MUNGKIN adalah sebuah keanehan jika memilih untuk naik ojeg sementara Anda sendiri mempunyai motor. Atau memilih naik bus sedangkan di rumah Anda sendiri terdapat sebuah mobil yang kapanpun bisa dipakai. Di jaman yang serba cepat dan instan seperti sekarang ini orang- orang lebih memilih untuk melakukan hal praktis dibandingkan dengan kehidupan 20 tahun silam. Wajar, semua orang hidup dengan kebutuhan dan kepentingannya masing- masing. Meski demikian saya masih suka kembali kepada kebiasaan jaman dulu, terdengar klasik memang, namun setidaknya hal itu membuat saya bahagia.
Saya pernah melakukan perjalanan sejauh 126 kilometer dari rumah ke tempat kerja dengan naik angkutan umum/Bus, tanpa motor kesayangan seperti hal yang biasa dilakukan. Rute yang ditempuh tidaklah mudah, sebab ketika tiba di persimpangan jalan, saya harus masuk ke dalam hutan, naik ojeg sejauh 12 kilometer yang jalannya bercampur antara tanah dan batu, berlubang pula. Orang lain mungkin berpikir bahwa apa yang saya lakukan adalah hal bodoh, mempersulit diri, membuat rumit perjalanan. Tidak demikian. Saya hanya ingin mengenang kesulitan saat tidak memiliki apa- apa waktu dulu,saat saya menjadi Pejalan Kaki yang tabah. Saya hanya tidak ingin terbuai oleh fasilitas yang membuat saya lupa bahwa diri ini pernah berada di titik paling bawah dalam kehidupan.
Di rumah, sudah terpasang sebuah pompa air yang bisa dinyalakan kapanpun, dan air akan terisi ke dalam bak. Namun, kadang saya masih saja memilih menimba air dengan tangan, menggunakan katrol untuk memenuhi bak mandi. Entahlah, hal- hal sederhana seperti ini kadang lebih saya sukai.
Meski perkembangan teknologi sudah berkembang pesat, internet tumbuh subur dan kita bisa mengirimkan pesan kapanpun dan saat itu juga pesan sampai pada si penerima. Saya, masih suka berkunjung ke Kantor Pos, mengirimkan surat dengan tulisan tangan sendiri.
Di samping itu, media social yang berkembang saat ini kadang tak cukup membantu kita untuk berinteraksi pada sesama. Malah terkadang membuat kita saling berjauhan, membuat kita lupa pada kehidupan nyata. Banyak orang- orang yang lupa diri, berjalan kaki sambil menatap layar handphone, makan dengan tangan kanan sementara tangan kiri sibuk bermain handphone. Berbicara pun tidak lagi saling bertatap mata melainkan sibuk dengan kotak elektronik di tangan. Sering saya me-nonaktifkan semua media social yang saya miliki, bukan bertujuan untuk ‘anti-sosial’ melainkan saya ingin terhindar dari media yang membuat pemiliknya lupa bahwa kehidupan nyata lebih layak dijalani dan dihadapi, daripada sekadar menatap dinding-dinding orang lain, tulisan penuh keluhan, foto- foto milik orang lain yang bahkan belum pernah saya temui di kehidupan nyata.
Saya tidak tahu, apakah masih ada orang- orang seperti saya, yang suka memilih hal klasik dibanding hal instan lainnya. Terlepas dari semua hal yang saya pilih, setidaknya hal tersebut membuat saya selalu bersyukur atas semua hal yang ada dalam genggaman, menyadari bahwa saya hidup dalam kehidupan nyata.