Tunas Bangsa

KEBAHAGIAAN masa- masa di sekolah hadir kembali ketika saya membuka folder foto sekolah yang sudah lima tahun terakhir ini teronggok saja dalam harddisk. Kenangan masa sekolah tak akan padam dalam ingatan, apalagi jika mengingat kebodohon yang pernah dilakukan di masa itu. Aduh, rasanya saya ingin tertawa sekali lagi sambil menutup muka, menahan malu.

Dulu, saya bersekolah di sebuah Sekolah Kejuruan yang letaknya sekitar empat kilometer dari rumah atau sepuluh menit dengan naik angkutan umum. Tiga tahun bersekolah disana dengan teman sekelas yang lelaki semua (ini adalah fakta yang unik sekaligus menyebalkan). Siswa yang mayoritas lelaki semua ini kadang membuat suasana meriah oleh riuh persahabataan, kadang juga membuat situasi bertambah parah penuh dendam, dan perkelahian menjadi pilihan terakhir yang tak bisa dihindari.

Menghadapi ulah siswa lelaki yang ‘nakal’ ini adalah tantangan besar bagi para guru saat itu. Hukuman yang kami dapatkan juga sama kerasnya dengan ulah bodoh kami. Suatu hari kami pernah minggat berjamaah dari kelas saat pelajaran terakhir, pernah juga membuat seorang guru honorer perempuan menangis. Kenakalan remaja yang sangat memalukan. Guru kami memberi hukuman dengan menjemur siswa- siswanya dibawah sinar matahari, direndam dalam bak air, membersihkan toilet hingga memanggil orangtua ke sekolah.

Sikap malas juga sering terlihat dari siswa- siswa yang datang pada pagi hari dengan mengantuk karena begadang nonton bola semalam hingga lupa mengerjakan pe-er (lebih tepatnya bukan lupa, tapi enggan mengerjakan). Buku yang dipinjam dari seorang yang mengerjakan pe-er pagi itu digilir dari bangku depan ia duduk hingga ke belakang kelas. Sungguh perjalanan yang cukup panjang bagi buku itu.

Jika pada hari itu ada kelas dari pagi hingga sore maka saya tidak pulang ke rumah untuk mengirit uang jajan. Uang jajan saya pada saat itu lima ribu rupiah per hari yang diberikan oleh bapak setiap pagi sebelum ia berangkat kerja. Saya berpikir kenapa dulu saya tak mau membawa bekal dari rumah atau membawa botol minum? Padahal itu bisa menghemat dua kali lipat uang jajan. Entahlah, di tengah kehidupan remaja yang masih pubertas dan pencarian jati diri, pilihan menahan haus dan lapar lebih disukai ketimbang membawa bekal makan dan minum dari rumah.

Kehidupan saat sekolah dulu sungguh terbatas. Sepatu saya koyak bagian bawahnya (membuat saya risih ketika hujan tiba, sebab kaus kaki saya juga ikut basah), tas hitam yang warnanya sudah lusuh minta diganti baru. Jangan tanya motor apa yang saya kendarai saat itu, saya cuma naik angkot setiap hari atau jalan kaki, kadang jika bapak tidak sibuk ia akan mengantar anak lelakinya ke sekolah dengan Belalang Tua (motor butut kesayangannya, sekarang sudah dijual). Bapak hanya beberapa kali saja mengantar saya ke sekolah dengan Belalang Tua, dilain kesempatan ketika beliau menawari untuk mengantar, saya memilih untuk naik angkot. Entahlah, dulu ego saya tinggi sekali, merasa malu jikalau diantar oleh orangtua ke sekolah. Padahal kalau dipikir- pikir hari ini juga saya ingin sekali diantar naik motor sekali lagi, mungkin ke pasar, taman kota atau kemana saja.

Saya tak punya handphone saat sekolah dulu, satu- satunya handphone di rumah dipakai bersama. Itupun hanya untuk saling berkirim sms kepada teman perihal pengerjaan tugas sekolah. Waktu itu, pulsa terbatas dan hanya digunakan saat penting- penting saja. Saat duduk di tahun ketiga sekolah, ketika saya harus magang di sebuah perusahaan nasional di luar kota saya menggunakan handphone untuk pertama kalinya.

