“Disini, kami mandi cahaya diantara gelapnya dunia”.
MEMBICARAKAN perasaan itu seperti candu, tak akan bosan meski membicarakannya berulang-ulang. Meski saya kerap dilanda kesulitan jika sedang berurusan dengan hal yang berhubungan dengan perasaan, makan tak enak, tidur tak nyenyak. Ya, hampir mirip seperti kalimat-kalimat yang diucapkan para Pujangga dulu.
Perasaan adalah perasaan bukan pelajaran matematika yang bisa diselesaikan dengan perhitungan. Perasaan bisa berubah kapan saja, hari ini benci setengah mati, besok penuh cinta. Hari ini memutuskan untuk tak saling mengunjungi, besok atau lusa rindu setengah mati. Saya harus berpikir berulang-ulang jika hendak membicarakan hal yang berkaitan dengan perasaan, jika kadarnya sudah terlalu sesak dalam dada maka keluarga terdekat atau sahabat-lah yang menjadi tempat bercerita. Saya tak paham kepada orang-orang yang suka menghamburkan perasaan mereka di social media yang setiap orang mengetahuinya. Saya pikir menceritakan kepada orang yang tepat seperti orang tua, kerabat atau sahabat itu sudah lebih dari cukup. Tak perlu diberitahukan kepada seluruh dunia yang membuat perasaan itu tumpah kemana-mana. Perasaan adalah harga diri.
Perasaan tak selalu berkaitan dengan jatuh cinta atau patah hati, perasaan adalah semua hal yang kita rasakan, entah itu sakit, gelisah, lapar, takut dan sebagainya. Kita semua pernah merasakan perasaan itu dan itulah yang membuat kita disebut manusia. Meski perasaan adalah hal yang sulit ditebak dan dijelaskan tetap saja perasaan adalah milik semua manusia.
Jika kita pandai mengelola perasaan itu dengan menyalurkannya lewat berbagai kegiatan positif maka hasilnya akan menakjubkan! Saya beri beberapa contoh: seseorang yang sedang dilanda perasaan lalu menyalurkannya dengan tulisan bisa menerbitkan sebuah buku novel/cerpen, bisa juga menulis puisi. Pada level yang kecil pun perasaan membuat si-pemiliknya merasakan bahwa perasaan adalah anugerah terindah yang diberikan dari Sang Pencipta. Memiliki hobi baru seperti: fotografi, bermain musik, memancing, bertualang akan membuat ‘perasaan’ itu tersalurkan dengan baik yang akan membantu diri kita agar terus melakukan kegiatan positif yang akan memberikan kebaikan pada kita di masa depan. Ada banyak contoh lainnya, silakan cari sendiri.
Saya kerap mengutip ucapan para Pujangga tentang perasaan, cinta dan kematian itu semua saya lakukan menjaga setiap perasaan yang sulit dikendalikan agar tak tumpah kemana-mana. Cukuplah kita menjadikan ‘perasaan’ sebagai hal indah yang meningkatkan motivasi dalam berkarya. Bukan sebagai hal yang memalukan.
Saya cukupkan tulisan ini disini saja, sebab jika diteruskan maka saya bisa membuat tulisan ini tak berujung, hahaa.. Baiklah terima kasih karena telah membaca tulisan sederhana ini.
BICARA tentang keinginan maka jika setiap orang memiliki satu keinginan saja, maka langit akan penuh dengan tulisan keinginan. Terlepas dari seberapa penting keinginan tersebut maka keinginan tetaplah keinginan mesti diwujudkan. Di media beberapa pekan terakhir sedang banyak membahas tentang sebuah kecelakaan yang menyebabkan banyak korban jiwa dan pelakunya adalah anak kecil yang masih di bawah umur. Meski kejadian yang sama pernah terjadi oleh seorang gadis yang sudah dewasa atau seseorang yang mabuk, namun kejadian kali ini membuat saya menahan napas sejenak, pelakunya hanya seorang anak kecil. Saya mencoba memahami kejadian tersebut dengan bijak.
