Menulis Semudah Itukah?

SAYA bukanlah tipe orang yang suka menulis seperti di film- film, pergi ke sebuah taman, duduk disana dengan secangkir kopi, secarik kertas dan pena, lalu kemudian mulai menulis. Juga bukan tipe orang yang selalu menulis di depan komputer dan sengaja menyediakan waktu luang seharian untuk menulis. Kadang meski hal itu pernah saya lakukan, hanya mendapatkan sebuah layar yang masih kosong, malahan yang lebih parah, saya urung menulis dan asyik browsing sana- sini.

Menulis dengan dead-line juga pernah saya ikuti, sebagian ada yang berhasil, kerap gagal. Dan tulisan saya tidak menghasilkan tulisan yang bagus ketika saya iringi dengan sikap buru- buru. Menulis di waktu sempit sering menghasilkan tulisan yang berbobot, namun cara ini tidak begitu efektif. Karena saya tidak suka menulis seolah dikejar waktu.

Sejauh ini, saya menulis hanya ketika ada niat menulis dan ketika ada hal yang ‘harus’ saya tulis. Jadi, saya tidak punya tips apapun dalam menulis. Inspirasi untuk menulis kadang datang dari tempat yang ‘tidak biasa’, seperti saat BAB di toilet di pagi hari, ketika membersihkan kamar atau ketika dalam perjalanan pulang ke rumah: di bus, motor dan sebagainya.

Menulis bisa disebut aktifitas yang gampang- gampang susah. Namun ketika menulis menjadi hal yang menyenangkan, menulis itu tidaklah sulit. Apalagi jika kita adalah tipe orang yang suka membaca. Kita sudah punya satu modal yang cukup untuk mulai menulis.

Seragam Kerja Harga Ratusan Juta

JUDUL diatas adalah makna kiasan, harga sebenarnya boleh jadi murah bahkan bisa diberikan gratis oleh instansi terkait secara cuma- cuma. Namun akan berbeda lagi ceritanya jika orang- orang yang ingin mengenakan seragam itu berkeinginan kuat dan memaksa diri mendapatkannya.

“Asal kau tahu, diluar sana banyak orang yang rela menghabiskan uang ratusan juta cuma untuk beli seragam kerja”

Sudah jadi rahasia umum bahwa di negeri ini pungli (pungutan liar), suap- menyuap dilakukan secara berjama’ah. Mulai dari kelas ikan teri yang di pinggir jalan hingga dalam kelas ikan paus yang meraup banyak uang rakyat. Saya benci berurusan dengan instansi yang korup ini, instansi yang katanya pelayan masyarakat/ pelindung masyarakat malah menjadi preman berseragam yang tugasnya tak beda jauh dengan penjajah. Tujuh puluh tahun sudah negeri ini merdeka, namun hanya mengganti penjajah saja. Dulu pejuang bangsa kita rela mengorbankan jiwa raga demi merebutkan kemerdekaan bangsa ini. Dan sekarang kita seenaknya saja mengotori kemerdekaan itu dengan perbuatan tercela, praktik korupsi di negeri ini merajalela.Penegakan hukum yang tumpul ke atas, tajam ke bawah membuat korupsi menjamur, hilang satu tumbuh seribu.

Kitalah orang- orang kecil yang tak tahu menahu persoalan, menjadi korban semua ini. Orang- orang yang saat sebelum masuk kerja membeli seragam harga ratusan juta itupun akhirnya melakukan banyak cara agar uangnya kembali. Balik modal, katanya. Akibatnya saat mereka bekerja, maka pelayanan umum yang semestinya menjadi hak masyarakat menjadi sasaran empuk untuk dijadikan lahan praktik korupsi, pembuatan SIM dipersulit. Jika ingin selesai maka harus membayar uang lebih kepada oknum yang tidak bertanggung jawab. Pelayanan rumah sakit juga demikian, sudah tahu pasien membutuhkan perawatan segera malah disuruh isi formulir dahulu dan membiarkan pasien menunggu kesakitan. Sektor Pendidikan juga tak luput dari asap hitam, dana pendidikan yang sejatinya untuk tunas bangsa, dikorupsi demi kepentingan pribadi. Tidakkah Tuan- Tuan menyaksikan nasib pendidikan bangsa ini? Sekolah berlantai tanah, gedung yang hampir ambruk, akses jalan ke sekolah yang ekstrim. Tidakkah Tuan semua punya mata untuk melihat?

Kenapa sih? Ngotot sekali ingin menjadi ini- itu dengan membayar banyak uang? Bukankah akan lebih baik jika uang sebanyak itu dijadikan modal untuk membuka usaha? Dijadikan modal berdagang? Selain itu juga bisa mengurangi angka pengangguran dan menyerap tenaga kerja. Kenapa kita tidak berpikir lebih jernih dalam menyikapi persoalan ini?

“Jika tujuan kita bekerja adalah mencari uang, mengapa kita rela menghabiskan banyak uang hanya untuk menerima upah yang tak seberapa?”

Ayolah, berpikir lebih jernih.

Kebanggaan? Gengsi? Aduh, kacau sekali jika hal ini dijadikan alasan. Naif sekali rasanya, menyogok ratusan juta hanya untuk bekerja bangga- banggaan dengan seragam kerja. Namun, semua itu adalah hak kalian, terserah Anda, saya hanya mengingatkan. Bahwa masih ada banyak hal yang lebih berguna daripada menghabiskan uang sebanyak itu untuk membeli seragam kerja.

Rumah Kita Nanti

Jika kubangun rumah nanti, Sayang
Letaknya tak jauh dari rumah orangtuamu
mudah dicapai oleh orangtuaku
Pun tak sulit ditempuh dari tempatku bekerja
Agar jarak tak menjadi alasan
Kita berkumpul jika hari libur

Jika kubangun rumah nanti, Sayang
Ukuran rumahnya tidaklah besar
Namun kita punya halaman luas
agar bisa menanam pohon
tanaman hias, dan bermain kejar- kejaran

Rumah kita nanti, Sayang
Dindingnya pelepah kayu
Atapnya daun rumbia
berlantaikan tanah
Bila siang tak akan panas
jika hujan tak takut basah
Bila malam datang
kita akan duduk di teras depan
membicarakan masa depan
sambil menatap bulan dan bintang
Biar mata leluasa memandang ciptaan Tuhan

Rumah kita nanti, Sayang
Dibangun dengan pondasi kepercayaan
Berdinding kehangatan yang kusebut kesetiaan
Agar kita hidup disana, beranak dan bercucu
Hingga tua
Hingga tutup usia

Jika kubangun rumah nanti, Sayang
hanya kepadamulah aku pulang

Mas Kawin Sepucuk Buku

Usia Bung Hatta itu baru 19 tahun, tapi dia sudah sekolah di Handels Hogeschool (kelak sekolah ini disebut Economische Hogeschool, sekarang menjadi Universitas Erasmus Rotterdam. Masih muda sekali, anak muda dari Sumatera ini sudah sekolah di tempat paling top dunia. Dan jangan lupa, dia datang dari negara jajahan, bayangkan sendiri, bagaimana inlander yang sekolah di kampus top Belanda. Tahun 1921, saat dunia masih “terbelakang” soal transportasi, pendidikan dan sebagainya.

Pendiri bangsa kita dulu memang orang-orang hebat. Bung Hatta, misalnya, itu jelas sangat dahsyat. Karena hari ini pun, jika usia kalian 19 tahun, diterima di Universitas Erasmus Rotterdam, orang-orang akan berdecak kagum. Hatta sudah melakukannya hampir 100 tahun silam.

Bung Hatta telat lulus kuliah, bukan karena dia bodoh, tapi dia sibuk dalam pergerakan. Senjata utamanya adalah tulisan. Juga aktif di organisasi. Pergi dia ke Frankfurt, bukan untuk hadir di book fair sana, tapi mengikuti sidang Liga Menentang Imperialisme, sepulang dari sana, Hatta ditangkap Belanda dengan tuduhan mengikuti organisasi terlarang. Dipenjara di Rotterdam, membela diri di pengadilan lewat tulisan yang mengaum buas, membuat hakim sana termehek-mehek, membebaskannya.

