. Mobil itu berhenti mendadak. Kaki Jon menekan keras pedal rem. Panik. Suara klakson berbunyi, memecahkan langit sore.
Kotoran itu tercecer keluar dari plastik, menempel, mengalir di dinding kaca mobil. Mengeluarkan aroma yang khas, hasil makan sambal petai kemarin siang.
“Bajingan!” umpat Jon. Dia melompat dari dalam mobil mengejar Bahar.
Bahar berlari ketakutan. Dia mengutuk dirinya sendiri. Niatnya melempar salah sasaran. Anak-anak yang melihat peristiwa itu tertawa terbahak, Bahar berlari lintang pukang. Sore itu menjadi peristiwa yang tidak terlupakan oleh si Jon. Sumpah serapah keluar dari mulutnya, sambil mengelap kotoran yang masih tersisa di kap mobil.
***
Dengan napas terengah – engah. Bahar pulang ke rumah dengan wajah pucat. Ia menyembunyikan wajah pucatnya dengan senyum terpaksa. “Tuape cecengeh? [1] ” Ucap Mamak Bahar dengar tatapan mata serius, sambil menyiapkan makan malam. Bahar berusaha menyembunyikan kejadian barusan.
“Katek, Mak ” [2] jawab Bahar.
Ia segera masuk ke kamar dan membersihkan diri. Ia ingat besok hari senin, upacara di Sekolah.
Malam ini mamaknya memasak pindang ikan. Masakan favorit anak tunggalnya. Bahar menyantapnya lahap. Hingga ia lupa, kejadian ranjau darat barusan. Di dapur, hasil panen singkong kebun hari ini cukup banyak. Mamaknya sudah tak sabar ingin menjualnya ke kota.
***
Bahar berpikir, kejadian kemarin sore akan berlalu begitu saja, seperti angin berhembus. Namun, diluar dugaan. Suara Mamaknya, menggetarkan penduduk lereng Bukit. Membangunkan Bahar yang masih tertidur pulas.
“Bahar…”
“Banguuuun!” disusul dengan guyuran air dari tangan Mamaknya.
Bahar gelagapan, bangun dari tidurnya. Kasurnya basah. Mamaknya murka setelah pagi ini dapat kabar dari Tukang Sayur langganannya. Ternyata, insiden ranjau darat kemarin sudah tersiar dimana – mana. Seikat sayur kangkung dan ikan asin yang dibeli Mamaknya fajar pagi tadi, masih tergeletak diatas meja. Belum disentuh. Mamaknya belum bisa menerima kenyataan bahwa Bahar pelakunya. Apalagi saat tahu, bahwa yang jadi korbannya adalah Jon. Rekanan mamaknya yang biasa diminta tolong untuk mengangkut singkong ke Kota.
Wajah Bahar basah termasuk bantal tidurnya. Bahar bersungut, omelan mamaknya menjadi sarapan pagi ini. Kupingnya merah, bekas jeweran dari tangan Mamaknya.
Meski begitu, Bahar sangat sayang dengan mamaknya. Bapak Bahar sudah lama meninggal dunia, saat Bahar masih kelas 2 SD. Kejadian yang tidak akan terlupakan. Seekor harimau menerkam tubuh bapaknya di dalam hutan, saat pulang dari kebun.
Malam itu hujan turun rintik-rintik, seperti mengetuk atap rumah mereka berkali-kali. Angin dari arah bukit membawa suara aneh seperti geraman yang tertahan. Orang-orang kampung bilang, jika angin dari arah utara terdengar berat dan panjang, itu tanda ada binatang besar yang sedang turun dari hutan.
Bapak Bahar yang pulang terlambat dari kebun, berjalan sendirian menyusuri jalan setapak yang basah. Lampu senter kecil yang dibawanya hanya mampu menembus kabut sejengkal ke depan. Di kiri – kanan jalan, hutan tampak gelap pekat, barisan pohon karet menjulang seperti bayangan raksasa yang mengawasi.
Di tengah perjalanan, suara ranting patah terdengar. Lalu sunyi.
Sunyi yang tidak wajar. Sunyi yang membuat hewan-hewan kecil pun seolah menahan napas. Saat itulah, dari balik semak belukar, sepasang mata kuning perlahan muncul, menyala dalam gelap, seperti bara. Harimau itu berjalan pelan, tubuhnya merunduk, ekor bergoyang pelan di tanah yang becek. Geramannya terdengar rendah, hampir tidak terdengar, namun cukup untuk membuat siapa pun merinding.
Bapak Bahar mencoba mundur, namun tanah licin. Dalam hitungan detik, harimau itu menerkam. Suara teriakan, suara senter jatuh, dan suara gaduh dari semak semuanya bercampur menjadi satu. Bapak Bahar bertarung dengan Harimau dengan tenaga yang tersisa, namun cengkeraman harimau itu terlalu kuat. Kain baju robek, tanah teraduk, dan darah mulai mengalir, membuat hujan rintik – rintik malam itu berubah menjadi saksi bisu pertempuran yang tidak seimbang.
Dengan tangan gemetar, tangannya meraih batang kayu yang tergeletak, memukul sekuat tenaga ke sisi tubuh harimau. Harimau itu menggeram keras geraman yang menggema sampai ke Bukit lalu mundur sedikit. Kesempatan itu dipakai Bapak Bahar untuk bangkit, meski lututnya hampir tidak mampu lagi menopang tubuh. Namun hutan malam bukanlah tempat bagi manusia untuk menang.
Harimau itu melompat lagi, lebih cepat, lebih ganas. Benturan tubuh besar itu membuat tubuhnya terjatuh keras, menggesek tanah basah yang bercampur akar. Nafasnya tersengal, pandangannya mulai kabur. “Ya Tuhan, tolong hamba-Mu…” gumamnya lirih, suara yang hampir tak terdengar oleh siapa pun kecuali pepohonan.
Pada detik – detik terakhir, yang ia pikirkan bukan rasa sakit tetapi wajah kecil Bahar dan Istri yang ia tinggalkan di rumah. Hutan kembali sunyi. Hanya suara rintik hujan yang jatuh di dedaunan. Harimau itu perlahan menghilang kembali ke dalam gelapnya rimba.
(bersambung)
***
[1] Kenapa menyeringai?
[2] Tidak apa-apa
Agus Setiawan
Leave a Reply