Tujuh Puluh Lima Setengah Sen

SUATU hari, di kota Los Angeles, Amerika Serikat. Seorang Ustad yang diundang dari Indonesia di hari terakhir mengisi pengajian berpesan kepada para jama’ah yang hadir bahwa semua materi yang pernah ia sampaikan dari awal pengajian sudah pernah ditulis di dalam bukunya. Ia bilang, bukan promosi. Namun karena hari itu adalah hari spesial, maka ia ingin menjual buku itu dengan harga istimewa. Di Indonesia harga buku itu adalah Rp. 60.000.

Sang Ustad bertanya kepada para jama’ah berapa harga yang pantas untuk harga buku itu, sebab ia hanya membawa dua buku saja dari Indonesia. Salah satu dari jamaah berkata U$ 50, Sang Ustad menggelengkan kepala. Lalu, ada lagi diantara jamaah menawarkan harga U$20, Sang Ustad kembali menggelengkan kepala. Di ujung kiri ada pula jamaah yang memberi harga U$60. Sang Ustad menggelengkan kepala untuk ketiga kalinya. Akhirnya Sang Ustad sendiri yang memberikan harga, yakni 75.5 Cent dalam bentuk uang Amerika (100 Cent sama dengan U$). Siapapun jamaah yang membawa uang tersebut maka buku itu miliknya. Dan mulailah para jama’ah merogoh kantong masing- masing. Memilih- milih kepingan Cent yang ada.

Seorang jamaah maju ke depan membawa uang U$1. 1 Cent. Lantas Sang Ustad bertanya, setengah Cent-nya mana? Jamaah bilang, “tidak ada Ustad, saya beli dua deh“. Sang Ustad menggeleng sambil berkata “harga buku ini saja jual 75.5 Cent“. Setelah itu seorang jamaah maju ke depan membawa kepingan uang 80 Cent. Jamaah itu menyerahkan kepingan Cent kepada Sang Ustad, mereka menghitung bersama. “Setengah Cent-lagi dimana?” tanya Sang Ustad. “Gak ada ustad, saya gak punya setengah Cent“. Sang Ustad menggelengkan kepala lagi. Akhirnya, jamaah bingung hendak mencari setengah Cent yang kurang itu. Sementara Sang Ustad masih mengulangi perkataannya, hanya menjual buku tersebut seharga 75.5 Cent.

*

Ruangan pengajian itu mulai ramai oleh suara jamaah yang mencari- cari kepingan Cent yang kurang. Beberapa jamaah masih mencoba membujuk Sang Ustad agar menaikkan atau menurunkan harga, sebab mereka berpikir di ruangan ini tidak ada seorang pun yang membawa setengah Cent yang diminta.

Sang Ustad masih bersikukuh pada pernyataannya, bahwa “siapa yang punya uang 75.5 Cent, yang maju pertama kali memberikan uang itu kepada saya, dialah yang mendapatkan bukunya”. Para jamaah masih bingung sambil berucap kepada Sang Ustad, bahwa tidak ada setengah Cent yang diminta.

“Tidak ada, tidak ada uang setengah Cent-nya” ruangan itu penuh dengan ucapan para jamaah yang putus asa. Beberapa ada yang menyarankan untuk mengganti setengah Cent tersebut dengan permen, Sang Ustad menolak.

Diantara riuhnya suara di ruang pengajian itu, seorang jamaah maju ke depan membawa selembar uang U$1, menyerahkannya pada Sang ustad.

“Lantas 2.5 Cent-nya bagaimana?” tanya Sang Ustad.

“Untuk Bapak” ucapnya pelan sambil mengulurkan uang U$1 dengan tangan kanannya.

“Diikhlaskan? serius?” tanya Sang ustad lagi.

Jamaah itu menganggukkan kepala pertanda setuju. “Terima kasih” ucap Sang Ustad sambil tersenyum.

**

Para jamaah terbelalak menyaksikan kenyataan itu. Sang Ustad mengajak jamaah untuk bertakbir, mengepalkan tangan kanannya. Sang Ustad akhirnya bicara kepada para jamaahnya,

“Apakah kalian masih ingat yang saya katakan di awal pengajian tadi bahwa jika ada orang yang hendak berbuat baik maka ia akan banyak berpikir. Anda sudah maju, Anda juga sudah maju namun masih memikirkan uang kembalian setengah Cent! Tadi ada yang bilang, tidak mungkin ada, Ustadnya bohong, Ustadnya main- main. Itulah syetan yang setiap kita berbuat baik selalu bilang bahwa kita tidak bisa. Hanya ada seorang jamaah yang maju membawa U$1, yang 24.5 Cent disedekahkan kepada saya dan menjadi kebaikan. Dan ia berhasil mendapatkan buku milik saya. Dan jangan memikirkan kebaikan, lakukan saja”.

***Cerita ini saya tulis setelah menonton video Ustad Felix. Y. Siauw di Youtube saat mengisi pengajian di Los Angeles, Amerika Serikat. Tak perlu berpikir terlalu banyak dalam berbuat kebaikan, cukup lakukan saja. Dan yakinlah bahwa siapa yang menanam benih kebaikan maka ia akan menuai kebaikan pula. Aamiin.

Perpustakaan

Bila kubangun rumah nanti
aku ingin ada sebuah ruangan
yang kusebut perpustakaan

Tak besar, namun cukup luas untuk kita berdua
meluangkan banyak waktu membaca disana
Atau sekadar membicarakan masa depan anak- anak kita

November 12

AWALNYA saya tak punya ide untuk dijadikan tulisan hari ini. Namun tiba- tiba saya ingat sebuah nama rumah makan di kota Palembang, November 12 namanya. Nah, ada apa dengan penamaan November 12 ini?

Arie, seorang sahabat yang sekaigus rekan kerja saya mengenalkan tempat ini pertama kali dua tahun lalu. Rumah Makan ini terletak di kota Palembang, berseberangan dengan International Plaza (IP). Rumah makan ini dengan ber-cat dinding hijau dengan sebuah papan nama “November 12” terpampang di depannya. Hampir setiap kali berkunjung ke Palembang saya selalu menyempatkan diri untuk mencicipi makanan disana, ada banyak menu makanan, seperti: nasi goreng, pindang, udang goreng, dan olahan makanan lain yang menggugah selera makan. Arie pernah bercerita kepada saya, bahwa rumah makan ini adalah tempat favorit Papanya ketika masih kuliah di kota Palembang hingga saat ini.

Pada suatu hari usai menghabiskan satu porsi nasi goreng spesial. Saya memberanikan diri untuk bertanya kepada Pemilik Warung Makan tersebut perihal pemberian nama rumah makan yang saya anggap unik. Sang Pemilik Warung bilang bahwa pemberian nama “November 12” karena saat peresmian Rumah Makan itu bertepatan dengan Hari Kesehatan Nasional yang jatuh pada tanggal 12 November. Sebab, setelah makan, perut kenyang dan sehat. Sesederhana itulah. Akhirnya rasa penasaran itu terjawab. Nah, jika kalian singgah di Kota Palembang tak ada salahnya untuk sesekali mencicipi menu makanan di November 12, rumah makan yang menyimpan banyak kenangan bagi sebagian orang, terutama Papanya Arie.

Potret

DI tempat saya bekerja diadakan Lomba Fotografi yang digelar akhir tahun lalu, karena tak banyak karyawan yang berminat akhirnya acara itu hanya diikuti oleh beberapa orang saja yang bisa dihitung dengan jari. Tak ada pengumuman siapa yang menjadi pemenang, bahkan acara tersebut dibatalkan tanpa penjelasan.

Namun, walau demikian saya tetap berbesar hati dengan terus berpartisipasi dalam acara yang diselenggarakan oleh Perusahaan. Kawan, kali ini kalian bisa menikmati beberapa foto yang saya sertakan dalam lomba tersebut. Foto- foto ini saya ambil dalam waktu yang berbeda.

"Power Plant. Captured on 01/03/2013"
“Power Plant. Captured on 01/03/2013”
"Awan Sirrus pada petang hari. Captured on 28/02/2013"
“Cirrus Cloud. Captured on 28/02/2013”
"Capung. Captured on 24/10/2013"
“Dragonfly. Captured on 24/10/2013”

Mengabadikan fenomena alam yang terjadi di sekitar kita melalui kamera selalu berhasil membuat hati saya bahagia, walau demikian tak setiap kejadian harus diabadikan dalam foto. Kadang ada hal- hal yang lebih baik disimpan sendiri, menjadi kenangan saja.

Tugu Kota Kelahiran

IDE ini sebetulnya sudah lama bersemayam di kepala saya, hanya saja dua hari lalu saya baru bisa mewujudkannya. Sejak punya kamera ingin sekali rasanya menjadikan tugu kota sebagai objek foto, terutama pada malam hari, ada banyak cahaya lampu yang menghias tempat tersebut.

"Tugu Kota Kelahiran (Kota Lahat) di Malam hari"
“Tugu Kota Kelahiran (Kota Lahat) di Malam hari”

Lalu, ba’da isya kami bertiga meluncur ke lokasi pemotretan. Kami sengaja menunggu agak malam, agar tak terlalu banyak kendaraan yang melintas. Akhirnya, waktu yang dinantikan itu tiba, saya bisa mengeksplorasi objek dengan kamera sepuasnya.

Malu? oh tidak, saya tidak malu melakukan hal ini. Lagipula tidak ada satu orang pun yang dirugikan atas ulah kami. Bahkan ada beberapa orang yang sedang di Warnet seberang tugu tersebut meminta berfoto bersama kami :D Saya juga menghadiahi mereka beberapa jepret foto yang saya kirimkan via email.

IMG_1210

Kau tahu, sebetulnya dahulu tugu ini adalah sebuah air mancur di tengah kota namun mengalami sebuah renovasi sejak bergantinya Pemimpin di kota ini. Bagaimanapun juga, saya senang bisa berfoto di tugu kota kelahiran. Nah, teman- teman, mari berbagi foto di tugu kota kelahiran masing- masing. ;)

Ruang Kerja di Hatiku

Di dalam hatiku ada sebuah ruangan
yang kunamai dengan Ruang Kerja
disana hanya ada seorang saja yang bekerja
iya, hanya ada seorang saja yang bekerja
terus menerus selama dua puluh empat jam
sehari semalam, tanpa kantuk ataupun gelisah

Kadang ia ingin beristirahat saja sejenak
sekadar meluruskan punggung, menyeka mata
atau menyeduh kopi di pagi hari

Tugasnya sederhana
ia hanya menulis apa saja yang Tuannya alami hari ini
seperti pulang kerja larut malam
mendapat bonus akhir tahun
atau pesan yang tak berbalas

Segala peristiwa ia tulis
dengan bahasa yang hanya ia sendiri
yang mengerti
Setiap kejadian ia tulis dengan tinta berbeda
warna merah ketika Tuannya bahagia
warna biru ketika Tuannya pilu

Pada suatu pagi
Sang Tuan rindu pada seseorang disana
lalu pada petang hari
kerinduan itu menjelma menjadi kesedihan
dan pada malam hari ia jatuh cinta lagi
Si Pekerja bingung memilih warna, ia bertanya
“Tuan, tinta warna apakah yang harus kupakai hari ini?”

Perjumpaan

Hilanglah hilang rasa kantuk ini
pada sesapan akhir kopi yang kuseduh
malam ini

Hilanglah segala gaduh di kepala
bersama bising mesin yang memutar baling

Hilanglah segala gelisah
sebab esok segera tiba
dan kita akan berjumpa

Follow

Get every new post on this blog delivered to your Inbox.

Join other followers: