Kisah Cinta Mila dan Budi

Dulu, ada seorang gadis yang dilahirkan dari keluarga sederhana. Mila, namanya. Ayahnya penjual nasi goreng di pasar sedangkan ibunya ikut bekerja membantu ayahnya. Saat masih kecil, tak ada keanehan sedikitpun pada Mila. Ia belajar merangkak, berjalan, menangis, tertawa, berbicara seperti bayi pada umumnya. Mila adalah semangat hidup orang tuanya, meski harus pergi pagi pulang petang, banting tulang dan peras keringat tak masalah asal si buah hati mereka tetap hidup bahagia.

Namun memasuki usia delapan tahun kelahirannya, barulah terlihat kejanggalan dalam tubuh Mila. Tubuhnya tidak mengalami pertumbuhan yang wajar dibandingkan dengan bayi pada umumnya. Orangtua Mila mengusahakan pengobatan kepada Dokter perihal anaknya. Pada awalnya, mereka tetap optimis dan meyakini bahwa apa yang terjadi pada Mila akan baik-baik saja. Namun waktu terus berputar sementara tubuh Mila masih tetap seperti bayi yang baru lahir. Tubuhnya tidak mengalami pertumbuhan yang wajar. Kerdil dan kecil.

Bulan berganti tahun, tahun terus berganti hingga Mila beranjak menjadi gadis kecil yang hendak tumbuh. Disaat anak-anak tetangga yang lain tumbuh tinggi, tubuh Mila tetap kerdil dan kecil. Saat itu usia Mila, 10 tahun. Tinggi badannya 90 cm. Mila kecil tak pernah menyadari perihal keanehan dalam tubuhnya, ia masih bermain dengan riang dan ceria bersama teman-temannya. Sementara orangtua Mila, tetap memberi perawatan kepada Mila agar Mila dapat tumbuh normal seperti anak-anak yang lain.

Mila beranjak menjadi gadis remaja, usianya 18 tahun, tinggi tubuhnya 110cm. Kau bisa bayangkan betapa lambatnya pertumbuhan tubuh Mila, hanya 20cm dalam sewindu. Mila duduk di bangku SMA, mengenakan seragam putih abu-abu. Disinilah, akhirnya Mila menyadari kejanggalan pada tubuhnya. Mila tumbuh menjadi gadis yang pemalu dan minder. Ia malu pada teman-teman yang tumbuh tinggi dibandingkan dirinya, yang hanya punya tinggi sebatas pinggang orang dewasa. Namun, orangtuanya terus memberikan semangat pada Mila, agar menjadi gadis yang tangguh dan baik hatinya. Hingga akhirnya Mila bisa menyelesaikan masa-masa sekolahnya di SMA dengan nilai yang memuaskan. Teman-teman Mila tak mempercayai jika Mila bisa lulus dengan nilai tinggi.

“Kau tahu Nak, apa yang membuat Mila bisa lulus dengan nilai tinggi?”

“Apa?”

“Itu karena Mila selalu menyibukkan diri untuk selalu memperbaiki dirinya, ia selalu sibuk dengan kekurangan yang ada pada dirinya hingga ia tak punya waktu sedikitpun untuk mengurusi aib orang lain. Mila fokus pada dirinya, terus sibuk memperbaiki diri. Ketika teman-temannya asyik bermain, liburan kesana-kemari, Mila lebih memilih untuk berteman dengan buku-buku, membaca dan belajar, menolong orangtua di rumah. Sungguh, Mila jauh lebih dewasa dibanding teman-teman lainnya.”

Masalah ekonomi keluarga ternyata membuat orangtua Mila hanya sanggup menyekolahkan hingga tingkat SLTA saja. Hati Mila sedih, keinginannya untuk melanjutkan kuliah hilang sudah. Tapi apa yang pernah diajarkan oleh orangtua Mila? Jangan pernah berputus-asa!

Mila menggengam erat pemahaman itu meski dalam batin terasa berat. Ia mencari lowongan kerja. Mulai menjadi tukang cuci piring rumah makan, Kasir toko manisan hingga Penjaga warung internet. Pekerjaannya terakhir sebagai penjaga warung internet inilah yang membawanya menjadi lebih leluasa memandang dunia. Belajar banyak hal, berkat keahliannya di bidang komputer. Mila dipercaya oleh pemilik warung internet untuk mengurus semua keperluan warung internet tersebut. Waktu itu, usia Mila 23 tahun, tinggi badannya 120 cm. Bagaimanapun keadaan Mila saat ini, orangtua amat bangga terhadap Mila. Setidaknya kini Mila sudah bisa mencari uang sendiri.

