Langit bergetar oleh ucapan yang keluar dari mulutku. Kalimat itu dicatat sebagai janji nan suci, semesta menjadi saksi. Hari itu menjadi sejarah cinta kita, Dek.
Kisah cinta kita tidak seperti Novel karangan Tere Liye dimana Borno yang rela bangun pagi-pagi untuk mengantri Sepit miliknya di urutan kedelapan. Agar ia bisa mengantar Mei melintasi sungai Kapuas ke sekolah tempatnya mengajar.
Kisah cinta kita juga tidak seperti kisah seorang Tentara yang meninggalkan Istrinya untuk pergi berperang, sebagaimana yang diceritakannya kepadaku. Mereka yang saling berkirim surat, yang baru bisa dibaca dua minggu kemudian. Istri yang menangis lirih ketika melihat bendera setengah tiang di suatu pagi.