Justru dalam semua keterbatasan tersebut membuat saya bergerak lebih lincah dalam melihat peluang bisnis mencari tambahan uang jajan, membeli sepatu atau tas baru. Bapak menghadiahi sebuah komputer dan printer yang mempermudah proses belajar saya. Ini sangat membantu. Bapak seolah tak ingin anak- anaknya ketinggalan teknologi dan tak mengerti perkembangan zaman. Dengan keterampilan mengetik pas-pasan saya memberanikan diri untuk membuka “jasa ketik tugas” dengan imbalan uang yang lumayan. Pada saat itu rental komputer masih jarang di kota saya, beberapa teman sekolah membutuhkannya untuk mengerjakan tugas makalah sekolah. Alhasil puluhan ribu saya dapatkan dengan cara itu. Sungguh, bahagia sekali rasanya pertama kali bisa “mencari duit sendiri”. Dilain waktu, ketika libur sekolah saya juga ikut paman bekerja. Dua belas buah Pendingin Ruangan di Bank kami bersihkan seharian. Paman mendapat upah yang banyak sedangkan ia memberiku sedikit saja bersama sekotak kurma. Namun bukan tentang sedikit-banyaknya upah yang saya dapatkan melainkan hal yang lebih penting dari itu. Sikap kerja keras dan ikhlas yang ia ajarkan kepada keponakannya sebagai bekal di masa depan.

Saya sudah lama meninggalkan bangku sekolahan, hanyut dalam arus dunia kerja dan mencari uang, serta sibuk dengan dunia kuliah. Saya tidak tahu persis kehidupan anak- anak sekolah zaman sekarang. Apakah kondisi mereka sekarang sama seperti saya dulu yang hidup dalam keterbatasan? Ataukah lebih baik? Sungguh pendidikan sekarang sudah jauh lebih mudah dan maju dibandingkan zaman saya dulu, dimana kemajuan teknologi dan informasi berkembang pesat, segala macam gadget: handphone, tablet, internet, laptop dan segala hal yang mempermudah proses belajar dengan mudah dimiliki oleh anak- anak zaman sekarang. Namun, sikap- sikap fundamental masihkah ada dalam diri anak- anak sekolah zaman sekarang? Sikap jujur, kerja keras, ikhlas, pantang menyerah, setiakawan, rela berkoban?

Merekalah yang akan tumbuh dan menjadi tonggak kehidupan negeri ini. Tanggung jawab kitalah yang akan mengarahkan hendak menjadi seperti apa tunas bangsa di masa depan. Semoga dengan berkembangnya arus teknologi dan informasi saat ini akan membawa perubahan besar bagi anak- anak bangsa ke arah yang lebih baik, bukan malah sebaliknya membuat hanyut dalam arus globalisasi dan kehilangan jati diri sebagai tunas bangsa.

Hakikat Berdoa

DALAM banyak kasus, doa-doa itu tidak mengubah situasi secara langsung. Misalnya, kita berdoa: Ya Allah, semoga aku diterima di kampus yang aku cita-citakan. Atau Ya Allah, berikanlah aku mobil mewah.

Lantas seketika kabul? Muncul mobilnya di hadapan kita. Tidak. Dunia bisa kacau balau jika begitu mekanisme doa.

Tapi doa, mengubah kitanya. Kitalah yang berubah atas doa tersebut. Mulai tekun belajar, mulai giat berlatih soal, mulai bekerja keras, maka dengan serta-merta, mekanisme doa tersebut akan berjalan menakjubkan. Hingga kalaupun kita akhirnya tidak diterima di kampus tersebut, tidak punya mobil mewah, kita tetap bahagia: karena doa berhasil mengubah kita.

Barangsiapa paham hal sederhana ini, maka dia akan berhenti berdoa di dunia maya, mulai dari doa minta mobil, rumah keren, dsbgnya; orang yang paham akan memilih berdoa di waktu2 terbaik sesuai adab dan tuntunan–dan tidak akan menulis doa sesat seperti “ya Allah, jadikan dia pacarku”.

*disalin dari catatan Tere Liye

“Kadang saya ingin sekali menulis banyak hal, apa saja yang bisa membuat saya senang. Namun saya sadar, bahwa tidak semua hal layak untuk dituliskan. Sebagian ada yang lebih indah untuk disimpan”.

Dua Orang Pemahat

DULU pernah hidup dua pemahat hebat. Mereka terkenal hingga diundang Raja berlomba di Istananya. Mereka diberikan sebuah ruangan besar dengan tembok-tembok batu berseberangan. Persis di tengah ruangan dibentangkan tirai kain. Sempurna membatasi, memisahkan, sehingga pemahat yang satu tidak bisa melihat yang lain. Mereka diberi waktu satu minggu untuk membuat pahatan yang paling indah yang bisa mereka lakukan di tembok batu masing-masing.

Pemahat pertama, memutuskan menggunakan seluruh pahat, alat-alatdan berbagai peralatan lainnya yang bisa dipergunakan untuk membuat pahatan indah di tembik batunya. Dia juga menggunakan cat-cat warna, hiasan-hiasan, dan segalanya. Orang itu terus memahat berhari-hari, tidak mengenal lelah, hingga akhirnya menghasilkan pahatan yang luar biasa indah. Siapapun yang melihatnya sungguh takkan bisa membantah betapa indah pahatan itu.

