Catatan di Penghujung Tahun

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dua nikmat yang banyak manusia merugi di dalamnya: kesehatan dan waktu luang”. (HR. Bukhari)

Seperti kaset usang kehidupan kita selalu dipaksa untuk melakukan hal yang sama setiap harinya. Mulai dari bangun tidur, bekerja, pergi ke sekolah, hingga tidur lagi. Menjalani rutinitas setiap hari, menjelma malam, menjemput pagi. Dan tibalah kita semua di ujung tahun. Semakin hari, semakin berkurang usia kita, sementara amalan tak kunjung bertambah.

Sekejap saja rasanya melewati waktu di tahun ini, orang-orang yang kita temui, tempat yang kita lalui, pemahaman yang kita ambil berlalu begitu saja, seperti debu tertiup angin. Wuush! Hilang seketika. Maka, kemana saja waktu ini kita habiskan? Apa saja yang telah kita lakukan selama ini? Apakah memberi banyak manfaat kepada diri? Atau hanya membuat waktu terbuang percuma?

Mungkin akan jauh lebih baik jika kita memberi jeda, meluangkan sejenak waktu untuk merenungkan apa yang sudah kita lalui hari ini. Lantas mengepalkan tangan, menguatkan niat dalam hati agar terus memperbaiki diri dan berjanji pada diri agar memanfaatkan waktu dengan sebaik mungkin.

Januari segera datang, harapan- harapan baru terbang ke atas langit. Ada yang menyambutnya dengan gembira penuh pesta pora, ada juga yang menyambutnya biasa saja seperti sehelai daun yang jatuh dari ranting. Ada juga yang memilih untuk diam sambil merenungi nasib yang tak kunjung baik. Dan ketika banyak manusia sibuk meniup terompet saat pergantian tahun maka saya berdoa agar Israfil tak ikut- ikutan meniup “terompet-Nya”.

Legenda Pulau Kemaro

BEBERAPA hari lalu saya memutuskan untuk ke kota Palembang, mengunjungi teman- teman disana. Di musim penghujan seperti ini saya sengaja meninggalkan motor kesayangan saya lalu memilih untuk naik mobil travel. Sebetulnya saya tak punya ide untuk mengunjungi tempat wisata disana namun akhirnya Pulau Kemaro menjadi tempat wisata saya akhir tahun ini. Sebab tempat itulah yang belum dikunjungi.

Pulau Kemaro adalah sebuah delta kecil di sungai Musi yang jaraknya kurang lebih enam kilometer dari Jembatan Ampera. Kemaro adalah Kemarau dalam bahasa Indonesia. Penamaan ini diambil karena Pulau ini tak pernah tergenang air meski volume air sungai Musi sedang tinggi. Kami berempat menumpang sebuah perahu ketek yang biasa menunggu penumpang di pinggiran Benteng Kuto Besak (BKB). Dari sana perjalanan kami ke Pulau Kemaro dimulai. Perjalanan kami kali ini terasa ada yang kurang, sebab Danu tak bisa ikut bersama kami. Meski demikian perjalanan tetap kami lanjutkan.

Pulau Kemaro ini terletak di kawasan industri, yakni PT. Pupuk Sriwidjaya dan PERTAMINA Plaju yang membuat kami banyak menyaksikan kapal- kapal besar yang mengangkut muatan. Perjalanan memakan waktu kurang lebih tiga puluh menit dengan perahu ketek atau kalian juga bisa memilih Sepit untuk lebih cepat tiba.

