KETIKA hendak menjual rumahnya, seorang Yahudi menjualnya dengan harga yang sangat mahal. Padahal saat itu harga pasaran untuk rumah seorang Yahudi tersebut hanya setengah dari harga yang ia tawarkan. Suatu hari seorang calon pembeli berkata kepada Yahudi tersebut: “Sungguh mahal sekali harga rumah yang kau tawarkan itu. Engkau tawarkan seharga 2000 dirham padahal harga pasaran rumah engkau cuma 1000 dirham”.
Lalu Yahudi tersebut berkata: “Ya memang benar, rumah yang kumiliki memang seharga 1000 dirham. Tetapi aku memiliki seorang tetangga yang sholeh dan baik hati yang bernama Abdullah Ibnu Mubarak. Jika engkau membeli rumahku maka engkau akan memiliki tetangga seorang sholeh dan baik hati seperti Abdullah Ibnu Mubarak. Kenyamanan bertangga dengan Abdullah Ibnu Mubarak kuhargai sebesar 1000 dirham. Jadi total harga rumah tersebut menjadi 2000 Dirham”.
Rencana Yahudi ingin menjual rumahnya sampai ke telinga Abdullah Ibnu Mubarak. Lalu Abdullah Ibnu Mubarak mendatangi Yahudi tersebut dan memberikan uang sebesar 1000 dirham. Abdullah Ibnu Mubarak berkata: “Janganlah engkau pergi dari rumah ini. Aku berikan engkau uang 1000 dirham. Karena sesungguhnya aku juga merasa senang bertetangga denganmu”.
Kisah ini merupakan kisah yang cukup populer yang terjadi pada masa tabi’ut tabi’in. Ketika seorang muslim menunjukkan akhlak mulianya, maka orang Yahudi pun mengakui dan memuliakannya. Semestinya menjadi inspirasi dan teladan kita semua.
***
Hari ini, apakah kita mengenal tetangga kita saat ini? Jangan-jangan kita bahkan tidak tahu siapa nama tetangga kita, atau jangankan untuk mengobrol sebentar, bertemu pun tidak pernah. Apakah kita masih saling memberi kepada tetangga kanan-kiri kita? Apakah kita masih menjenguk tetangga kita yang sedang sakit?
Di zaman modern saat ini kita sudah lupa bahwa tetangga adalah kerabat paling dekat dengan kehidupan kita, kita telah kehilangan rasa peduli terhadap tetangga. Kita bersikap cuek, terserah orang mau apa, kita tenggelam dalam urusan masing-masing.
“Tidak usah muluk-muluk. Tidak saling mengganggu antar tetangga saja itu adalah contoh paling lumayan dalam kehidupan bertetangga kita saat ini, Gus”. Kata kakak kepada saya beberapa waktu lalu.
Jadi, ceritanya begini. Bulan lalu, seorang tetangga kami tertangkap basah membuang popok bayi yang berisi kotoron di selokan oleh kakak saya. Selokan tersebut berada persis di samping rumah kami. Tentu saja ini akan membuat polusi udara mengingat selokan tersebut dekat sekali dengan rumah kami. Dan sudah semestinya tidak membuang sampah di selokan, bukan? Menurut penjelasan kakak saya, sebelumnya ia juga pernah melihat tetangga tersebut membuang popok bayi, namun sengaja tidak ditegur. Namun hal itu rupanya terjadi lagi, lagi dan lagi, kali ini kakak saya angkat bicara. Saat diingatkan, rupanya tetangga yang jelas-jelas tertangkap basah sedang membuang popok bayi itupun mengelak, tidak mengakui. Inilah yang membuat kakak saya kesal. Akhirnya terjadi keributan kecil, anak tetangga tersebut yang mendengar hal itu juga ikut membela ibunya. Jadilah, akhirnya anak dan ibu yang bersekongkol tidak mengakui bahwa yang membuang popok tersebut adalah mereka. Lama-lama keributan itu menjalar ke masalah lain, tetangga itupun memaki kami dengan panggilan kasar dan segala kosakata kebun binatang. Lucu sekali. Sangat disayangkan, kenapa tetangga tersebut tidak mengakui kesalahannya?
***
Di zaman modern yang lewat keblinger ini. Orang-orang yang mengingatkan kepada kebaikan akan dianggap sebagai orang paling mengganggu, usil terhadap urusan orang lain. Orang-orang sudah terkikis rasa pedulinya terhadap kehidupan orang lain. Ketika maghrib tiba, masih ada saja tetangga yang menyalakan musik dengan volume besar. Ketika malam, kita yang duduk-duduk di pinggir rumah orang, bermain gitar, tertawa terbahak. Hanya karena tidak ada orang yang menegur bukan berarti tetangga yang lain tidak terganggu. Di perumahan padat penduduk, asap yang keluar dari knalpot saat kita memanaskan mesin kendaraan mudah sekali masuk ke rumah tetangga sebelah. Polusi udara. Sampah sudah seharusnya dibuang ke tempat pembuangan yang jauh dari pemukiman agar tidak menimbulkan penyakit, bukan malah dibuang sembarangan. Kita semestinya harus awas dan lebih peka terhadap hal yang menggangu kenyamanan orang lain. Hanya karena radio ini milik kita, maka kita seenaknya mengencangkan volume suaranya? Hanya karena ini mobil kita, rumah kita maka kita bebas menyalakannya dan membuat asap knalpot ke rumah orang lain? Hanya karena ini rokok, kita yang beli, mulut kita yang menghisapnya, maka kita seenaknya saja merokok di semua tempat? Ketahuilah bahwa kebebasan manusia dibatasi oleh kebebasan orang lain. Kita boleh saja melakukan apapun yang kita mau, namun juga perhatikan apa yang orang lain rasakan. Apakah tetangga terganggu atau tidak atas perbuatan kita.
Maka melalui tulisan yang tidak singkat ini, saya ingin mengajak Anda untuk mengenang bagaimana kehidupan bertetangga kita dahulu. Tanyakanlah kepada ibu atau nenek kita? Bagaimana mereka bergotong royong, memasak makanan ketika mendengar berita salah satu anak tetangga lulus kuliah. Berbondong-bondong mengunjungi rumah tetangga yang sakit. Saling memberi makan kepada tetangga, meski pada akhirnya makanan itupun kembali lagi kepada orang pertama yang memberi. Bagaimana kehidupan anak-anak tetangga berkumpul ketika makan siang, saling bertukar lauk-pauk? Tidakkah kita rindu kepada masa seperti ini? Ketika etika kehidupan bertetangga dan bermasyarakat dijunjung tinggi.