Dulu saat masih duduk di bangku sekolah, saya tak mengerti mengapa bapak hampir tak pernah mewujudkan keinginan saya. Setiap sepuluh keinginan saya, maka ‘mungkin’ hanya satu saja yang dikabulkannya atau tidak sama sekali. Saya sampai kesal dalam hati, padahal keinginan tersebut bukanlah sesuatu yang sulit untuk dipenuhi. Ketika saya menginginkan sebuah sepeda motor, bapak menyuruh saya untuk naik angkot. Ketika ingin memiliki sebuah ponsel, bapak saya malah membelikan sebuah buku cerita. Sungguh, saya dulu benar-benar tak paham jalan pikiran bapak saya.
Bulan berganti tahun, tahun berganti windu. Hari ini saya paham alasan bapak saya tidak selalu menuruti keinginan saya dulu. Meski saya sempat kesal, namun pemahaman baik mampu menghapus itu semua. Bila saja waktu itu, bapak menuruti keinginan saya untuk memiliki sebuah sepeda motor, saya tak menjamin bahwa hari ini saya bisa mengendarai sepeda motor yang saya beli dengan uang sendiri. Bila saja bapak membelikan saya sebuah playstation waktu itu, mungkin hari ini saya tak se-semangat seperti ini mengisi waktu untuk membaca dan menulis.
Kembali lagi pada kecelakaan lalu lintas yang saya tuliskan di atas bahwa kecelakaan bisa saja terjadi dimana dan kapan saja namun yang lebih penting adalah sikap pengendara agar selalu berhati-hati adalah modal utama untuk selamat sampai tujuan. Saya bukanlah pengendara yang hebat seperti di film hollywood atau balap motor, saya hanya selalu bersikap hati-hati saat berkendara. Dari beberapa ulasan di media, terjawab ada banyak faktor yang menyebabkan terjadi kecelakaan tersebut, salah satunya adalah kelalaian. Hal ini amatlah fatal. Sikap tidak peduli membuat kehidupan di bumi menjadi rusak perlahan. Orang tua memiliki tanggung jawab paling besar dalam kehidupan anak-anaknya di rumah, dan ini yang menjadi pondasi utama atas pemahaman anak-anak jaman sekarang yang hidup di jaman ‘serba mudah’.
Selain itu adanya sikap egoisme dari hampir setiap orang tua yang memiliki banyak uang untuk membelikan anak-anaknya barang mewah. Sikap tersebut mereka ambil sebagai jawaban agar masyarakat mengetahui bahwa orangtuanya ‘sukses’, dengan membuktikan anak-anaknya bisa memiliki mobil mewah, gadget keren dan sebagainya. Pemahaman inilah yang kerapkali menjadi pemicu terjadinya kesenjangan sosial dalam masyarakat, sehingga setiap orangtua berlomba-lomba memberikan barang mewah kepada anak-anaknya. Padahal sebetulnya mereka sedang memberikan senjata yang entah suatu saat akan memakan tuannya sendiri.
Pemahaman yang baik dan sikap peduli akan menyelamatkan kita semua dari sikap egoisme seperti ini. Setidaknya tak akan ada lagi korban yang mati sia-sia akibat kecelakaan di jalan raya. Dan terakhir, saya bersyukur sekali memiliki orangtua seperti bapak saya yang bisa mendidik anak-anaknya menjadi generasi yang baik.
SEORANG Petani yang sehari-harinya bekerja mencangkul di sawah, membajak tanah, menebar benih suka sekali menatap ke langit, berharap suatu saat bisa berada di angkasa menatap hamparan bumi dari atas seperti pesawat terbang yang sering terbang di atas kepalanya. Dulu waktu kecil, ia pernah bermimpi untuk menjadi seorang Pilot.
***
Seorang Pilot yang sudah mengantongi ribuan jam terbang, setiap hari menembus dimensi ruang, mengunjungi banyak tempat dalam setiap perjalanan bergumam dalam hati, “Sungguh alangkah beruntungnya jika aku bisa bekerja di darat, menikmati pegunungan, hamparan pohon, rumah”. Jendela kokpit menjadi saksi bisu atas keinginan dalam hati kecilnya untuk bisa bekerja seperti Pak Tani yang setiap hari menyaksikan hamparan bumi.
***
Sebuah mobil mewah melintas di hadapannya, membuat Tukang Becak terbangun karena cipratan air hujan mengenai wajahnya. Bajunya basah. Ia tak berniat lagi melanjutkan tidurnya yang tertunda. Hatinya kesal bergumam kecil, “Betapa enaknya jika punya gaji besar, mempunyai mobil mewah, kemanapun bisa, hujan tak kebasahan, terik tak kepanasan”.
***
Seorang Konglomerat yang berpakaian rapi, bersepatu mengkilat, mengenakan jas termewah duduk gelisah di dalam mobil mewahnya. Bagaimana ia tidak iri pada seorang Tukang Becak yang bisa tertidur lelap di bangku becaknya tanpa beban sedikitpun, sedangkan ia sendiri setiap malam tak akan bisa tidur jika tanpa obat tidur.
***
Seorang Karyawan yang bekerja di sebuah Pembangkit Listrik, kehidupannya amat terbalik. Ia membuat siang menjadi malam dan sebaliknya. Bekerja tak kenal waktu, tak kenal lelah, libur tak tentu menjaga Unit agar tetap beroperasi normal. Kadang bekerja dari tengah malam hingga pagi dan sebaliknya. Seringkali dilanda keinginan untuk hidup seperti manusia pada umumnya, siang hari untuk bekerja dan malam hari untuk beristirahat. Sungguh, keinginan itu amat besar dalam dirinya.
***
Seseorang yang menyandang gelar sarjana, nilainya IPK-nya tinggi, pintar. Kini menjalani pekerjaan apa saja agar tak menganggur. Dalam hatinya ingin sekali mendapatkan pekerjaan tetap, bergaji tinggi agar bisa membuat kehidupan keluarganya lebih baik.
***
BARANGKALI benar ungkapan bahwa “Kebahagiaan itu seperti pelangi, selalu terlihat di atas kepala orang lain”. Padahal jika kita menyadari hakikat kebahagiaan yang sebenarnya, kebahagiaan itu ada dalam diri kita masing-masing. Tere-Liye pernah menulis, “Antara kebahagiaan dan rasa syukur itu hanya dipisahkan dengan benang basah. Sudah dekat sekali jaraknya”.
Bahkan jauh sebelum itu, Allah berfirman dalam kitab suci Al-qur’an:
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS: Arrahman: 13)
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka azab-Ku amat pedih”. (QS: Ibrahim: 7)
Catatan ini saya tulis sebagai pengingat diri agar senantiasa bersyukur terhadap apa yang berada dalam genggaman. Menikmati apa yang dimiliki dan terus berusaha untuk menggapai mimpi. Dan salah satu kebahagiaan yang ternilai harganya adalah keluarga. Memiliki kedua orangtua yang penyayang, kakak-kakak yang baik hati sudah membuat saya bahagia. Percayalah, bahagia itu sederhana.
“Dulu saya pikir menjaga unit pembangkit agar terus mengalirkan listrik adalah hal yang tidak mudah. Ternyata saya salah. Menjaga iman dalam hati agar terus menyala adalah hal yang tersulit”.
KITA semua terlahir sebagai Sang Juara sekaligus Petarung kehidupan yang nyata. Kehadiran kita di bumi tidaklah hanya sekedar hadir tapi ada ‘alasan’ yang lebih penting dari itu semua, kita semua adalah pemimpin. Bila menengok sebentar ke belakang, maka kita akan tertegun menyaksikan kenyataan bahwa kehidupan orang-orang dahulu telah banyak menuliskan sejarah dengan tinta darah dan airmata.
Dalam masa proses pembuahan ketika jutaan sel sperma melakukan perjalanan, maka hanya ada satu saja yang lolos menjadi perenang lincah dan unggul. Dan itu adalah kita, ya, kita yang saat ini sedang bernapas dan bergerak, kita yang saat ini sedang hidup! Tidakkah kita pernah berpikir bahwa kehidupan ini adalah anugerah terbesar yang diberikan Sang Pencipta kepada manusia. Kehidupan seseorang tak ternilai harganya.
Setiap orang menyimpan luka, setiap orang pernah merasakan bahagia dan duka dalam hidupnya. Ada yang melaluinya dengan tabah, ada juga yang gagal dalam menjalani perannya sebagai manusia. Manis-pahit kehidupan haruslah dilalui setiap Petarung agar berhasil menjadi Sang Juara.
Dalam Al-qur’an Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bersabar”. (QS: Al-Baqarah: 153)
Sungguh beruntunglah orang-orang yang bersabar, yang tetap tabah, yang tetap gagah dalam menjalani peran kehidupannya. Ketahuilah bahwa perjalanan hidup kadang terjal, menanjak seperti mendaki gunung kadangpula menurun seperti buah yang jatuh dari pohonnya. Kehidupan di masa depan sudah menunggu untuk ditaklukan! Kepalkan tangan, kuatkan niat, tabahkan hati!
Sungguh, sudah ada banyak orang yang ‘berani mati’. Kini, giliran kita untuk berteriak lantang menghadap langit, “Aku berani hidup!” Hadapi semua takdir yang Allah goreskan kepada kita dengan gagah, jalani setiap guratan nasib yang Allah tuliskan. Jadilah Dalang atas kisah kita sendiri sekaligus Wayang yang siap menjalani lakonnya hingga akhir hayat.
Menangislah jika perlu, berteriaklah dengan lantang jika diinginkan, berjalanlah dengan senyap. Tapi pastikan bahwa setiap hal yang kita lakukan adalah hal yang menjadikan diri kita menjadi lebih hebat dari hari kemarin. Ayo, rapatkan barisan, jadilah Petarung sejati!
“Berani hidup?”
SEJAK dirilisnya buku pertama saya “Sang Koki Listrik” pada november tahun lalu, ide untuk melanjutkan ceritanya sudah tertanam dalam kepala saya. Meski saya sempat melakukan penundaan beberapa bulan disebabkan kesibukan kerja dan kuliah tetapi naskah Dwilogi Novel Sang Koki Listrik tetap saya garap dengan tekun.
Pada novel kedua ini saya akan memberi warna berbeda dibandingkan pada novel pertama. Akan hadir banyak tokoh-tokoh baru yang memegang peranan penting dalam kehidupan Marwan, situasi yang berbeda, penulisan dengan sudut pandang yang beragam, alur ceritanya yang maju dan mundur. Tetapi hal yang lebih penting dari itu adalah cerita yang saya tuliskan bertema tentang cinta. Penduduk bumi yang nilainya sudah mencapai tujuh milyar tentu semuanya memiliki kisah tentang cinta, disini saya mencoba membungkus kisah cinta yang sering kita temui dengan sederhana. Perihal yang tak pernah diucapkan kata, perjuangan hidup, cerita masa kecil dan tentu saja cerita cinta Marwan itu sendiri.
Pada awalnya, saya memberi deadline novel ini akan dirilis pada bulan agustus tahun ini tapi ternyata waktu yang saya perkirakan itu tidak cukup. Kesibukan kerja membuat naskah ini terbengkalai hingga tiga bulan. Mudah-mudahan novel kedua ini bisa rilis akhir tahun ini. Do’akan saja agar naskah novel ini bisa diselesaikan dengan baik dan sesuai deadline. Insya Allah.