SAYA sudah lama bergabung dengan sebuah grup di Facebook, namanya Kelas Online Bimbingan Menulis Novel (KOBIMO). Grup ini cukup hangat dan baik sebab diurus oleh mereka yang senang sekali dengan dunia literasi, anggota grupnya pun sudah mencapai kurang lebih sembilan belas ribu orang dari seluruh wilayah di Indonesia. Cukup hebat bukan? Ternyata ada begitu banyak pemuda- pemudi Indonesia yang memiliki antusias tinggi untuk menulis.
Tahun lalu, saya pernah diminta untuk mengisi Kelas Motivasi setiap sabtu malam, kelas motivasi itu benar- benar hangat, saya menemukan banyak teman yang memiliki hobi membaca dan menulis. Meskipun kelas yang saya isi tak berlangsung lama sebab kesibukan bekerja dan kuliah benar- benar menyita semuanya. Lalu diganti oleh orang lain. Selain kelas motivasi ada juga kelas bimbingan lainnya seperti: kelas latihan, kelas puisi, ruang curhat, bengkel novel, kelas go to media dan lain- lain.
Kemarin malam, saya diminta oleh salah satu Pengurus KOBIMO untuk mengisi kelas bedah novel yang dimoderatori oleh Umirah Ramata, seorang wanita yang bekerja di Taiwan. Saya cukup mengenalnya pada kelas motivasi waktu itu, meski hanya di dalam grup. Acara kelas bedah novel ini tujuannya untuk berbagi pengalaman selama menulis, menambah motivasi bagi semua anggota di dalamnya, sekaligus mengenalkan karya- karya anggotanya untuk tetap terus produktif menghasilkan tulisan- tulisan yang baik.
Berikut obrolan saya dengan Umirah Ramata di grup KOBIMO waktu itu.
Apa sih yang membedakan novel pertama dengan yang sekarang? Lalu dari mana ide menulis Wasiat Segelas Pasir ini muncul?
Dalam buku Wasiat Segelas Pasir ini saya lebih menonjolkan sisi romansa dalam segala sisi kehidupan, seperti cinta kepada orang tua, sahabat, pekerjaan, bangsa dan lain- lain. Tentu buku kedua ini masih berkaitan dengan buku pertama saya, Sang Koki Listrik. Sebab ini adalah dwilogi Sang Koki Listrik.
Waktu itu Ibu saya sedang menampi beras di dapur, dan entah mengapa saya ingat kenangan waktu saya kecil saat senang bermain pasir bersama teman. Kemudian ide itu mengalir saja dan menjadi buku kedua.
Wah, seru nih, kalau ini menjadi sebuah buku dwilogi, takkan lengkap donk ya, jika hanya baca satu buku saja. Keren dah! Lalu bagaimana dengan tokoh-tokoh yang ada di dalamnya, memang benar-benar sama dengan buku yang pertama ya Kak Agus Setiawan? Apakah memang sejak pertama membuat buku itu sudah berencana untuk membuat sebuah novel dwilogi?
Untuk lebih memahami cerita pada Wasiat Segelas Pasir alangkah baiknya untuk mengikuti cerita sebelumnya pada buku Sang Koki Listrik. Untuk tokoh, tidak benar- benar sama dengan cerita sebelumnya. Beberapa tokoh saya hilangkan pada cerita kedua.
Sebetulnya, pada penulisan buku Sang Koki Listrik saya kehabisan ide untuk melanjutkan naskah. Maka saya mengambil inisiatif untuk menjadikannya novel kedua, sementara mencari ide untuk menulis cerita lanjutannya. Dan pada akhirnya, saya berhasil menyatukan alur kedua ceritanya.
Berarti memang saat di buku pertama tak ada rencana untuk bikin dwilogi ya. Selidik lagi nih, pertanyaan selanjutnya. Apakah tidak lebih susah menyatukan alur dari novel pertama yang begitu panjang Kak Agus Setiawan, dan bagaimana tentang ide-ide baru yang biasanya bermunculan saat kita menuliskan sebuah novel, apakah mereka(ide) itu bisa semua dimasukkan ke dalam novel yang sedang kita tulis? Dan tentang novelnya kak, memakai alur apakah di dalamnya? panjangnyaaa …. . sekalian saja ya, kak
Awalnya memang susah sebab saya harus berpikir keras dan mencari ide yang pas dengan cerita sebelumnya. Bagi saya, ide susah untuk dijelaskan namun saran saya apabila menemukan hal yang unik, kreatif dalam kehidupan sehari- hari lebih baik untuk ditulis di kertas, boleh jadi di kemudian hari kita membutuhkan hal tersebut.
Pada Wasiat Segelas Pasir ini saya menggunakan alur campuran, sangat berbeda dengan cerita sebelumnya yang menggunakan alur maju.
Pertanyaan terakhir. Apa sih keunggulan novel Wasiat Segelas Pasir ini dari novel- novel yang beredar di pasaran?
Menurut hemat saya, ceritanya yang terkesan unik dan magis yang membuat buku kedua saya layak untuk dibaca, syarat makna dan saya tuliskan dengan sederhana, mudah dimengerti. Dan sangat cocok dibaca oleh kalangan remaja/dewasa yang kadang sering dilanda rasa galau oleh perasaan. Demikian.
*
Bagi kalian yang suka dengan dunia literasi, sila bergabung di grup KOBIMO.