Ada sebuah legenda tentang Pulau Kemaro yang terkenal hingga saat ini. Dahulu kala pada zaman kerajaan Palembang, seorang putri Raja (Siti Fatimah) disunting oleh saudagar kaya- raya dari Tionghoa (Tan Bun An). Setelah menikah, diajaklah Siti Fatimah ke daratan Cina untuk bertemu dengan orang tua Tan Bun An. Mereka dihadiahi beberapa guci. Dalam perjalanan pulang di perairan sungai musi, Tan Bun An ingin melihat isi hadiah tersebut akan tetapi Tan Bun An sangat terkejut ketika mengetahui guci tersebut hanya berisi sayuran sawi yang sudah membusuk. Tan Bun An kecewa dan malu apabila hadiah tersebut diketahui oleh Mertuanya. Maka dibuanglah semua guci itu ke sungai musi. Saat hendak melempar guci terakhir, kaki Tan Bun An tersandung. Guci itu pecah diatas lantai kapal, terkejutlah ia bahwa di dalam sayuran tersebut tersimpan banyak emas. Maka dengan perasaan menyesal dan kecewa, Tan Bun An melompat ke dalam sungai untuk mencari guci- guci tadi. Seorang Pengawal yang melihat kejadian tersebut juga ikut membantu. Ternyata kedua orang tersebut tak kunjung muncul. Dengan perasaan cemas maka Siti Fatimah juga memutuskan untuk menyelam mencari kekasihnya. Sebelum melompat ke sungai Siti Fatimah berpesan pada orang- orang yang berada diatas kapal.

“Jika ada tumpukan tanah di tepian sungai ini, maka itu adalah kuburan saya”.

Pada akhirnya mereka bertiga tak pernah muncul ke permukaan. Beberapa hari setelah peristiwa tersebut muncullah tumpukan tanah di tepian sungai Musi, lama- kelamaan semakin membesar menjadi sebuah pulau kecil.

Legenda yang mengharukan tentang kisah cinta anak manusia yang berbeda budaya. Untuk mengenang kisah cinta mereka maka dibangunlah sebuah Pagoda berlantai sembilan di Pulau Kemaro dan sebuah Klenteng yang sudah dulu ada sebelumnya. Setelah puas berjalan- jalan dan menikmati pemandangan di Pulau Kemaro maka kami pulang ke tempat masing- masing.

Liburan kali ini cepat sekali berakhir, saya harus kembali pada kesibukan bekerja lagi. Desember akan berakhir dalam beberapa hari dan Pulau Kemaro layak dijadikan salah satu tempat tujuan wisata akhir tahun Anda.

Bising Dalam Kepala

Barangkali, diantara sesaknya jalanan kota
diantara riuhnya klakson kendaraan
Kita sering melupakan malaikat- malaikat kecil
yang bersemayam dalam dada

Kita secara sengaja mencipta jarak
agar masing- masing hidup di dunia sendiri
Bahagia!?
Lalu memilih untuk tak peduli pada keadaan
Menutup mata rapat- rapat
pada semua pahitnya kenyataan hidup

Disini, bising jadi nyanyian sehari- hari
Mulut- mulut yang tak henti berserapah
Wajah- wajah yang tak tahu malu
minta dikasihani
Menelan ludah sendiri

Barangkali, diantara putaran roda mesin
terdengar seekor nyamuk unjuk protes
berhenti menghisap darah manusia
Sebab terlalu anyir untuk dicerna

Dan seseorang disana
duduk sendiri menatap hibuknya kota
sembari menikmati bisingnya kepala.

Mengeringkan Lautan

“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (Q.S Ar-Rahman: 13)

Saya mendatangi seorang guru yang bijak. Tapi guru ini rumit sekali, ilmu yang dibagikan olehnya selalu tidak langsung, penuh teka-teki dan perumpamaan. Padahal saya datang hanya untuk sebuah pertanyaan. Saya bilang, “Guru, bagaimana agar saya merasa cukup?”

Saya mengeluh dalam hati, ini akan jadi percakapan yang sulit, lihatlah, guru hanya menatap lamat-lamat.

“Guru, bagaimana agar saya merasa cukup?” Saya mengeraskan suara, takut sebelumnya tidak didengar.

Guru hanya menatap datar, seolah tidak mendengar, seolah tidak memperhatikan. Saya menyeka dahi yang berkeringat, bergumam dalam hati, memangnya saya batang pisang.

Tapi sebelum saya mengulang pertanyaan ketiga kalinya, guru akhirnya buka suara.