Pendiri bangsa kita dulu memang orang-orang hebat.
Jika Hatta ini memilih tetap di Belanda, boleh jadi dia akan menjadi bangsawan hebat di sana. Kaya raya, terkenal, namanya meng-Eropa, tapi dia memilih pulang, berjuang mengurus kemerdekaan negaranya. Padahal buat apa? Banyak loh, negara2 persemakmuran, yang hari ini justeru makmur sentosa dengan tetap dibawah negara penjajahnya dulu. Tapi tidak bagi Hatta, dia pulang–hanya untuk kemudian ditangkap Belanda dan diasingkan di negeri sendiri. 9 tahun Hatta diasingkan, salah-satunya ke Digul sana, itu tetap tidak menghentikan daya juangnya. Lewat tulisan2 yang semakin mengaum, dia mengirim semangat, ide-ide, prinsip perjuangannya.

Pendiri bangsa kita dulu memang orang-orang hebat. Mereka terdidik, terhormat, dan hidupnya, amboi, sangat sederhana. Tidakkah kalian pernah tahu, Kawan, Bung Hatta itu bahkan hingga mati tak terbeli sepatu yang dia idam-idamkan. Istrinya, Rahmi, bahkan tak bisa membeli mesin jahit yang dia inginkan. Nah, sebagai topnya, ijinkan saya beritahu sebuah rahasia kecil, Hatta baru menikah di usia 43 tahun, 3 bulan setelah Indonesia merdeka (karena dia terlalu sibuk dengan pergerakan), dia adalah wakil presiden saat menikah, kalian tahu mas kawin yang dia berikan? Bukan uang, bukan emas berlian, dia hanya bisa memberikan sebuah buku kepada Rahmi, buku yang dikarangnya sendiri saat dibuang ke Banda Neira.

Pendiri bangsa kita dulu memang orang-orang hebat.
Maka lihatlah pejabat, generasi penerusnya. Baru juga level rendahan, sudah bisa bikin pesta mewah pernikahan anaknya di hotel-hotel binta lima. Baru juga beberapa tahun jadi pejabat, mobilnya sudah kinclong tak terbayangkan, rumah mewah di mana2, jangan tanya sepatunya. Untuk kemudian, tanyakan apa prestasi orang-orang ini saat mudanya? Nggak jelas. Pendidikannya? Kita tahu sama tahu, ijasah palsu pejabat di negeri ini seperti gunung es. Atasnya saja yang nampak kecil, bawahnya jadi rahasia umum.
Tapi tidak mengapa. Semoga dengan membaca kisah Hatta, kalian akan terinspirasi.

Saya percaya, negeri ini masih memiliki orang-orang yang peduli. Hanya lewat orang-orang inilah kita bisa mewarisi hakikat kemerdekaan yang sebenarnya. Yang terus bekerja dalam senyap, mendidik sekitarnya. Guru-guru di pedalaman yang penuh dedikasi, meski digaji rendah. Dokter, bidan, tenaga medis di pelosok2 yang terus bekerja. Abdi negara yang terus amanah. Ibu rumah tangga yang terus menanamkan pemahaman terbaik bagi anak-anaknya. Dari sanalah kita bisa memperbaiki banyak hal.

Saya percaya, besok lusa, kita masih bisa melahirkan generasi seperti Bung Hatta. Yang semuda itu, 19 tahun, sudah melanglang buana ke benua seberang, untuk kemudian pulang, membawa seluruh kecemerlangan pemahaman. Bermanfaat bagi banyak orang. Hidup bersahaja hingga mati.

*Tere Liye

**Tulisan ini saya salin dari halaman Facebook milik Tere Liye, yang tinggal di sini.

Kemerdekaan

Terlalu banyak masalah di negeri kita ini, mulai dari harga daging, sampai guru2 yang bisa2nya dan teganya hanya dikasih honor 250-300rb. Mulai dari pengendara motor yang naik ke trotoar, melawan arus, hingga pejabat setingkat gubernur yang asyik sekali merokok di kantor pemda–padahal dia sendiri yang mengeluarkan peraturan dilarang merokok. Sebagian besar masalah itu tentu saja warisan masa lalu, sejak Indonesia ini merdeka. Maka, hanya orang nekad saja yang mau berebut jadi pemimpin padahal dia tahu persis masalahnya banyak.

Lantas? Jika sudah kadung banyak masalahnya, apakah solusinya tidak ada? Tentu saja ada. Tidak rumit, sederhana sekali. Hanya saja, di negeri ini, semua hal dibungkus dengan politik kepentingan, jadilah runyam. Kita tahu sekali karakter orang Indonesia soal ini, yang rumit dibikin tambah rumit, yang sederhana, mari kita buat rumit.

Hukum. Hanya itu solusinya. Tegakkan hukum setegas mungkin. Serius. Tanpa ampun.
Pemerintah fokus saja di bagian ini. Mulai dari atas, bersih hingga ke bawah, dibersihkan semua benalu, semua kotoran yang menemepl di sistem hukum Indonesia. Pegang kata-kata saya, sekali beres soal penegakan hukum di negeri ini, maka banyak sekali masalah yang selesai dengan sendirinya. Mulai dari masalah paling serius, korupsi. Kita butuh ratusan contoh orang2 yang ditembak mati, atau digantung, keluarga mereka dimiskinkan, seluruh hak politiknya diberangus. Tanpa ampun. Maka dengan sendirinya banyak sekali masalah selesai.

Kenapa infrastruktur Indonesia itu jelek? Karena banyak yang korup. Jalan pantura misalnya, berpuluh tahun, habis uang negara hanya untuk perbaikan. Stupid sekali memang. Belum lagi bicara soal bendungan, jembatan, sekolah-sekolah. Bangunan yang seharusnya tahun 20 tahun, baru tiga tahun sudah hancur, semua masalah itu asalnya dari korupsi. Jika negara kita serius menegakkan hukum, para koruptor benar2 dihinakan, diinjak2 habis, infrastruktur kita akan membaik dengan sendirinya, karena uang bisa dihemat, penggunaannya bisa akurat, dan uang yang habis percuma utk perbaikan2 itu bisa utk hal lain, gaji guru misalnya.

Tapi apa yang dilakukan oleh rezim baru ini? Mereka bermain2 soal korupsi ini. Bahkan sejak awal berkuasa, mereka melindungi kelompoknya–orang2 kepercayaannya, untuk ganas sekali menghabisi kelompok lain. Berbusa saat kampanye memuji KPK, menjadikan KPK sebagai alat jualan, tapi mereka justeru menginjak2 KPK, mengkhianatinya, mulai dari pernyataan yang tidak bersahabat, pimpinan KPK kenak kasus ecek2, hingga yang lebih serius lagi, mempersenjatai lembaga lain untuk melawan KPK. Lihatlah hasilnya? Penerimaan pajak kalian mengkhawatirkan bukan? Pertumbuhan ekonomi menurun? Kurs dollar menggila? Pemerintah bisa berbual dengan bilang karena ekonomi dunia melambat, tapi entah hingga kapan mereka akan menyadari: semakin banyak orang yang tidak peduli lagi dengan pemerintah sejak kalian mengkhianati soal perlawana korupsi.

Kita sibuk bicara tentang revolusi mental? Itu brilian memang, tapi akar dari revolusi mental adalah mendidik 250 juta lebih warga negara Indonesia agar taat hukum dan aturan. Kenapa di jalan itu orang-orang beringas? Naik trotoar? Melawan arus? Karena pejabat dan aparatur negara sendiri yang mencontohkannya begitu. Tanya ke anak2 balita, apa tugas polisi lalu lintas? maka jawabannya tidak mengejutkan jika mereka bilang: “minta uang.” Tegakkan hukum secara serius, maka kita bisa membawa revolusi mental jauh sekali. Mulailah dari kalian wahai para pejabat. Bukan sebaliknya, bicara tentang revolusi mental, tapi nepotisme masih kental sekali–yang bahkan bisa membuat tutup mata atas kinerja/prestasi sesungguhnya. Itu sih sisa warisan sejarah kerajaan, dul. Ini sudah 2015, tidak jaman lagi. Mulailah dari menegakkan hukum dari pejabat2.

70 tahun Indonesia merdeka, kita tidak akan pernah bisa membereskan banyak masalah tanpa serius menegakkan hukum. Maka, fokus saja di soal hukum ini. Benar-benar fokus, kerahkan seluruh sumber daya untuk memastikannya, maka dengan sendirinya, rakyat yang terpesona melihat perubahan besar2an akan mulai semangat bahu-membahu dengan pemerintah. Harapan itu akan membawa kita jauh sekali, ekonomi akan tumbuh, kurs rupiah akan menguat, pengangguran berkurang. Fokus saja bereskan soal hukum ini, maka masalah lain akan pulih dengan sendirinya, bahkan mengantri, buang sampah sesuai tempatnya pun orang2 bersedia, karena mereka tahu resikonya jika tidak mengantri.

Tapi jika kalian hanya main-main saja, asyik beretorika, bilang kita masih mungkin dapat pertumbuhan ekonomi 7%, sementara koruptor dibiarkan, pejabat dengan rekening gendut dibiarkan, sorry my man, kelas menengah yang dari sanalah ribuan triliun uang pajak berasal akan berpikir waras. Ngapain pula mereka bayar pajak ribuan triliun, sementara uangnya cuma jadi bancakan rezim berkuasa?
No way!

Dirgahayu RI yang ke-70, semoga semakin banyak yang peduli dengan negeri ini.

*Tulisan ini saya salin dari halaman Facebook resmi milik Tere Liye, yang tinggal di sini.

Kenapa gaji guru rendah di Indonesia–terutama di pelosok-pelosok sana? Karena kita masih berpikiran pendek, lebih suka menghabiskan uang untuk makan, baju, gagdet, dan kesenangan fisik lainnya. Kita tidak mau bayar mahal untuk pendidikan yang justeru besok lusa bisa membuat kita bisa beli makanan, baju dan gagdet itu semua. -Tere Liye

Hal- Hal Menarik

Sebentar lagi kita akan merayakan 70 tahun Indonesia merdeka, mari kita tengok beberapa hal menarik di negeri kita. Tenang, tulisan ini bukan pidato serius, tulisan ini hanya untuk melihat hal2 yang mungkin menarik–yang kita abaikan:

1. Jumlah sepeda motor di Indonesia adalah 86 juta motor.

Banyak sekali. Mungkin Indonesia salah-satu negeri dengan pengguna sepeda motor paling banyak. Nah, meski kita punya motor 86 juta, belum ada satupun pengendara motor Indonesia yang berlaga di MotoGP. Semoga besok lusa, ada satu biker kite yang bisa lebih jago dibanding Rossi, Marquez, dkk. Pun, dari 86 juta motor itu, nyaris semuanya merk luar negeri.

2. Jumlah buruh migran Indonesia adalah kurang lebih 6,5 juta orang.

Ada banyak penduduk Indonesia yang bekerja di luar negeri, 6,5 juta tersebardi 178 negara, dengan Malaysia paling banyak (hampir 2juta). Berapa jumlah uang yang buruh migran kirimkan ke negeri kita? Tahun 2014, data BI mencatat lebih dari 8,3 milyar dollar, dengan kurs hari ini, itu setara 107 trilyun rupiah. Dahsyat sekali memang. Bayangkan jika 6,5 juta ini mendadak pulang, dan minta pekerjaan ke pemerintah, dijamin mencret pemerintah. Maka, sejatinya, mendesak sekali perlindungan bagi buruh migran Indonesia di LN. Bila perlu, mungkin saja, kita perlu satu kementerian khusus: Menteri Buruh Migran. Bertahun-tahun Indonesia merdeka, buruh migran ini tidak pernah didukung serius, padahal boleh jadi, ini bisa jadi “senjata andalan Indonesia” di masa depan. Hong Kong misalnya, ada kurang lebih 150 ribu buruh migran kita di sana. Nah, bagaimana membuat ekonomi Hong Kong guncang? Pulang saja semua buruh migran kita, penduduk Hong Kong akan kelabakan, cucian numpuk, piring2 kotor tak terbilang, anak2 tak terurus, tidak ada lagi yang bantu2 di rumah. Saya bergurau? Tidak. Saya sedang serius ini.

