AWAL JULI kami jadikan sejarah antara kakak dan saya. Seperti merayakan pertemuan antara dua orang yang sudah lama tak berjumpa, kami melakukan sebuah pendakian ke puncak Bukit Serelo. Ini adalah pendakian perdana dalam hidup saya. Bukit Serelo yang biasanya hanya saya tatap dari kejauhan akhirnya menemukan titik jenuh yang harus segera dibayar dengan sebuah perjalanan. Berbekal keberanian, perbekalan yang cukup, kaki-kaki yang siap melangkah, dan mata yang terus memandang ke depan perjalanan ini dimulai.
Kami memulai perjalanan dari rumah dengan menunggangi sepeda motor hingga tiba di desa Lebak Budi yang menjadikan titik awal perjalanan. Lalu kami memulai perjalanan dengan sebuah tas ransel di pundak, melewati jembatan gantung, menyeberangi sungai, menyusuri jalan di hutan, menapaki lereng bukit yang hijau, semua kami lewati dengan tabah. Meski lelah menggantung di pundak, keringat bercucur, tetap melangkah! Itulah yang selalu teriakkan dalam dada.
Malam tiba, kami tidur di bawah langit berbintang, berteman kunang-kunang dan nyamuk nakal serta api unggun yang menghangatkan jiwa. Saya seperti merasakan sesuatu yang sangat berbeda ketika menyatu dengan alam, merasakan hembusan lembut angin malam yang meniup di setiap sela tubuh. Rasa damai serta-merta menyatu dalam dada, segala duka-lara, penyesalan seketika hilang dalam kejapan mata.
Dan ketika mentari pagi yang bersinar pada tanggal dua juli dua ribu tiga belas, kami berdua akhirnyai menuliskan sebuah kisah antara kakak dan adik. Kaki-kaki kami berhasil menjejak di puncak Bukit Serelo. Memandang cakrawala dari atas, sungai lematang yang berkelak-kelok, awan yang berpadu dengan langit biru, bukit barisan yang mengelilingi kota kami. Sungguh, betapa besarnya ciptaan Allah swt, betapa kecilnya kami.
Kami tidak menyaksikan pemandangan matahari terbit seperti yang kami rencanakan sebelum mendaki, gumpalan awan menutupi matahari. Sepertinya matahari terlalu malu untuk menampakkan diri pada kami yang sudah terlalu antusias hendak menyaksikan kejadian alam tersebut. Tak mengapa, tiba di puncak dengan selamat juga merupakan anugerah yang patut disyukuri, bukan? :)
Beberapa jepretan foto saya pikir tak berlebihan untuk mengabadikan momen seperti ini. Ketika, matahari naik sepenggalan kami pulang ke rumah dengan senyum di wajah. Tak ada oleh-oleh, hanya sandal yang penuh tanah, baju-baju yang penuh keringat tengik dan persediaan makanan yang habis. Tapi dibalik perjalanan ini kami sudah menuliskan cerita.
Datanglah ke kota saya bila berminat mendaki Bukit Serelo, tapi jangan lupa untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan dan tidak membuang sampah sembarangan. Seperti yang kakak saya bilang: “Semua kesuksesan berawal dari kebersihan”. Nah, kebersihan adalah hal yang universal, entah itu kebersihan hati, kebersihan jiwa dan sebagainya. Selamat mendaki lestari!