Dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, Indonesia pernah berjaya dengan produksi garam. Lahan tambak garam yang luas didukung dengan bergairahnya sentra garam nasional di banyak tempat menjadi cerita di balik kejayaan ini. Masyarakat yang hidup pada pertengahan tahun 1990-an bisa menjadi saksi bagaimana Indonesia mencapai swasembada garam konsumsi. Predikat pengekspor garam pun disandang.
Namun, keadaan berbalik sejak Akzo Nobel memprakarsai kampanye besar-besaran penggunaan garam beryodium di Indonesia. Sentra garam nasional berguguran. Lahan tambak garam terbengkalai.
Produksi nasional turun drastis. Ribuan petambak kehilangan mata pencaharian. Sebaliknya, impor garam membanjir, sampai kini.
Akzo Nobel adalah perusahaan multinasional dengan 18 unit usaha di bidang kesehatan, cat, dan kimia, yang beroperasi di lebih dari 80 negara dan berkantor pusat di Belanda. Pada tahun 2004, omzet penjualannya mencapai 13 miliar Euro. Akzo Nobel telah memproduksi garam beryodium sejak tahun 1918, di mana empat pabriknya di Eropa dan Australia saja mampu memproduksi 2 juta ton garam per tahun.
Kampanye garam beryodium Akzo Nobel di Indonesia dengan cepat menjadi ‘bertaring’, sebab turut melibatkan United Nations Children’s Fund (UNICEF) dan pemerintah Indonesia, dalam hal ini Departemen Kesehatan.
UNICEF, badan PBB yang menangani masalah anak-anak, mengeluarkan “fatwa” bahwa salah satu asupan penting di masa persiapan tumbuh kembang anak sejak dalam kandungan adalah garam beryodium.
Continue reading →