Di level paling mutakhir, nyari uang itu mudah sekali. Tinggal lobi-lobi, speak-speak, sepakat, kemudian cincay saja. Soal keberatan, soal ini, itu, lagi2 bisa cincai saja.
Saya sedang bicara tentang reklamasi. Karena sertifikat HGB Pulau D, pulau reklamasi sudah resmi diterbitkan. Berapa luas di HGB tersebut, 3.120.00.000 m2. Berapa harga tanah di lokasi reklamasi ini? Paling sial 20 juta/m2–harga sekarang, besok2 bisa 40 juta/m2. Maka berapa nilai aset ini? 60 Trilyun lebih. Pemkot cukup disumpal dengan 45% lokasi, sisanya 55% milik developer, well yeah, tetap 30 Trilyun, baru nilai tanahnya saja.
Dengan uang semassif itu, maka urusan cepaaat. Bahkan saat di sana-sini masih ada masalah. Ukur hari ini, besok langsung keluar sertifikat HGB-nya, dan semua aparat terkentut-kentut sok bijak menjelaskan betapa lurusnya penerbitan sertifikat HGB tersebut. Dibela2in seolah itu urusan emak-babe-nya. Tahu mereka jika developer bakal dapat uang 30 Trilyun? Dapat mereka? Itulah yang dulu disebut WS Rendra dalam puisinya yg ganas sekali, tahun 1977: Menghisap sebatang lisong/ Melihat Indonesia Raya/ Mendengar 130 juta rakyat / Dan di langit / Dua tiga cukong mengangkang / Berak di atas kepala mereka.
40 tahun berlalu, penduduk Indonesia sudah 250 juta, apakah cukong masih berak di atas kepala kita? Masih. Bedanya sekarang cukong semakin akrab dengan penguasa. Mau di kata apa? Mereka bisa diajak makan malam bareng, tertawa, mereka bisa diajak kongkow. Mereka friend-friend-an. Dulu WS Rendra bisa marah sama pemerintah, karena bukan dipilih rakyat langsung, sekarang rumit, pemerintah dipilih rakyat, berarti marah sama diri sendiri dong?
Apakah reklamasi teluk Jakarta akan berhenti? Tanyakan pada rumput yang bergoyang. Ini tidak pernah sederhana, dek. Ini bukan soal lingkungan hidup, nasib nelayan, keadilan sosial, darimana itu pasir, dll, dll. Ini soal uang ribuan trilyun. Situ bisa melawannya? Aiih, pejabat di negeri ini, bahkan uang jut-jut saja sudah kelepek2 mau disumpal, apalagi tril-tril. Besok2 kita akan melihat CSR katanya, dana non budget begitulah, dan dana ini, dana itu, rusun nelayan dibangun, fasilitas ini, itu, seolah konsesi dan kompensasi itu memang setara, lupa, uang yg masuk kantong developer ratusan kali lebih banyak. Kita cuma dikasih seupilnya saja.
Ajaibnya masalah ini, ada loh yang sukarela jadi corong TOA membela reklamasi. Seolah dia bakal dapat tanah di sana, seolah dia bakal betul2 dapat manfaatnya. Padahal besok lusa, mau menginap di hotel lokasi reklamasi itu saja harus bayar 2-3 juta per malam, setara gajinya sebulan. Silahkan datang ke kawasan reklamasi Singapura yg keren itu, situ bisa bayar 3-5 juta per malam hotelnya. Oh iya, bicara lapangan pekerjaan, tentu akan terbuka. Buat pribumi, silahkan jadi tukang sapu, tukang lap kaca, dan jongos lainnya. Tentu jadi bagus ini lokasi reklamasi, jadi keren, gemerlap indah. Tapi itu buat siapa?
Dan ketika seorang penulis mengangkat isu ini, orang2 ini langsung ngamuk, lu nggak usah ngurusin politik, lu pergi saja sana ke negara lain, lu sirik banget sama rezeki orang lain. Ampun dah. Dia lupa, WS Rendra dulu menulis dalam sajak yang sama: Aku bertanya/ Tetapi pertanyaanku Membentur jidat penyair – penyair salon/ Yang bersajak tentang anggur dan rembulan / Sementara ketidak adilan terjadi disampingnya /Dan delapan juta kanak – kanak tanpa pendidikan /Termangu – mangu di kaki dewi kesenian.
Apakah orang2 ini tahu WS Rendra? Nampaknya tidak lagi. Mereka terlalu asyik bermain gagdet, membuka website penuh puji-puja, asyik membaca tulisan2 penyair salon, yang bersajak tentang anggur dan rembulan, lupa bahwa negara kita itu jika masih Pancasila dasarnya, maka sila ke-5 telah menunggu: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Adil? Hell yeah, developer dapat 30 trilyun sekali tepuk. Kroco dapat repot dan bertengkarnya saja. Dan catat baik2, itu baru satu Pulau D, dan kita sekali lagi hanya menghitung harga tanahnya saja.
“Menghisap sebatang lisong/ Melihat Indonesia Raya/ Mendengar 130 juta rakyat / Dan di langit / Dua tiga cukong mengangkang / Berak di atas kepala mereka.”
*Tere Liye