Menjadi Tetangga Baru Bagi Tetangga Lama yang Dulu Pernah Bertetangga

“Jika kita kembali (menengok) ke belakang, sungguh tidak terduga bagaimana manuver kehidupan ini. Dulu dan sekarang jauh berbeda.” K

Bagaimana mungkin saya tidak bisa mengenali sosok Wanita Tua yang sering lewat di depan rumah kami di sebuah pagi. Bagaimana mungkin saya melupakan sosok Lelaki Tua dengan gaya khas yang hanya mengenakan kaos singlet warna putih itu. Hingga tiba pada sebuah pagi, saya beranikan diri untuk berhenti lalu membeli minyak eceran di Warung milik suami-istri itu. Entah kenapa hari itu sejak subuh pagi, wajah-wajah mereka teringat kembali, seperti tidak asing lagi bagi saya.

“Apakah benar, bapak adalah ayahnya K?” iya” jawabnya sambil menuangkan minyak ke dalam tangki motor. “Apakah bapak dulu pernah tinggal di kota itu?“ “Iya“, jawabnya pelan sambil menghisap rokok. Lalu saya bertanya lagi, “apakah benar bapak…” namun kalimat saya langsung dipotong oleh lelaki tua itu. “Kamu siapa?” ”Agus anak D, yang dulu tetangga bapak di kota itu. Teman K saat kecil.” Lelaki Tua terdiam sejenak, sambil berkata “tunggu disini, jangan kemana-mana ya!”. Pak Tua itu masuk ke dalam rumah, memanggil istrinya. Tak lama Pak Tua itu keluar bersama istrinya, “Coba tebak siapa lelaki ini” ucapnya kepada istrinya. “Siapa ya” Wanita tua itu sambil menatap lambat-lambat wajah saya. Sementara lelaki tua itu tersenyum sambil mengedipkan mata sebagai kode agar saya memberi kesempatan istrinya untuk menebak. Karena tak kunjung dapat menebak, akhirnya lelaki tua itu memberitahu istrinya tentang siapa saya. Seketika itu pula, mereka tertawa lepas dengan mata yang berbinar. Sungguh tidak disangka. Kami akhirnya bertemu lagi sebagai tetangga seperti dulu, di kota yang lain, dengan kondisi yang berbeda tentunya.

Sepasang suami istri itu dulu adalah tetangga kami. Mereka dikaruniai empat orang anak. Anak pertama, kedua dan ketiga semuanya lelaki. Anak ketiganya menjadi teman akrab saya dahulu, kami menghabiskan waktu bermain kelereng, bergulat, petak umpet, bermain bola, bermain batu, dan mandi hujan. Masa kecil kami adalah anak-anak yang belum mengenal apa itu internet, smartphone apalagi Facebook dan Medsos lainnya. Ayah -ibunya mengontrak di sebuah rumah kecil, dua tingkat yang tidak jauh dari rumah orangtua saya. Mereka hanya mendiami lantai bagian bawah saja, itupun hanya separuh. Mereka menjadikan salah satu kamar menjadi Warung untuk berjualan, seperti: tepung, gula, kretek, lampu minyak. Pekerjaan sehari-hari ayahnya sebagai Penarik Becak. Sedangkan anaknya yang keempat, gadis kecil yang baru belajar bicara. Begitulah kehidupan sehari-hari mereka.

Kini, K menjadi Tentara yang mengemban tugas di Papua. Adiknya, gadis kecil itu menjadi Mahasiswi di sekolah Kesehatan. Anak pertamanya bekerja dan hidup di pulau Jawa, anaknya yang kedua membantu orang tuanya sehari-hari sebagai Agen Minyak. Anak-anaknya semuanya sudah berkeluarga, kecuali si gadis bungsu. Sepasang suami-istri ini masih berjualan namun kini dengan Warung yang lebih besar, barang dagangannya pun beragam, mulai dari: tabung gas, minyak, buah-buahan pisang hasil dari kebun mereka sendiri, baju bayi, bumbu dapur dan sebagai pemilik kontrakkan. Rumah yang besar dan halaman yang luas.

Mata saya berbinar-binar. Hati saya terenyuh menyaksikan semua kenyataan ini. Kami menghabiskan waktu mengobrol di kursi depan warung mereka. Bertanya banyak kabar, tentang si A, si B. Berbagi cerita sepeninggal mereka di kala itu. Sebelum saya pamit, saya dihadiahi seikat daun katuk dan pisang sesisir yang baru saja dipetik di kebun belakang mereka.

Sepulang dari rumah mereka, saya buru-buru menelpon Ibu saya dan menceritakan apa yang baru saja terjadi. Bagaimana mungkin saya tidak bisa mengenali mereka, padahal saya sudah dua tahun menjadi tetangga mereka di kota ini.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow

Get every new post on this blog delivered to your Inbox.

Join other followers: