Journal Simulation

In every first morning shift, after finished work we are as the Employee of Guo Hua Indonesia will attend the study shift in Simulation Room. It is a practical room dedicated to group training activities that imitate or simulate techniques, procedures, or situations that employees will see and experience in the future.

"The Supervisor stands behind Us, supervising the simulation training"
“The Supervisor stands behind Us, supervising the simulation training”

The supervisor of the shift explains a technique or procedure and then defines the objectives and plans the activities accordingly. Then they perform technique while Supervisor is watch and supervision. This teaching method is based on feedback. It allows errors to be corrected based on the repeated reproduction of different steps or parts of a process until the employees acquires the required precision in carrying out the technique.

Cold Start Up Unit is based skills that should be every Indonesia employee had. So, the simulation room sessions is to complement knowledge acquired in the classroom through simulated actions where employees rehearse procedures and situations before having to perform in real life situations.

I was happy during follow training, because when do operation whenever I found my fault I know what should I do to fix it. However, practice makes perfect!

Bedah Novel: Wasiat Segelas Pasir

SAYA sudah lama bergabung dengan sebuah grup di Facebook, namanya Kelas Online Bimbingan Menulis Novel (KOBIMO). Grup ini cukup hangat dan baik sebab diurus oleh mereka yang senang sekali dengan dunia literasi, anggota grupnya pun sudah mencapai kurang lebih sembilan belas ribu orang dari seluruh wilayah di Indonesia. Cukup hebat bukan? Ternyata ada begitu banyak pemuda- pemudi Indonesia yang memiliki antusias tinggi untuk menulis.

Tahun lalu, saya pernah diminta untuk mengisi Kelas Motivasi setiap sabtu malam, kelas motivasi itu benar- benar hangat, saya menemukan banyak teman yang memiliki hobi membaca dan menulis. Meskipun kelas yang saya isi tak berlangsung lama sebab kesibukan bekerja dan kuliah benar- benar menyita semuanya. Lalu diganti oleh orang lain. Selain kelas motivasi ada juga kelas bimbingan lainnya seperti: kelas latihan, kelas puisi, ruang curhat, bengkel novel, kelas go to media dan lain- lain.

Kemarin malam, saya diminta oleh salah satu Pengurus KOBIMO untuk mengisi kelas bedah novel yang dimoderatori oleh Umirah Ramata, seorang wanita yang bekerja di Taiwan. Saya cukup mengenalnya pada kelas motivasi waktu itu, meski hanya di dalam grup. Acara kelas bedah novel ini tujuannya untuk berbagi pengalaman selama menulis, menambah motivasi bagi semua anggota di dalamnya, sekaligus mengenalkan karya- karya anggotanya untuk tetap terus produktif menghasilkan tulisan- tulisan yang baik.

Berikut obrolan saya dengan Umirah Ramata di grup KOBIMO waktu itu.

Apa sih yang membedakan novel pertama dengan yang sekarang? Lalu dari mana ide menulis Wasiat Segelas Pasir ini muncul?

Dalam buku Wasiat Segelas Pasir ini saya lebih menonjolkan sisi romansa dalam segala sisi kehidupan, seperti cinta kepada orang tua, sahabat, pekerjaan, bangsa dan lain- lain. Tentu buku kedua ini masih berkaitan dengan buku pertama saya, Sang Koki Listrik. Sebab ini adalah dwilogi Sang Koki Listrik.

Waktu itu Ibu saya sedang menampi beras di dapur, dan entah mengapa saya ingat kenangan waktu saya kecil saat senang bermain pasir bersama teman. Kemudian ide itu mengalir saja dan menjadi buku kedua.

Wah, seru nih, kalau ini menjadi sebuah buku dwilogi, takkan lengkap donk ya, jika hanya baca satu buku saja. Keren dah! Lalu bagaimana dengan tokoh-tokoh yang ada di dalamnya, memang benar-benar sama dengan buku yang pertama ya Kak Agus Setiawan? Apakah memang sejak pertama membuat buku itu sudah berencana untuk membuat sebuah novel dwilogi?

