Dua Paham yang Kusut

Di dunia pendidikan itu, secara sederhana, hanya ada dua titik ekstrem paham.

Satu: yang mempercayai bahwa pendidikan harus dilakukan dengan penuh disiplin, tegas, ketat, dengan durasi yang lama, dilatih berkali-kali hingga batas kemampuan, dsbgnya. Pernah menonton film2 kung fu? Maka itu murid2, harus dilatih habis2an agar menjadi pendekar hebat. Seperti itulah.

Dua: yang mempercayai bahwa pendidikan itu dilakukan dengan rileks, santai, sebebas maunya anak-anak, durasi belajar bukan segala2nya, anak2 dibiarkan berkembang sendiri.

Nah, dua titik ekstrem ini, tentu punya implikasi berbeda. Ekstrem yang pertama, menuntut sekali evaluasi, UN, nilai adalah unsur penting. Guru2 harus mengikuti standar tertentu. Kurikulum dll juga harus dilaksanakan secara ketat. Meleset sedikit, itu mengecewakan. Ekstrem yang kedua, nilai bukan segalanya, malah tidak ada nilai sama sekali. Kurikulum juga fleksibel, tegantung situasi saja.

Mana ekstrem yang paling bagus? Tidak ada jawabannya. Semua punya kelebihan dan kekurangan. Yang pertama misalnya, kelebihannya jelas, semua jadi terukur, terencana, powerfull, tapi jika bablas, anak-anak jadi stres, ngamuk, malah kontraproduktif. Ekstrem yang kedua, kelebihannya juga jelas, anak-anak dibiarkan tumbuh sesuai minat dan bakatnya, tapi jika bablas, anak2 malah jadi pemalas, terlalu santai, dsbgnya. Mana yang harus kita pilih? Terserah masing-masing. Yang percaya ekstrem pertama efektif bagi anak2nya, silahkan. Yang percaya ekstrem kedua, juga silahkan. Ada anak yang sukses dengan sistem pertama, pun ada anak yg berhasil gemilang dgn sistem kedua.

Nah, yang menjadi masalah adalah: saat paham2 ini harus diterapkan dalam sistem pendidikan nasional. Wah, itu baru jadi serius. Karena kenapa? Karena sistem pendidikan nasional itu tidak lepas dari unsur politik, kepentingan, dsbgnya.
Kalian kenal Arne Duncan? Menteri pendidikan (secretary of education) Amerika Serikat periode 2009-2016, dia berhenti awal Januari 2016. Menteri yg satu ini sangat kontroversial di AS sana. Dalam sebuah rapat dengan kongres AS, dia pernah bilang: “Murid di AS itu belajar lebih singkat 25-30% dibanding China. Kita harus mengubahnya, agar kita tetap jadi bangsa yg unggul di masa depan.” Maka, mulailah dia melakukan proyek tersebut. Arne Duncan adalah pendukung ekstrem pertama. Persatuan guru di AS tidak suka dengan menteri ini–juga murid2 di sana. Tapi pemerintahan Barrack Obama justeru memuji menteri ini habis2an dgn sanjungan: “Menteri yg merombak sistem pendidikan nasional AS agar siap menghadapi masa depan.”
Apakah jika di AS menerapkan ekstrem kedua, yg santai, maka semua baik2 saja? Tidak juga. Kalangan konservatif, yang mau pendidikan disiplin dan keras, tidak akan setuju. Banyak orang tua, guru-guru di sana yang maunya murid2 dididik seperti itu. Dan pun banyak murid2 yang juga asyik2 saja meski sepanjang hari sekolah.
Berdebat panjang lebar tentang ini tidak akan membawa kesimpulan. Karena jika sudah masuk area politik (karena kekuasaan jelas adalah politik), yang relevan adalah siapa yang berkuasa. Jika yg berkuasa (presiden, wapres) penganut paham ekstrem pertama, maka itulah yg terjadi. Jika yg berkuasa penganut paham kedua, maka itulah juga yang terjadi.

Saya tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi di negeri ini, tapi digantinya menteri pendidikan, boleh jadi adalah simptom dari berbedanya dua titik bagaimana membangun sistem pendidikan nasional. Terlebih dengan program yg dimunculkan oleh Menteri baru, seperti full day school. Ketahuilah, menteri itu tidak berhak punya visi, dalam sistem presidensial, menteri hanya pembantu presiden dan wapres. Visi ada di tangan presiden dan wapre. Mau dibawa kemana wajah pendidikan nasional? Termasuk soal UN, jam sekolah anak2, dsbgnya, dsbgnya, sangat tergantung di atas sana percaya dgn titik ekstrem yang mana?
Apakah ada jalan tengahnya? Tentu saja ada. Negosiasi dua titik tersebut, sehingga terbentuk keseimbangan. Tapi saat itu belum terjadi, bersiaplah bagi siapapun yg terkait dengan dunia pendidikan, untuk menyaksikan prosesnya yg penuh kejutan, keributan, kontroversi, dll. Apalagi nasib, di negara berkembang, orang2 mudah sekali mengubah banyak hal. Ganti rezim, ganti pula sistemnya. Ganti yg berkuasa, ganti pula versi pendidikan nasionalnya. Capek melihatnya? Iyalah. Ngelihat jomblo cari2 perhatian di facebook sj capek lihatnya, apalagi lihat pemerintah tdk konsisten menentukan sistem pendidikan nasional.
Terakhir, semoga, siapapun yang sedang berkuasa di negeri ini selalu ingat: apapun keputusan mereka, apapun pertengkaran mereka, apapun rencana mereka, yang akan menjalaninya adalah anak-anak kita. Jangan sampai, kita ini lupa, yang sekolah itu adalah anak-anak kita, bukan kita. Mau ganti kurikulum, mau ganti sistem, mau ganti apapun, yg akan melewatinya adalah anak-anak kita.

Karena sangat lucu, kita mengotot ingin banyak hal, tapi kita lupa, boleh jadi, saat kita diminta mengerjakan soal UN anak SD kelas 6, ponten kita juga tidak lebih baik dibanding anak-anak kita. Saya tantang presiden, wakil presiden, siapapun di negeri ini yg merasa paham sekali ttg pendidikan untuk mengerjakan soal Matematika ujian anak kelas 6 tahun lalu, jangan cengengesan, banyak ngeles atas tantangan ini, silahkan kerjakan saja–googling, kalian bisa nemu itu soal2nya, atau cari buku persiapan UN di toko buku. Karena sy sudah melakukannya, dan hasilnya? Saya kapok menuntut terlalu banyak pada anak-anak kita (sementara kita, juga tidak lebih baik dibanding mereka).

Pun tambahkan, bagi siapapun yang sibuuuuk sekali bicara tentang pendidikan karakter bagi anak2 SD, SMP, ngoceh soal revolusi mental, please deh, jika di kabinet, di BUMN, di jabatan2 publik lainnya, dll saja masih ada nepotisme, ‘titipan’, maka situ mau ngajarin orang tentang moralitas? Kusut. Urusin dulu “mental dan karakter” partainya dulu deh.

*Tere Liye

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow

Get every new post on this blog delivered to your Inbox.

Join other followers: