Koki Listrik

"A man behind the lights". Agus Setiawan

Cerpen: Bahar dan Pasukan Semut (Bagian 2)

Besok pagi, ketika penduduk kampung menemukannya, wajah Bapak Bahar masih menatap ke arah jalan pulang, seolah ia masih berusaha kembali kepada keluarganya, walau langkahnya terhenti malam itu. Orang-orang kampung menemukannya pagi saat kabut mulai terangkat. Hutan yang biasanya damai, pagi itu terasa seperti menyimpan luka. Bukit Barisan yang indah, menjadi mencekam saat malam datang. Sejak hari itu, Bahar tumbuh tanpa bapak.

Namun justru karena itulah, ia semakin dekat dan begitu menyayangi mamaknya, satu-satunya keluarga yang ia punya.

Sejak kepergian bapaknya, Bahar tumbuh menjadi anak yang kurang mendapat perhatian. Sebab Mamaknya harus mengambil alih peran suaminya untuk mencari nafkah. Menanam singkong di kebun. Kadang menjadi Pembantu upahan untuk mencuci piring atau mencuci pakaian di rumah orang kaya. Kadang sepulang sekolah, Bahar juga membantu mamaknya bekerja. Waktu berlalu, Bahar tumbuh menjadi anak yang mandiri. Namun sebagaimana anak laki – laki umumnya, masih ada satu hal yang mengganjal di hati mamaknya.

Pernah suatu hari, tetangga sebelahnya mengadakan pesta pernikahan. Kebiasaan warga desa disini memutar musik, berjoget, pesta pora hingga larut malam. Sementara itu mamaknya sedang sakit. Bahar duduk sedih sambil menemani mamaknya. Suara musik di tengah malam, amat mengganggu kupingnya.

 “Dasar tidak tau diri, kalian tidak mengerti apa, kalau mamakku sakit, hah!?”. Ucap Bahar kesal.

Bahar pergi keluar. Sepasang matanya mencari sesuatu, dilihatnya mesin genset besar yang menjadi sumber listrik acara malam itu. Berada di sudut tembok. Ia memastikan tidak ada orang yang melihat dirinya. Tangannya memutar tutup tangki minyak, dari tangan sebelahnya ia masukkan air ke dalam tangki hingga penuh. Kini minyak sudah tercampur air. Bahar tersenyum. Ia segera kembali ke rumah.

Sepasang mata Bahar, memandang ke arah jam dinding sambil memperkirakan waktu mesin itu macet lalu mati. Bahar belum tidur, ia masih menjaga mamaknya yang demam. Menyiapkan air hangat. Merapikan selimut. Hitungan Bahar meleset sedikit, satu jam kemudian mesin genset itu mogok dan tak lama kemudian mati. Suara gaduh musik itu pun hilang seketika. Bahar tertawa. “Rasakan” ucapnya. Bahar lalu menarik selimut. Tidur. Dari ujung pintu rumahnya, suara ribut tetangga dan tamu yang hadir terdengar. Mereka saling menyalahkan sebab mesin genset mogok dan tidak ada penggantinya.

Mamaknya bahkan tidak mengetahui kejadian malam itu.

***

Kejadian mencampur air dengan minyak itu Bahar dapat ketika Kepala Dusun, Haji Kodir marah- marah dipinggir jalan. Motornya mogok. Waktu itu Bahar baru pulang sekolah. Bahar yang melihat kejadian itu berinisiatif untuk menolong. Ia membantu Pak Haji mendorong motor. Sepanjang jalan Haji Kodir bercerita kepada Bahar, bahwa ia tadi ingin pergi ke kota karena ada urusan penting. Namun tertunda karena motornya mogok, padahal pekan lalu motor ini baru saja di-service. Bahar mendengar saja, sesekali mengangguk. Haji Kodir memuji perbuatan Bahar, sambil mendoakan agar suatu hari nanti Bahar menjadi anak yang sholih. Setelah lima ratus meter jauh mendorong motor. Mereka tiba di sebuah Bengkel Motor, “Bengkel Gilang” namanya. Setelah diperiksa oleh Gilang, tidak ada yang putus, tidak ada yang aus rupanya seluruh komponen motor itu dalam keadaan normal. Gilang pun menggaruk kepala yang tidak gatal. Gilang termasuk mekanik andalan di desa ini. Keahliannya dalam memperbaiki mesin motor patut mendapat dua jempol. Namun kali ini, kasus motor Pak Haji, agak lain.

“Heran aku, Pak,” kata Gilang sambil men starter motor. Suaranya hidup, tapi hanya beberapa detik, lalu batuk-batuk kecil. “Tadi Pak Haji bilang mogok terus?”

“Iya, Lang. Macam ada yang menahan. Kadang hidup, kadang mati,” jawab Pak Haji. Mulut Pak Haji terus berdzikir.

Gilang mengangguk pelan, lalu jongkok lagi, memeriksa bagian bawah motor.
“Secara mesin, aman. Kelistrikan pun tak ada masalah…” Ia berdiri, mengusap tangannya dengan kain lap. “Tapi tadi waktu aku buka tutup tangki, minyaknya ini seperti ada lapisan yang pecah, macam terpisah sendiri.”

Gilang menunduk, kembali mengintip ke dalam tangki.
Ia mengaduk sedikit cairan itu dengan ujung obeng, lalu memperhatikan cara cairannya bergerak. Bukannya menyatu seperti bensin normal, cairan itu malah terlihat bergelombang dan berbintik, seperti ada sesuatu yang mengendap di bawahnya. Hanya butuh satu detik untuk membuat insting mekaniknya bereaksi.

“Minyaknya oplosan, Pak Haji”

Ndak mungkin motor mau jalan kalau minumnya begini.” Sambung Gilang.

Minyak di dalam tangki motor bebek warna merah itu, dikuras. Dibuang habis. Lalu ia masukkan minyak yang baru. Mesin motor dinyalakan. Motor itu kembali normal. “Pak Haji, isi minyak dimana?” Tanya Gilang ke Pak Haji. Bahar yang dari tadi mengikuti proses perbaikan motor itu mengerti, bahwa minyak dalam mesin tidak boleh bercampur dengan air, jika tercampur, maka mesin akan mogok. Setelah berucap terima kasih dan memberi upah, Pak Haji mengantar Bahar pulang ke rumah.

***

(Bersambung)

Agus Setiawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow

Get every new post on this blog delivered to your Inbox.

Join other followers:

error: Content is protected !!