Oleh: Ali Mustafa Yaqub
Ungkapan “Marhaban ya Ramadhan” yang secara harfiah berart”selamat datang wahai Ramadhan” tampaknya sudah menjadi istilah umum di Indonesia. Bukan hanya dalam ungkapan keseharian, melainkan juga masuk dalam bait-bait kasidah dalam bahasa Arab-Indonesia, yang terkadang kami sulit memahaminya.
Secara filosofis, ungkapan “Marhaban ya Ramadhan” memiliki makna yang jauh karena ia merupakan simbol dari kesiapan mental untuk menjalankan ibadah kepada Allah SWT selama bulan Ramadhan dan tentunya berdasarkan tuntunan Rasulullah SAW. Namun kenyataannya, banyak di antara kita yang justru mencederai Ramadhan karena kita justru melakukan hal-hal yang dilarang dalam agama ketika Ramadhan datang.
Banyak di antara kita yang lebih mengutamakan ibadah sunah, sedangkan ibadah wajib kita tinggalkan. Shalat Tarawih, khususnya pada hari-hari pertama Ramadhan, di setiap masjid selalu tumpah ruah, sementara banyak di antara kita yang tidak menjalankan shalat fardhu lima kali sehari.
Puasa Ramadhan yang sasarannya adalah menciptakan Muslim yang selalu bertakwa, yang ditandai, antara lain, dengan kesediaan selalu berinfak dalam segala keadaan dan juga dicontohkan oleh Rasulullah SAW sehingga sahabat Ibnu Abbas RA melukiskan kedermawanan Nabi SAW sebagai angin kencang. Tetapi, banyak di antara kita yang justru mengumbar nafsu, mengikuti pola hidup konsumerisme. Konsumerisme adalah bagian dari pemborosan yang dilarang dalam agama dan bertentangan dengan tujuan disyariatkannya ibadah puasa Ramadhan.
Gejala konsumerisme Ramadhan tidak saja menjadi fenomena dunia Islam, tetapi juga sudah menjadi fenomena dunia secara keseluruhan. Banyak orang mengganti karpet, gorden, mebel, mobil, dan lain sebagainya justru pada bulan Ramadhan.
Belanja dapur kaum ibu selalu membengkak bila datang Ramadhan karena konsumsi makanan selalu berlipat. Seorang yang ingin berbuka puasa di sebuah restoran dan dia datang jam lima sore, maka akan dijamin harus rela berdiri, menunggu sampai paling cepat jam tujuh malam dia akan mendapatkan kursi untuk duduk.
Kami juga pernah terkecoh ketika berada di Niagara, Kanada, dengan sebuah iklan yang bertuliskan “Special Ifthar Ramadhan” karena restoran tersebut ternyata tidak ada kaitannya dengan Islam sama sekali, apalagi berkaitan dengan Ramadhan. Tampaknya fenomena inilah yang menarik seorang sosiolog dari Universitas Oxford di Inggris, Walter Armbrust, untuk melakukan penelitian tentang fenomena Ramadhan kemudian memublikasikan hasilnya pada 2004.
Ia berkesimpulan bahwa Ramadhan telah dipakai untuk tujuan multiguna dari menggenjot konsumerisme, marketing produk, dan menjual ide-ide politik. Menurut dia, para pemasar kelas dunia telah lama mengamati bahwa Ramadhan adalah the important business period, periode bisnis paling penting selama satu tahun.
Akhirnya, Ramadhan dirindu, tetapi Ramadhan diseteru. Ramadhan dinanti, tetapi Ramadhan dikhianati. Ramadhan dicinta, tetapi Ramadhan dinista. Ramadhan disukai, tetapi Ramadhan dicederai.