SEBELUM saya menuliskan banyak kata dalam catatan kali ini, ijinkan saya mengingatkan Anda dengan sebuah film produksi Pixar tahun 2012 lalu, yang berjudul Hobbit (An Unexpected Journey). Film ini ada kaitannya dengan judul catatan ini. The Hobbit menceritakan tentang seorang lelaki (Bilbo Baggins) yang menghabiskan banyak waktu di rumah, membaca buku, berteman selimut hangat, hidangan makanan yang enak, dan kenyamanan hidup yang susah didapat diluar. Hingga suatu hari datanglah seorang Penyihir (Gandalf) dan dua belas Kurcaci yang meminta Bilbo menjadi Pencuri untuk membantu mereka dalam sebuah pencarian ke Gunung Sunyi. Pada awalnya Bilbo menolak tawaran tersebut hingga niatnya berubah ketika Sang Penyihir dan teman- temannya meninggalkan sendiri Bilbo di rumahnya. Bilbo memutuskan untuk ikut dan meninggalkan semua kenyamanan hidup rumahnya. Dan petualangan mereka dimulai. Segala kesulitan dan ketidaknyamanan dalam perjalanan Bilbo rasakan, hal itu membuat Bilbo dan para Kurcaci lainnya lebih kuat dan tangguh. Sampai disini cerita tersebut belum selesai, petualangan mereka berlanjut hingga film selanjutnya Hobbit II (The Desolation of Smaug, 2013). Hingga saat ini saya masih menunggu akhir cerita petualangan tersebut dalam film Hobbit III (The Battle of the Five Armies) yang akan rilis akhir tahun ini.
Ketika memutuskan untuk meninggalkan semua kenyamanan dan pergi bertualang, kita telah meyakini bahwa kita adalah pribadi tangguh yang siap untuk menghadapi banyak tanda tanya. Sebuah pikiran tentang pergi dari rumah, pulang ke rumah ataupun menguasai rumah mungkin ada dalam pikiran manusia dari jaman dulu. Kisah Nabi Adam As yang diusir dari Surga bisa juga disimbolkan pergi dari rumah. Di rumah bernama Surga itu Adam As hidup bersama keluarga besarnya: Sang Pencipta, Malaikat, Iblis, benda- benda yang diberi nama dan Hawa. Diusia yang disimbolkan dewasa, Adam diusir dari ‘rumah’ tapi tentu dengan sebuah janji, jika sudah tiba waktunya, misi berhasil, ia boleh lagi kembali ke rumah, kembali ke Surga. Dengan kata lain rumah sejenis surga bagi lelaki dilahirkan dan kelak berharap menjadi tempat ia kembali. Tanpa keluar dari Surga, manusia bukanlah manusia. Tanpa kemampuan untuk kembali ke Surga, bekumpul dengan keluarga, manusia bisa dianggap tersesat, akan terlunta- lunta di sebuah tempat yang disebut Neraka.
Fenomena pergi dari rumah dalam tradisi Indonesia (Minang, misalnya) yang mewajibkan setiap anak lelaki keluar rumah bahkan dalam usia yang masih muda. Lelaki harus pergi dari rumah, hingga kelak nanti boleh pulang untuk menguasai rumah. Lantas darimana stereotif semacam itu berawal?
***
Dalam hal ini, rumah (bagi lelaki) bisa juga dianalogikan sebagai rahim. Anak yang tak mau pergi di rumah sama saja dengan bayi yang terlena dalam rahim. Anak mami. Rumah sebagaimana rahim adalah tempat berlindung yang alami, tempat dimana jaminan pasokan makanan tersedia. Janin yang sudah tiba waktunya, mau tak mau harus keluar dari rahim. Menghadapi dunia yang kejam yang setiap saat bisa saja membunuhnya. Sebab segala sesuatu dalam rahim tak lagi memadai untuknya terus tumbuh dan berkembang. Jadi adakah sebuah alasan bagi seorang lelaki untuk menjadi ‘anak mami?’ Tinggal terus di dalam rahim yang bernama keluarga?
Namun hal ini berbeda dengan perempuan. Perempuan seolah- olah tempatnya di rumah, pemilik, pengatur sekaligus penjaga rahim. Perempuan membuka pintu rahim dan rumah ketika lelaki hendak masuk dan mengeluarkan anak- anak mereka dari rumah.
Di kehidupan yang modern, kadang hal ini berbalik. Semakin kita melihat lelaki yang berdiam di rumah, semakin kita melihat banyak perempuan yang pergi keluar. Ada sebuah pengecualian terhadap lelaki yang berdiam diri di rumah, merawat orang tua yang sudah renta, misalnya. Atau memiliki sebuah usaha (baik itu toko, bengkel) yang mengharuskan sang lelaki berada di rumah seharian. Istilah ‘pergi dari rumah’ tak semata- mata harus melakoni sejenis perjalanan. Yang penting lagi untuk jauh dari keluarga (jauh dari Ibu dan Ayah). Si anak hanya diijinkan pulang ke rumah apabila sukses telah tiba waktunya.
Perjalanan, dengan kata lain tak lebih untuk menemukan diri sendiri.
Maka, soal pergi dari rumah atau menetap di rumah tak lain hanyalah tentang sebuah pilihan kecil. Pertanyaan mengapa seorang lelaki tidak pergi dari rumah, bukanlah perkara aib atau tidak, melainkan tentang sebuah alasan dibalik pilihan- pilihan tersebut.