“Kau sungguh bertanya, atau sekadar basa-basi saja?”

Ya ampun, guru, saya menghabiskan waktu berhari- hari hanya untuk menemuinya. Tentu saja saya sungguh bertanya. Memangnya ini sejenis tinggal kirim email, kirim surat, mudah sekali bertanya. Saya menemuinya lewat perjalanan panjang dan tidak murah.

Saya mengangguk mantap. Bergegas mengusir hendak berseru barusan.

“Baik. Maka akan aku berikan sebuah tugas sederhana.” Guru mengangguk.
Saya semangat. Ini pasti sejenis tugas menantang sebelum guru bersedia menjawab. Sebuah tugas untuk pembuktian kalau saya sungguh- sungguh memang bertanya. Bukan sekadar pertanyaan basa-basi: habis bertanya, dapat jawaban, mengangguk sebentar sok paham, lantas lupakan. Ini sungguh sebuah pertanyaan, yang jawabannya akan digigit hingga mati.

Guru menatapku tajam kali ini, suaranya lebih berat dan serius, “Nah, tugasnya adalah kau cari cara bagaimana mengeringkan sumur tua di komplek sekolah ini. Keringkan.”

Well yeah, itu mudah, guru. Saya nyengir. Maka pertemuan itu selesai untuk sementara waktu. Besok pagi-pagi saya mulai mencari ember, mencari tali, lantas disaksikan beberapa murid guru lainnya, mulai menimba sumur tua itu, mengeluarkan seluruh isi sumur. Itu sumur tua, bau airnya, bahkan ada bangkai tikus di dalamnya. Tapi tidak mengapa, itulah poin penting tugas ini. Seharian penuh saya melakukannya. Selesai. Sorenya, bergegas menghadap guru, dengan badan penuh keringat, lumpur, dan bau.

Guru menggeleng. Saya menepuk dahi, menyesal terlalu cepat berpuas diri. Tentu saja tidak hanya satu tugas, pasti ada tugas berikutnya. “Kau keringkan rawa-rawa di belakang komplek sekolah. Habisi airnya. Itu tugas kedua. Kembali setelah selesai.” Saya mengeluh dalam hati, itu tidak semudah mengurus sumur tua.

Besok pagi-pagi sekali, saya membawa seluruh peralatan yang tersedia. Rawa-rawa itu luasnya hampir satu hektar, ini tidak akan mudah dilakukan meski dengan bantuan selang-selang, pompa. Rawa-rawa itu dipenuhi nyamuk, serangga, ular berbisa, dan perdu berduri. Itu sumber penyakit bagi kampung. Berkubang mengeringkan rawa lebih sulit dibanding sumur tua. Butuh tiga minggu lebih hingga akhirnya semua air berhasil dikeluarkan. Ditambah harap-harap cemas kalau hujan turun.

Persis hari ke-27, setelah bekerja keras sepanjang hari, rawa-rawa itu kering. Saya bergegas menemui guru, dengan tubuh belepotan kotor. Kali ini, saya berhak atas jawaban tersebut. Benar-benar berhak. Itu bukan tugas sepele. Sial. Guru tetap menggeleng. Saya benar-benar mengeluh dalam. Ini serius sekali ternyata. Pertanyaan sederhana itu ternyata amat mahal harganya. “Kau keringkan danau di dekat kampung. Habisi airnya.”

Ya ampun? Danau? Saya tidak sempat bertanya, protes, atau apalah. Saya sudah terduduk lesu. Murid-murid lain menatap prihatin, tapi mereka tidak berkomentar.

Besok pagi-pagi sekali, saya mendatangi danau itu. Luasnya sebelas hektar, menurut informasi penduduk setempat, dalamnya bisa mencapai sebelas meter. Astaga, ini tugas gila, bagaimana saya harus mengeringkan danau ini? Berhari-hari memikirkan caranya. Bermalam-malam mencari tahu bagaimana. Tidak ada solusinya, dengan ratusan pompa sekalipun, tdk mudah mengeringkan danau tersebut. Mata airnya menyembur dari mana-mana, banyak sungai bermuara ke dalamnya, meski ditutup sungai- sungai itu, tetap tidak mudah.

Di hari ke-7, saya menyerah, saya menemui guru.

“Saya tidak ingin lagi jawaban pertanyaan itu.” Saya berkata pelan. Menunduk, “Saya mau pulang.”

Guru tersenyum–untuk pertama kalinya.
“Kau sudah mendapatkan jawabannya, anakku.”

Aku mengangkat kepala. Mulai jengkel, hei, dimana jawabannya? Sebulan lebih tinggal di sekolah itu, saya bahkan hanya disuruh jadi kuli. Menguras sumur tua, mengeringkan rawa-rawa.

Guru mengangguk, “Kau sudah mendapatkan jawabannya, anakku. Baiklah, akan aku jelaskan. Bukankah kau bertanya bagaimana merasa cukup, bukan? Maka anakku, kau bahkan tidak bisa mengeringkan danau itu. Padahal itu hanya tugas nomor dua paling sulit.”

Nomor dua paling sulit? Memangnya ada tugas yang lebih sulit?

“Ada, mengeringkan lautan. Seluruh lautan di dunia ini, anakku. Apakah kau bisa mengeringkan seluruh lautan?”

“Itu mustahil!” Aku berseru.

Guru tertawa kecil, “Tentu saja tidak. Itu pekerjaan yang mudah saja. Bagaimana cara mengeringkan seluruh lautan? Maka jawabannya, kau jadikan airnya sebagai tinta untuk menulis seluruh nikmat yang diberikan oleh Tuhan. Bahkan habis sudah air lautan, tidak akan cukup untuk menuliskannya. Udara yang kau hirup. Kesehatan yang kau dapat. Mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, kaki untuk melangkah. Tidak akan cukup untuk menulis seluruh nikmat Tuhan tersebut.”

“Itulah jawabannya, anakku. Kau mudah saja mengeringkan sumur, kau juga keras kepala bisa mengeringkan rawa-rawa. Mungkin juga bisa mengeringkan danau jika diberikan peralatan raksasa, tapi kau ternyata tidak bisa mengeringkan lautan. Padahal apalah artinya seluruh lautan di dunia ini dibanding nikmat Tuhan. Maka, apakah kau sekarang bertanya bagaimana merasa cukup? Kau sudah mendapatkan jawabannya. Tinggal sekarang dipikirkan. Direnungkan. Sekali kau paham, gigitlah pemahaman itu hingga mati.”

Aku menatap tikar pandan yang kududuki. Terdiam hingga matahari tumbang di kaki langit sana.

***Cerita ini saya salin dari halaman milik Darwis Tere Liye. Tulisannya selalu membuat saya jatuh hati!

Gadis Kecil Ingin Bermain Hujan

Dibalik daun jendela
gadis kecil ingin keluar
melihat alam
menantang badai

Namun Ibu tak mengijinkan
sebab hujan segera datang
gadis kecil menangis
ingin sekali bermain hujan
Ayah juga bilang tak boleh keluar
nanti badan meriang
gadis kecil tetap menangis
“sekali ini saja bermain hujan”, ucapnya

Gerimis menjelma hujan
serupa tangis yang lindap di bola matanya
Ayah menghela nafas, menatap gadis kecil
sementara Ibu tersenyum mengijinkan
gadis kecil bermain hujan sendirian
di halaman

Gadis kecil tertawa riang
satu keinginan terkabulkan
hujan menyatu tanah
tubuh gadis kecil basah sempurna
tak lama gadis kecil pulang ke kamar
ia kedinginan

Gadis kecil kini tumbuh dewasa
dari balik daun jendela
ia menikmati hujan sendirian
namun kali ini ia tak ingin bermain hujan
ia sedang menunggu seseorang yang
akan mengajaknya menari di bawah derasnya hujan.

Follow

Get every new post on this blog delivered to your Inbox.

Join other followers: