Teringat percakapan tempo lalu. Kala seragam putih abu-abu masih melekat kuat. Entah ada angin apa, seketika percakapan itu terngiang-ngiang di telinga.
Emak pernah bilang: “Terlepas dari apapun jenis pekerjaannya yang penting halal, dilakukan dengan ikhlas serta bermanfaat bagi sesama”. Terkadang aku meneteskan airmata haru kala melihat Bapak yang tiap hari pergi pagi pulang sore untuk menghidupi kebutuhan keluarga kami. Bergelut dengan alat cukur, gunting, sisir. Memotong dan merapikan rambut.
Sekali pun tak pernah aku merasa malu untuk mengakui bahwa pekerjaan Ayahku hanyalah seorang tukang cukur rambut di pasar. Apa yang mesti dimalukan? Itu adalah pekerjaan yang terhormat, kata-kata itu sudah kutanamkan kuat-kuat sejak dulu.
Aku masih ingat kata-kata Danu saat kami pulang sekolah diawal tahun pelajaran. Saat teman-teman lain mengolok-olok pekerjaan Bapak, “Kau tak perlu berkecil hati Gus, saat mereka menertawakan pekerjaan Bapakmu. Kau harus bangga dan berbesar hati. Tak ada pekerjaan yang lebih hebat selain tukang cukur. Percayalah! Seorang Presiden pun tunduk saat tukang cukur mulai memotong rambutnya bahkan saat memegang kepalanya, dia pun tak marah”.
Dan kini, Bapak sudah sepantasnya berbangga hati terhadap anaknya. Karena harapan terbesarnya terkabulkan, harapan kepada anaknya agar memiliki pekerjaan yang lebih dari dirinya. Anakmu kini sudah bisa bekerja dengan tangan sendiri, mengais rizki di sela-sela kehidupan masyarakat yang pelik, dan tetap bertahan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. Emak, Bapak doakan anakmu, selalu.