3. Buta aksara Indonesia tinggal 6%

Saat merdeka, Indonesia itu 90% buta aksara. Alias, 9 dari 10 penduduknya, tidak bisa baca. Hari ini, tinggal 6% saja. Ini salah-satu capaian penting 70 tahun Indonesia merdeka. Masih tinggi jika dibandingkan negara2 maju, tapi jangan lupa, penduduk kita itu buanyak, dan negara kita itu luaaaas, jadi tentu tidak mudah mengatasinya. Nah, ada hal yang masih memprihatinkan, data Kementerian Agama, 54% penduduk muslim di Indonesia buta huruf Al Qur’an. Artinya, 1 di antara 2 dari penduduk muslim Indonesia, tidak bisa membaca Al Qur’an. Blas, tidak mengenal huruf alif, ba dstnya.

4. Pengguna internet Indonesia 88 juta.

Bayangkan, jika internet sudah ada saat Soekarno Hatta masih hidup. Saat mereka pidato, jutaan orang akan meng-share screenshoot lautan api, berbagi quote, bahkan mungkin Bung Karno bisa update status: “Rengasdengklok, bicara dengan Kawan Hatta, Kawan Syahrir, dll, tentang kemerdekaan”, lantas kita semua akan segera like dan share. Pun Ibu Fatmawati update instagram: “Bendera sedang dijahit”.
Tidak terbayangkan, 70 tahun Indonesia merdeka, pengguna internet negeri kita luar biasa banyak. Anak muda Indonesia, menguasai daftarnya. Pun trending topics, jangan ditanya, “akuchayangkhamubhanget” bahkan bisa menaklukkan cuitan Obama, atau tweet artis pesohor hollywood di tangga trending topics dunia. Lagi2 saya serius. Ini bisa menjadi amunisi bangsa kita di masa depan, jika diurus dengan optimal, positif dan bermanfaat.

5. Kebebasan pers top markotop

Salah-satu blessing 70 tahun Indonesia merdeka adalah kebebasan pers. Kebebasan bicara. Negeri kita tiada tanding. Dulu, tahun 1940, situ iseng menulis “Belanda sialan”, dijamin masuk kandang. Jangankan 1940, rezim orde baru saja tidak bisa. Sejak Indonesia belum merdeka, tercatat buanyak sekali media massa yang dibredel. Nah, hari ini, kita bisa bebas bicara. Pers bebas meliput. Kita patut berterima-kasih kepada pemimpin2 yang terus melestarikan kebebasan pers sejak jaman reformasi. SBY misalnya, meski pernah dibilang kayak kerbau (lambat), beliau tidak mengamuk. Coba jika kita masih hidup di jaman Orba, bisa hilang ditelan angin pelakunya. Semoga situasi ini tetap terjamin. Kita memang perlu mendidik masyarakat agar lebih dewasa, karena kebebasan tentu ada batasnya, tidak bisa semau-maunya, besok lusa, semoga negeri kita semakin matang.

Masih ada banyak sekali catatan menarik, tapi sisanya biar menjadi PR kalian. Ada kolom komen di postingan ini, mungkin kalian bisa menambahkan fakta2, angka2 menarik tersebut.

*Tere Liye

**Tulisan ini saya salin dari halaman Facebook resmi milik Tere Liye yang tinggal di sini.

Follow

Get every new post on this blog delivered to your Inbox.

Join other followers: