Kepada Saafia,
Sengaja aku mengirimkan surat ini kepadamu bukan karena tak punya pulsa untuk menelpon bukan pula karena tak punya keberanian mengucapkannya langsung. Bukan itu. Aku mengirimkan surat ini agar kau bisa leluasa membaca ulang kalimat yang kutulis, membaca hingga paham dan tentu saja kita tak perlu mempermasalahkan sinyal ponsel yang kerap tak bersahabat setiap kali aku menekan nomor teleponmu.
Apakah kau sudah siap untuk melanjutkan membaca surat ini? Anggukkan kepala jika setuju.
Tahun ini usiaku genap dua puluh empat tahun, tiga bulan lagi tepat pada bulan Agustus nanti aku berusia dua puluh lima. Satu bulan lalu, aku sudah memiliki ruang kerja baru. Aku sudah duduk di Ruang Kendali Utama, berteman Boiler, Turbine, dan Transformer. Aku terus berusaha untuk menjadi yang terbaik dalam banyak hal, meski sesekali gagal aku tak menyerah, coba terus hingga bisa. Sebab itulah janjiku untuk menjadi Sang Koki Listrik sejati yang tangguh, kuat dan setia pada valve dan peralatannya.
Bertahun-tahun aku bekerja merelakan diri terjaga di malam hari hanya sekadar menjaga Pengukus Raksasa menyala, mengalirkan listrik ke semua arah. Kau tahu, cahaya lampu yang menyala di kamarmu saat ini listriknya berasal dari tempatku bekerja.
Dulu, aku pikir menjaga Unit Pembangkit agar terus mengalirkan listrik adalah hal yang tidak mudah. Ternyata aku salah. Menjaga cahaya iman dalam hati agar terus menyala adalah hal yang tersulit. Sama seperti dengan menjaga sebuah namamu dalam hati ini. Aku simpan di dalam palung hati terdalam, tak kubiarkan seorang pun tahu. Pada malam-malam kelam aku selipkan namamu diantara jutaan doa agar suatu hari nanti aku memiliki cukup keberanian untuk mengatakan hal ini padamu. Kurasa ini adalah waktu yang tepat.
Saafia, maukah kau menjadi nyala lampu yang menerangi ruang di hatiku?
Jika kau berkenan maka kita akan menghabiskan waktu bersama-sama dalam ikatan suci, hubungan yang direstui agama. Kita akan membesarkan anak-anak kita dengan sukacita hingga waktu membuat kita tua dan renta. Menikmati senja bersama, sembari menertawakan uban yang tumbuh di kepala.
Aku tak menjanjikan rumah yang besar atau kendaraan mewah, namun percayalah aku tak akan membiarkan sedikitpun kau kebasahan ketika hujan, tak akan kubiarkan kau kepanasan ketika matahari sedang tinggi. Aku akan melakukan terbaik yang aku bisa untuk kita, untuk kebahagiaan bersama.
Saafia, aku menunggu balasan atas jawaban surat ini. Terima kasih telah membaca.
Salam,
Marwan
***Ini adalah surat yang dikirimkan Marwan kepada Saafia dalam novel Wasiat Segelas Pasir, hal yang paling mendebarkan sebelum Marwan mendapat persyaratan dari Ayah Saafia untuk menghitung segelas pasir.