Tirai kemudian dibuka, tercenganglah pemahat pertama. Meski di telah bekerja keras siang-malam,persis di hadapannya, pemahat kedua ternyata juga berhasil memahat dinding lebih indah darinya. Berkilau indah. Berdesir si pemahat pertama. Berseru kepada Raja, dia akan menambah elok pahatannya! Berikan dia waktu! Dia akan mengalahkan pemahat kedua. Maka tirai ditutup lagi. Tanpa henti, pemahat pertama mempercantik dinding bagiannya,berhari-hari. Hingga dia merasa saingannya tidak akan bisa yang lebih indah dibandingkan miliknya.

Tirai dibuka untuk kedua kalinya untuk kedua kalinya. Apa yang dilihat pemahat pertama? Sungguh dia terkesiap. Ternganga. Dinding di seberangnya lagi-lagi lebih elok memesona. Dia berdesir tidak puas. Berteriak meminta waktu tambahan lagi. Begitu saja seterusnya, hingga berkali-kali. Pemahat pertama terus meminta waktu tambahan dan dia selalu sajamerasa dinding batu miliknyakalah indah dibanding milik pemahat kedua.

Tahukah kau? Pemahat kedua sejatinya tidak melakukan apapun terhadap dinding batunya. Dia hanya menghaluskan dinding itu secemerlanh mungkin, membuat dinding itu berkilau bagai cermin. Hanya itu… sehingga tiap kali tirai dibuka, dia sempurna hanya memantulkan hasil pahatan pemahat pertama.

Itulah bedanya antara orang-orang yang keterlaluan mencintai dunia dengan orang-orang yang bijak menyikapi hidupnya. Orang-orang yang terus merasa hidupnya kurang maka dia tidak berbeda dengan pemahat pertama, tidak akan pernah merasa puas. Tapi orang-orang bijak, orang-orang yang berhasil menghaluskan hatinya bagai cermin, maka dia bisa merasakan kebahagiaan melebihi orang terkaya sekalipun.

*Cerita Sufi lama, dalam novel Rembulan Tenggelam Di Wajahmu, Tere Liye.

Sedikit Tentang Narsisme

JIKA dulu orangtua selalu mengajarkan anak- anaknya untuk membaca doa sebelum makan, maka anak- anak zaman sekarang memiliki kebiasaan baru sebelum makan, memoto makanan! Lalu meng-uploadnya ke Jejaring Sosial (bisa Twitter, Facebook, BBM, Path, Instagram, dll). Tentu saja hal itu boleh, sah- sah saja, namun jangan sampai karena keasyikan memoto makanan, eh jadi lupa berdoa.

Kecintaan terhadap diri yang berlebihan juga berakibat buruk apabila terlalu mudah mengumbar hal- hal yang tak pantas untuk dipublikasikan kepada khalayak ramai. Seperti foto yang mengundang niat buruk (foto interior rumah, keadaan rumah, kendaraan hewan peliharaan), selain karena foto- foto tersebut bersifat individual hal ini juga kerap menimbulkan kejahatan. Juga saat meng-update status. Tak perlulah bersikap galau, sembarang tulis di status. Oh dear, jika dalam kehidupan nyata saja kita harus selalu menjaga tutur kata dan sopan santun agar tak menyakiti orang lain, apalagi di media sosial yang semua orang bisa melihatnya. Di media sosial bukan berarti menjadi tempat pelampiasan kita bebas menulis sembarangan, mencaci maki orang lain seenaknya, meng-upload foto- foto seronok yang membuat ‘sakit mata’. “Lho ini kan hak saya? Terserah saya dong mau pakenya kayak apa?! Memang ada yang salah?” Tentu saja itu hak kalian sepenuhnya, namun haruslah diingat bahwa kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang lain. Maka, pintar- pintarlah dalam menggunakan media sosial.

Saya tak bosan- bosannya mengingatkan dalam tulisan singkat, di sebuah blog yang sederhana ini agar ‘berhati- hati’ dalam menggunakan media sosial. Beberapa artikel juga pernah saya tulis di sini. Sudah banyak kejadian buruk yang terjadi akibat ketidakpahaman dalam penggunaan jejaring sosial ini. Mulai dari penculikan, penipuan pemerkosaan, perampokan rumah hingga hilangnya nyawa dan sebagainya. Tugas kita adalah memberikan nasihat serta membimbing keluarga dekat, sahabat dan orang- orang di sekitar kita agar tidak terjerumus dalam penggunaan media sosial yang berlebihan.

Semoga paham. Demikian.

Follow

Get every new post on this blog delivered to your Inbox.

Join other followers: