SAYA dan Iin sering menyempatkan diri berkunjung ke rumah salah seorang sepupu yang tinggal tidak jauh dari kediaman kami. Namanya Fariz, usianya belum genap 2 tahun. Ia begitu menggemaskan dan lucu dengan segala tingkah lakunya. Fariz sudah bisa berjalan dan berlari, ia memiliki bentuk postur tubuh kuat dibandingkan dengan anak seusianya (mungkin karena ia setiap pagi diberi sarapan telur ayam kampung dan madu), giginya sudah tumbuh sebagian.
Saat Fariz dan kedua orangtuanya berkunjung ke rumah kami, saya mengajaknya bermain di halaman depan rumah. Disana ada banyak kembang (saya tidak tahu apa namanya, warnanya kuning dan indah). Saat ini Fariz sudah mulai bisa bicara meski kalimat yang ia ucapkan belum teratur dengan baik. Setiap kali mendengar ia bicara kami selalu dibuatnya tersenyum, sesekali tertawa sebab kalimat yang diucapkannya membuat kami geli.
Saat mengajaknya bermain di halaman depan rumah, saya mengajarkan beberapa nama benda kepadanya. Salah satunya adalah kembang. Sambil memetik kembang tersebut saya bilang kepada Fariz, “Fariz, ini namanya kembang”. Ia diam mendengarkan sambil menatap wajah saya. Kemudian saya mengulanginya lagi. Tapi Fariz tetap diam sambil memainkan daun dan menunjuk- nunjuk kembang tersebut. Hingga akhirnya ia mengucapkan “bekang” katanya sambil menunjuk kembang. Lalu saya meluruskan kata yang ia ucapkan “kembang”, kemudian ia mengulanginya dengan kata “bekang”. Sejak saat itu, kata bekang begitu akrab di telinga kami.
Dilain kesempatan kami mengajak Fariz melihat sapi. Ia suka sekali melihat sapi, apalagi ketika seekor anak sapi mendekatinya. Ia merasa takut sekaligus senang hingga ia tak mampu lagi tertawa. Sepanjang jalan ia menyeringai bahagia. Kepolosan anak kecil membuat saya betah menghabiskan berjam- jam bermain bersamanya.