Di dunia internet inilah akhirnya Mila berkenalan dengan seorang pemuda. Awalnya biasa saja, namun lama-lama semakin akrab dan luar biasa. Mereka berdua berkomunikasi dengan chatting, SMS dan videocall. Pemuda itu bernama Budi, pemuda asli Bali.

Dan cinta, hadirnya memang tak bisa diduga. Tentang jodoh siapa pula bisa menebak? Dengan siapa dan dimana. Itulah ajaibnya cinta, Nak.

Meski hanya mengandalkan komunikasi melalui internet, akhirnya pemuda Bali itu memutuskan untuk melamar Mila. Lalu berangkatlah Budi dari pulau Bali untuk menemui Mila. Budi membawa kedua orangtuanya untuk melamar Mila.

Orangtua mana yang tak bahagia melihat anak gadisnya dilamar oleh pemuda nan jauh disana. Yang mencintai sepenuh jiwa, menerima segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh Mila.

Kau tahu Nak, ada banyak gadis diluar sana ingin menikah dengan Budi, mereka tergila-gila padanya. Tapi Budi sedikitpun tak tergoda dengan paras cantik yang mereka tawarkan. Sebab Budi tahu bahwa kecantikan hati adalah segala-galanya. Wajar bila mereka ingin memiliki Budi sebab parasnya yang rupawan dan kebaikan hati membuatnya menjadi pemuda paling disenangi oleh para gadis di kota kelahirannya. Budi bukanlah pemuda yang dilahirkan dari keluarga kaya-raya. Budi adalah sosok pemuda pekerja yang giat dan tangguh dalam segala keterbatasannya. Sungguh, Mila adalah gadis yang paling beruntung memiliki Budi.

Aku terdiam menatap sepasang bola mata bapak. Tak lama hujan turun menyelimuti kota kami. Tampias hujan mengenai teras rumah.

“Maukah kuteruskan ceritanya untukmu, Nak?”

Aku mengangguk pertanda setuju. Cerita bapak perlahan menarik perhatianku untuk mendengarkannya sampai habis.

Pernikahan pun dilangsungkan. Pernikahan dua anak manusia yang berbeda tempat, beda suku, dan adat. Masing-masing keluarga mereka percaya bahwa pernikahan ini akan membawa kebaikan bagi kedua pihak, sebab apa yang diawali dengan niat baik mudah-mudahan akan berakhir dengan baik pula. Mila diajak oleh Budi untuk tinggal di Bali sementara waktu. Waktu terus berputar, di Bali mereka berdua meneruskan usaha yang dimiliki Budi semasa lajang dengan berjualan kerajinan tangan dan oleh-oleh. Tiga bulan, enam bulan hidup di Bali membuat Mila ingin kembali ke kota kelahirannya. Dengan tabungan hasil jualan selama enam bulan mereka berdua kembali ke Sumatera dan memutuskan untuk tinggal disana.

Mereka berdua tinggal di rumah keluarga Mila. Saat itu, Budi belum mendapatkan pekerjaan. Tapi Budi tak ingin bersantai-santai saja, ia mengambil inisiatif untuk membantu pekerjaan mertuanya, berjualan nasi goreng di pasar. Sore hari, Budi mempersiapkan banyak alat masak, bahan masakan di gerobak mertuanya. Lalu ia mendorong gerobak nasi goreng itu dari rumah mertuanya ke pasar. Jarak yang ditempuh tidaklah dekat, gerobak yang didorong pun bukanlah ringan. Tapi sesuatu yang dilakukan dengan cinta selalu terasa indah. Itulah yang dirasakan Budi. Lalu, ketika malam tiba Budi dan mertuanya memasak nasi goreng, menyajikannya dan melayani banyak pelanggan.

Satu hal yang membuat dagangan nasi goreng mereka laris adalah kecakapan Budi menjalin komunikasi yang baik dengan pelanggan, Budi sesekali berbicara logat Bali. Itulah yang dilakukannya selama berjualan. Hal itu menarik minat pelanggan untuk belajar bahasa Bali. Hingga akhirnya orang-orang sekitar menyebutnya dengan panggilan Nasi goreng Bali.

Waktu terus bergulir, kabar gembira mewarnai keluarga kecil mereka. Mila mengandung 7 bulan. Budi senang bukan main, ia bekerja lebih semangat dari biasanya. Orangtua Mila sangat bangga memiliki menantu yang baik hati seperti Budi. Hari-hari Mila dipenuhi cinta, begitupun dengan Budi. Namun ketika usia kandungan Mila tepat 8 bulan. Budi dengan status siaga membawa Mila ke Bidan. Sayang, takdir berkata lain. Mila mengalami keguguran. Disebabkan usia kandungan yang belum matang.
Tampak suasana duka bersemayam pada wajah Budi dan Mila, begitu juga keluarganya. Tuhan sedang ingin mengajarkan arti keikhlasan pada keluarga baru ini. Ikhlas untuk menerima takdir yang telah Tuhan tuliskan.

Setelah kejadian itu, Budi tak lagi membantu ayah mertuanya berjualan nasi goreng. Budi membuka usaha baru yakni jasa karikatur. Keahlian menggambar yang dimiliki Budi sejak kecil lambat laun membuahkan hasil. Terbukti dengan mulai banyak berdatangan pesanan dari dalam dan luar kota. Hingga, Budi kewalahan sendiri untuk memenuhi pesanan gambar tersebut. Mila, setia menemani Budi menggambar. Kamar mereka penuh dihiasi oleh banyak cat warna, kanvas dan bingkai.

Musim berganti, kali ini kabar gembira datang lagi. Mila hamil untuk kedua kali. Betapa senangnya hati Budi mendengar berita itu. Kehamilan Mila yang kedua ini membuat Budi lebih memperhatikan Mila. Mulai dari jam makan, makanan apa yang dimakan, Budi-lah yang mengurusnya. Budi sangat khawatir bila suatu saat kejadian yang lalu terjadi lagi pada kandungan Mila.

Akhirnya, waktu itu tiba. Sembilan bulan sepuluh hari usia kandungan Mila. Budi dengan status siaga satu membawa Mila ke Bidan. Budi dan anggota keluarga lain berharap cemas, berdoa sepenuh hati agar proses melahirkan kali ini berjalan dengan lancar. Budi berdiri disamping Mila, memberi semangat. Sementara Mila, berkeringat, berteriak, mengejang, berusaha melahirkan, berjuang antara hidup dan mati.

Seorang bayi lahir ke bumi. Wajah Mila yang tadinya penuh ketegangan berganti menjadi penuh senyum lega saat mendengar tangisan putri mereka pecah untuk pertama kali. Wajah Budi bersemu merah, bahagia, airmatanya jatuh juga. Sejak hari itu, gadis kecil mereka tumbuh sehat dan kuat. Mila sudah tak bisa menggendong putrinya lagi, karena tubuh putrinya kini tumbuh lebih tinggi dari ibunya. Lengkap sudah kebahagiaan keluarga kecil mereka dengan hadirnya si buah hati. Kini, Mila dan Budi terus bekerja untuk menyekolahkan putrinya.

“Seperti itulah hidup, Wan. Jika suatu saat nanti kau sudah menikah maka selalu ingatlah cerita Budi dan Mila. Pernikahan yang kita sangka adalah sebuah akhir penantian tak lain adalah sebuah permulaan yang memerlukan kesungguhan, kegigihan dalam menjalaninya. Dan ketika kau benar-benar mencintai seseorang, maka usia, berat, tinggi, jarak, hanyalah bilangan angka. Mau putih, kuning langsat atau hitam semua hanyalah warna. Sebab cinta selamanya indah.”

Bapak melanjutkan menyeruput teh hangatnya yang tinggal setengah. Aku diam tak bergeming sambil memandang tetes hujan yang jatuh. Cerita bapak barusan berhasil membuang kegundahan dalam hati tentang kekhawatiran sebuah pernikahan.

***Kisah cinta yang diceritakan oleh Pak Zyaad (Ayah Marwan) kepada Marwan dalam novel Wasiat Segelas Pasir, salah satu bagian yang paling saya suka.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow

Get every new post on this blog delivered to your Inbox.

Join other followers: