Rumah Yang Sebenarnya

DI televisi mereka membicarakan tentang infrastruktur yang buruk, jalanan yang berlubang, macet dan bunga trotoar yang acap kali mengganggu pemandangan kota. Penggusuran tempat tinggal atau kisah tikus kantor yang berdasi. Di koran, kubaca tentang perihal calon pemimpin yang menceritakan banyak visi dan mimpi bagi para rakyatnya.

Di kota kelahiran, jalan-jalan yang berlubang sudah diaspal, baleho-baleho para calon pemimpin menghiasi taman kota. Pemandangan seperti ini menjadi agenda berkala yang sering terlihat mata. Di pasar tradisional, orang berlalu-lalang mencari kebutuhan dapurnya, para penjual sayuran dan pembeli bergelut dengan matahari yang kian meninggi.

Di rumah, masih saja lengang. Kursi malas yang kosong ditinggal pergi oleh tuannya, televisi yang tak menyala, kompor yang tak ada api sebab ditinggal emak pergi berjualan. Pagi hingga petang hari adalah sepi. Sedangkan anak-anaknya masih saja gelisah menatap hari dari balik jendela yang bisu, menghela nafas pelan seolah baik-baik saja. Begitulah setiap hari. Sementara pintu-pintu, jendela-jendela, atap-atap dan tanaman hias adalah saksi tentang hari yang berlalu.

Ruangan yang lengang, pintu yang terbuka setengah bukanlah rumah, sebab aku tak menemui siapa-siapa disana. Mungkin rumah sebenarnya adalah orang-orang mengerti kita yang menjadi tempat pulang setelah menempuh perjalanan nan lelah.

Dan saat ini, di langit malam, bintang-bintang menjanjikan sebuah mimpi pada diri tentang mata yang tetap terjaga hingga pagi.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow

Get every new post on this blog delivered to your Inbox.

Join other followers: