Koki Listrik

"A man behind the lights". Agus Setiawan

Cerpen: Bahar dan Pasukan Semut (Tamat)

Hari kesekian setelah kejadian ranjau darat. Mamaknya menatap wajah Bahar yang polos, sambil berkata: “Mamak ini malu, kau sudah besar tapi belum sunat. Apa kau juga tidak malu, hah?”. Bahar pura – pura tidak mendengar. Bahar takut disunat, sebab temannya selalu bilang sunat itu sakit seperti diiris sembilu, terus digesek – gesek hingga berdarah. Bahar ngilu membayangkan hal itu. Ia lebih memilih untuk tidur diluar sewaktu pernah diancam tidak boleh masuk ke rumah jika belum disunat.

“Laki-laki itu disunat, Bahar. Jika bapakmu masih hidup, dia pasti bangga anak bujangnya sudah disunat”.

Mamaknya masih terus membujuk. Bahar masih diam sambil menyelesaikan suapan nasi goreng terakhirnya. Bahar pergi ke sekolah setelah berpamitan dengan mamaknya.

Pelajaran hari ini, kesukaan Bahar. Kau tahu? Iya, matematika. Bukan karena Bahar suka berhitung. Bukan. Tapi karena guru ini tidak terlalu lama berada di kelas. Pelajaran matematika oleh Pak Hasan ini, berada di jam pertama. Setelah Pak Hasan mengabsen dan memberi tugas di papan tulis, maka dia pergi. Bukan karena malas. Bahkan Pak Hasan adalah sosok guru teladan di desa ini. Alasan guru ini pergi adalah karena sang guru harus berjuang untuk hidup, mengandalkan upah dari sekolah tidak membuat perut guru itu kenyang. Upah yang tidak seberapa, seringkali datang terlambat ketimbang tepat waktunya. Guru juga punya keluarga untuk dinafkahi. Kau tahu kemana guru ini pergi? Menjadi tukang ojek. Mengantar penumpang dari desa ke terminal bus. Lumayan, upah menjadi ojek ini sedikit membantu untuk makan keluarganya.

Namun, apa yang dilakukan Bahar saat Pak Hasan pergi? Bukan menghitung, apalagi menyelesaikan tugas yang diberikan. Ia pergi keluar kelas bersama teman yang lain. Ada yang bermain bola, ada yang bermain kejar-kejaran. Ada juga yang memanjat pohon mangga milik warga yang tidak jauh dari sekolah. Tidak ada yang mengawasi. Bangunan sekolah yang sudah tua itu, tidak memiliki banyak siswa. Orang – orang dengan ekonomi yang cukup akan berpikir dua kali untuk memasukkan anaknya ke sekolah ini.

Bahar berhenti sejenak bermain. Ia berjalan ke belakang sekolah, mencari tempat favorit untuk buang air kecil. Jangan kau tanya toiletnya dimana, kawan. Bangunan toilet sekolah itu sudah mirip tempat jin buang anak.

Bahar sedikit tergesah membuka resleting celananya. Kebelet. Rasanya sudah diujung. Bahar bernapas legah sambil menikmati aliran kemih yang keluar. Matanya melihat ke bawah. Ada hal yang menarik pemandangan. Sebuah sarang semut merah terpampang tidak jauh dari tempat jatuhnya air kemih. Bentuknya seperti gunung kecil, di tengah-tengah ada lubang. Terlihat beberapa semut lalu lalang. Bahar tersenyum pongah. “Mainan baru”, ucapnya dalam hati. Bahar segera mengarahkan rudal airnya ke sarang semut. Seketika sarang semut basah. Air membasahi permukaan sarang dan menghancurkan gundukan sarang. Sebagian masuk ke dalam lubang. Semut- semut yang berada diluar, terombang-ambing hanyut oleh arus air kemih, ada juga yang tenggelam. Bahar tertawa seru, hingga giginya terlihat.

Satu semut selamat dari terjangan air, masuk ke dalam sarang sambil berteriak, “Banjiiiir, banjiiirr Tuan Ratu”. Napasnya tersengal, begitu juga dengan semut lain yang berlari kocar – kacir menyelamatkan telur mereka. Semut Prajurit ini melanjutkan laporan, “Seorang anak manusia mengencingi sarang milik kita, Ratu”.

“Apa?”

“Maksudmu, air ini bukan air hujan?” tanya Ratu Semut memastikan.

“Bukan, Ratu” ia menjawab dengan mantap. “Ini air kencing, Ratu” ucap Semut Prajurit.

“Dasar, tidak tahu diri!”. Wajah Ratu Semut memerah. “Segera selamatkan semua semut yang masih dapat ditolong, evakuasi anak – anak, telur dan makanan ke tempat yang aman”. Perintah Ratu kepada seluruh Semut Prajurit yang tersisa.

Bagaimana tidak, sarang itu baru saja dibangun. Setelah mereka terusir oleh kawanan belalang. Pasukan semut telah bersusah payah mencari lokasi baru, kemudian membangun sarang ini.

Lubang sarang semut semakin dipenuhi air. Termasuk Ratu Semut yang kini hampir tidak bisa menyelamatkan diri dari air bah ini. Sebelum air itu menenggelamkan seluruh sarangnya, Sang Ratu berdoa kepada Tuhan, “Ya Tuhan, berilah pelajaran anak manusia ini”. Doa itu terucap dari Sang Ratu, menembus ke langit. Doa semut yang terzalimi. Tidak ada lagi tirai yang membatasi. Doa itu langsung dikabulkan langsung oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

Bahar yang masih asyik mengarahkan rudal airnya, mengambil aba – aba untuk mengembalikan rudal ke tempat semula. Badan Bahar bergidik sejenak, puas melihat sarang semut itu hancur. Namun, tidak disangka. Tiba-tiba Bahar berteriak keras, ketika jari yang bertugas menutup resleting celana lebih cepat daripada gerakan rudal yang masuk. Ujung rudal Bahar terjepit resleting. Air mata mengalir. Bahar berjalan tertatih – tatih. Teman sekitar yang mendengar teriakan itu mendatangi Bahar. Ada yang tertawa lucu, ada juga yang kasihan. Tidak lama, datang Pak Hasan yang baru saja mengantar penumpang. Tanpa pikir panjang, Bahar dibawa ke Puskesmas. Tempat biasa Dokter Asep bertugas. Si Tukang Sunat.

“Kondisinya tidak memungkinkan lagi, untuk ditarik ke tempat semula” ucap Pak Asep kepada Mamak Bahar. Mamak Bahar mengangguk pelan. Seolah menyetujui. Teriakan Bahar masih memenuhi ruang Puskesmas. Siang itu, menjadi sejarah baru bagi Bahar. Bahar resmi disunat.

Rasa perihnya masih terasa hingga sore. Saat duduk di belakang rumah sambil memandangi Bukit Barisan, ia mengerti akan satu hal: Menjadi laki-laki bukan hanya soal berani, tapi juga berani berbuat benar, berani menjaga, dan berani tidak menyakiti yang lebih kecil.

Agus Setiawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow

Get every new post on this blog delivered to your Inbox.

Join other followers:

error: Content is protected !!