Untuk lebih memahami cerita pada Wasiat Segelas Pasir alangkah baiknya untuk mengikuti cerita sebelumnya pada buku Sang Koki Listrik. Untuk tokoh, tidak benar- benar sama dengan cerita sebelumnya. Beberapa tokoh saya hilangkan pada cerita kedua.

Sebetulnya, pada penulisan buku Sang Koki Listrik saya kehabisan ide untuk melanjutkan naskah. Maka saya mengambil inisiatif untuk menjadikannya novel kedua, sementara mencari ide untuk menulis cerita lanjutannya. Dan pada akhirnya, saya berhasil menyatukan alur kedua ceritanya.

Berarti memang saat di buku pertama tak ada rencana untuk bikin dwilogi ya. Selidik lagi nih, pertanyaan selanjutnya. Apakah tidak lebih susah menyatukan alur dari novel pertama yang begitu panjang Kak Agus Setiawan, dan bagaimana tentang ide-ide baru yang biasanya bermunculan saat kita menuliskan sebuah novel, apakah mereka(ide) itu bisa semua dimasukkan ke dalam novel yang sedang kita tulis? Dan tentang novelnya kak, memakai alur apakah di dalamnya? panjangnyaaa …. . sekalian saja ya, kak

Awalnya memang susah sebab saya harus berpikir keras dan mencari ide yang pas dengan cerita sebelumnya. Bagi saya, ide susah untuk dijelaskan namun saran saya apabila menemukan hal yang unik, kreatif dalam kehidupan sehari- hari lebih baik untuk ditulis di kertas, boleh jadi di kemudian hari kita membutuhkan hal tersebut.

Pada Wasiat Segelas Pasir ini saya menggunakan alur campuran, sangat berbeda dengan cerita sebelumnya yang menggunakan alur maju.

Pertanyaan terakhir. Apa sih keunggulan novel Wasiat Segelas Pasir ini dari novel- novel yang beredar di pasaran?

Menurut hemat saya, ceritanya yang terkesan unik dan magis yang membuat buku kedua saya layak untuk dibaca, syarat makna dan saya tuliskan dengan sederhana, mudah dimengerti. Dan sangat cocok dibaca oleh kalangan remaja/dewasa yang kadang sering dilanda rasa galau oleh perasaan. Demikian.

*

Bagi kalian yang suka dengan dunia literasi, sila bergabung di grup KOBIMO.

Sinopsis “Dwilogi Novel Sang Koki Listrik: Wasiat Segelas Pasir”

Judul : Wasiat Segelas Pasir

ISBN: 978-602-7950-54-2

Jumlah halaman : 223 lembar, 13 cm x 19 cm

Harga : 56.000 IDR, diterbitkan di nulisbuku.com

Novel dewasa, fiksi

Dwilogi Novel Sang Koki Listrik: Wasiat Segelas Pasir
Dwilogi Novel Sang Koki Listrik: Wasiat Segelas Pasir

***

Tiga tahun sudah Marwan bekerja di Pembangkit Listrik. Jumlah pegawai yang bekerja kian hari kian bertambah seiring berputarnya waktu. Sikap kerja Marwan yang baik dan dan dinilai oleh Pimpinan Perusahaan membuat pihak Perusahaan memutuskan untuk merekrut pegawai dari tempat Marwan bersekolah dulu. Untuk itulah Marwan harus belajar dan bekerja lebih giat lagi, mendidik pegawai baru yang juga adik- adik kelasnya agar bisa bekerja dengan baik, mengoperasikan peralatan, mengajarkan ‘resep bumbu ajaib’ untuk membuat ‘dapur listrik’ mereka tetap menyala.

Marwan memiliki seorang tetangga yang baik, yang juga merupakan sahabat karib Bapak Marwan (Pak Latif). Pak Majid namanya. Pak Majid memiliki seorang putri tunggal, Qarina. Ia dan Marwan adalah teman masa kecil yang baik, usia mereka hanya beda satu tahun. Setelah tumbuh dewasa, Qarina memilih untuk mengajar mengaji di Masjid dekat rumah mereka. Istri Pak Majid meninggal dunia saat Qarina masih duduk di bangku SMP. Oleh karena itu, Qarina sudah menganggap Ibu Marwan sebagai ‘Ibu angkat’. Kepada Ibunda Marwan-lah Qarina banyak belajar hal tentang masakan. Seringnya Qarina berkunjung ke rumah Marwan untuk belajar memasak membuat Qarina jatuh cinta pada Marwan. Cinta lama yang ia pendam sejak kecil, keakraban kecil mereka seperti saat bermain sepeda, bermain bedil bambu, menyaksikan kunang- kunang membuat hari- hari Qarina menemukan semangat baru sejak ditinggal ibunya.

IMG_0378

Danu, sahabat baik Marwan saat sekolah dulu berkunjung ke rumah Marwan. Tak sengaja bertemu dengan Qarina saat Qarina hendak belajar memasak. Danu jatuh cinta padanya. Danu berupaya sekuat tenaga untuk mendekatinya, mulai dari sering bermain ke rumah Marwan hingga berpura- pura belajar mengaji kepada Qarina di Masjid tempat ia mengajar. Sembari menyembunyikan identitas sebenarnya, Juara MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur’an) tingkat kabupaten demi mendapatkan hati seorang Qarina.

Sementara itu, Saafia, gadis Stroberrie yang dulu pernah membuat Marwan jatuh hati telah menyelesaikan kuliahnya di Kairo dengan baik. Perasaan cinta yang dipendam oleh Marwan kepada Saafia ternyata tak berubah sama sekali, malah semakin besar, begitu pula dengan Saafia. Sepulangnya Saafia dari Kairo, ia mengabdikan diri untuk bekerja di sebuah Sekolah Dasar Teladan sebagai Guru.

Saafia yang saat itu menjadi Pengawas siswa- siswi dalam rangka Hari Hemat Energi berkunjung ke Pembangkit Listrik secara kebetulan bertemu dengan Marwan. Pertemuan itu membuat perasaan mereka berdua tumbuh subur. Sementara itu tanpa sepengetahuan Qarina dan Marwan, orangtua mereka merencanakan perjodohan terhadap anak- anaknya. Hal inilah yang membuat Marwan bingung, antara mengikuti pilihan hati atau pilihan orangtua. Namun pada akhirnya, orangtua Marwan memberikan keputusan sepenuhnya pada Marwan.

Dukungan keluarga serta ditambah dengan kakak- kakak Marwan yang sudah menikah membuat Marwan tak bisa menunggu lagi untuk melamar Saafia. Disaat Marwan menyatakan niat untuk melamar Saafia, Pak Zyaad (Ayah Saafia) memberikan sebuah persyaratan agar lamaran Marwan diterima. Pak Zyaad memberikan segelas pasir untuk dihitung dalam semalam.

“Apakah Marwan mampu menghitung semua butir pasir itu dalam semalam? Apakah cinta Marwan dan Saafia terwujud hingga ke pelaminan? Lantas wasiat apa yang terdapat dalam segelas pasir itu?”

Maka dengan segala kerendahan hati mulailah membaca cerita ini dengan baik agar kita bisa memahami apa arti cinta dan mencintai yang sebenarnya. Temukan semua jawabannya di buku kedua saya, Wasiat Segelas Pasir.

Selamat membaca!

Photo Project: Night and Day

BEBERAPA waktu lalu saya mengambil beberapa foto dengan objek yang sama dalam waktu berbeda, dan inilah hasilnya!

malam dan siang
Night and Day

Saya menggabungkan dua foto tersebut ke dalam satu foto yang tampak seolah- oleh malam dan siang saling berdekatan. Mencoba hal baru dalam fotografi ternyata cukup menyenangkan!

Let’s Move On!

Dikisahkan pada zaman dahulu, hiduplah seekor elang dan ayam. Mereka berdua bersahabat baik dan memutuskan untuk tinggal bersama. Ayam tak bisa mengimbangi kehebatan elang yang mampu terbang tinggi, maka dari itu elang selalu menolong ayam untuk mengajaknya terbang bersama.

Suatu ketika si ayam meminta sang elang untuk mengajaknya terbang tinggi sampai ke ujung langit dan sang elang pun menyetujuinya. Tapi sayangnya, belum sampai diujung langit si ayam sudah mulai takut akan ketinggian, perutnya mual dan ia mendesak sang elang untuk menurunkannya.

Begitu turun, sampailah mereka di sebuah peternakan dan bertemu dengan sapi. Sapi ini sangat baik sekali dan rela berbagi makanan dengan si ayam. Si ayam pun heran, kok ada yah tempat yang begitu enaknya seperti ini? Tak perlu berburu untuk mencari makan, semuanya sudah tersedia dengan melimpah di sini.

Begitu elang mengajak ayam untuk terbang lagi, si ayam menolak. Pikirnya buat apa bersusah payah melawan ketinggian demi mencari makan, toh di peternakan ini semuanya sudah tersedia dengan melimpah. Sejak saat itu persahabatan mereka pun berakhir, sang elang memutuskan untuk terbang lebih tinggi lagi dan si ayam pun memutuskan untuk tinggal dengan jaminan makanan yang ada di peternakan itu.

Suatu ketika, si ayam mendengar bahwa Pemilik peternakan ingin makan ayam hari itu. Mendengarnya, si ayam pun lari pontang-panting, namun apa daya badannya yang kegemukan karena banyak makan tak mampu membawanya pergi jauh. Akhirnya si ayam pun tertangkap dan berakhir di meja makan.

***

Saya yakin kita pernah mendengar cerita ini saat masih kecil, bukan? Cerita ini menjadi cerita favorit saya saat masih kecil. Kita semua tahu bahwa elang adalah hewan dengan insting yang tinggi, hidupnya selalu bertualang, berburu sendiri, terbang tinggi, menjadi penantang risiko dalam kehidupannya, pengamat yang baik sekaligus penjelajah yang berani. Berbeda dengan ayam, hewan ini lebih suka pada zona nyaman, memilih untuk menjauhi tantangan. Hidupnya hanya berada satu tempat saja.

Move On berarti berjalan, bergerak, memutuskan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Di usia kita yang masih muda seperti ini tantangan adalah hal terbaik bagi kehidupan dan wawasan kita. Selimut yang hangat, bantal empuk, secangkir kopi dan buku mungkin adalah hal menyenangkan dan membuat kita nyaman. Namun tahukah kau? Bahwa zona nyaman perlahan dapat membunuh keterampilan bertahan. Sebab hidup kita hanya dimanjakan oleh hal- hal yang membuat kita nyaman. Berbeda dengan mereka yang memilih untuk melakukan perjalanan, berlayar, meski mereka tahu bahwa akan ada banyak ‘kejutan’ dalam perjalanan namun hal itu membuat hidup mereka lebih berwarna.

Tak usah jauh- jauh untuk melakukan perjalanan, dalam skala kecil kita bisa berjalan- jalan ke desa sebelah, berbaur dengan kehidupan masyarakat desa, ataupun berkunjung ke tempat saudara di luar kota. Aktifitas kerja ataupun kuliah memang banyak menyita waktu, namun luangkan waktu sejenak untuk mengenali diri dengan bertualang, dengan begitu hidup kita tak akan sama lagi ketika berhasil menaklukkan tantangan.

Hidup adalah bergerak, maka hiduplah dengan cara yang hidup. Belajarlah dari elang, yang selalu bertualang, penjelajah tangguh dan pemberani. Bertualanglah, jadilah Dalang atas kisah sendiri. Let’s move on!

Follow

Get every new post on this blog delivered to your Inbox.

Join other followers: