SAYA baru saja menyelesaikan ujian semester keenam pada hari minggu lalu. Ujian bertahap yang diadakan di hari libur memaksa saya untuk mencari rekan kerja yang bisa menggantikan jam kerja saya (dalam hal ini kita sebut saling bertukar shift) dengan perjanjian saya akan menggantikannya bekerja saat saya libur.
Sebetulnya, ujian tersebut tak begitu sulit dihadapi, namun karena jarak tempat ujian tersebut cukup jauh membuat ujian tersebut terasa lelah.
Ujian dilaksanakan selama satu hari penuh selama dua minggu berturut- turut, beruntung saya hanya menghadapi tiga mata kuliah pada saat itu. Jam pertama, kedua dan jam terakhir (jam kelima). Sehingga saya punya waktu senggang sekitar empat jam untuk beristirahat. Saya masih ingat ketika pertama kali mendaftarkan diri di UT, ada banyak rekan kerja yang satu profesi dengan saya ikut ujian. Kami bersama- sama berangkat naik motor di pagi buta saat matahari belum terbit hanya untuk menghadiri ujian yang dimulai pukul tujuh pagi. Semester demi semester berlalu, rekan kerja mundur satu per satu. Ada alasan masing- masing dibalik pengunduran mereka. Dan saya menghormati keputusan yang mereka ambil. Hanya hitungan jari saja yang bertahan hingga saat ini. Apakah nanti akan ada yang mengundurkan diri dan memilih untuk berhenti atau pindah ke Universitas lain, saya tak tahu.
Menjadi Mahasiswa sekaligus Pekerja adalah pilihan saya sejak awal, apapun resiko dan hambatan di depan adalah sepenuhnya milik saya. Berat memang, sebab saya harus pintar mengatur jadwal antara belajar, bekerja, bermain dan pulang ke rumah. Ternyata, hidup saya kini tak sesederhana saat kecil dulu, saat pulang sekolah, makan dan bermain bersama teman.
Kini, ujian telah berlalu. Dalam hati saya berharap cemas dengan nilai ujian yang nanti akan keluar. Siapapun pasti berharap mendapat nilai yang baik, A ataupun B, C pun tak buruk. Dan semoga nilai ujian yang keluar nanti tak mengecewakan saya.