Kenapa Nasi Padang Isinya Lebih Banyak Kalau Dibungkus?

PERTANYAAN ini sebetulnya sudah lama tertanam di kepala saya, hanya saja hari ini rasa penasaran saya terjawab sudah. Kenapa Nasi Padang isinya lebih banyak kalau dibungkus? Jawabannya saya dapat setelah mencoba browsing sana-sini.

Ceritanya begini.

Pada zaman penjajahan Kolonial Belanda waktu itu, di Sumatera Barat dan sekitarnya (termasuk Pekanbaru) rumah makan disebut dengan RM Ampera, seperti: RM Ampera Beringin, RM Ampera Siti Nurbaya dan lain-lain. Jamak ditemui rumah makan disana diawali dengan oleh kata ‘Ampera’ barulah disusul dengan nama RM itu sendiri.

Rumah Makan Padang adalah Rumah Makan yang eksklusif pada zamannya. Hanya kaum penjajah, saudagar kaya-raya yang bisa menikmati lezatnya rendang, gulai tunjang, dendeng, dan menu lainnya. Sebab daging, beras adalah komoditi mahal yang tak setiap rakyat bisa membelinya. Disinilah, sejarah itu dimulai. Para Pengusaha Rumah Makan menyadari bahwa saudara-saudaranya (pastinya orang Minang asli) juga layak menikmati makanan enak, terlebih lagi itu adalah makanan khas daerah sendiri. Lebih jauh lagi para Pengusaha menyadari bahwa banyak dari saudara mereka bekerja menjadi buruh kasar untuk Penjajah dan Saudagar kaya yang makan di Rumah Makan, dan saudara mereka ini membutuhkan tenaga dan gizi yang cukup agar sehat dan bisa bekerja dengan baik.

Entah siapa yang memulai, para Pengusaha Rumah Makan memberlakukan peraturan baru.Jumlah nasi yang dibungkus isinya lebih banyak daripada yang makan di tempat. Biaya makan di tempat dibebankan kepada Penjajah dan Saudagar kaya-raya sedangkan biaya makan dibungkus diberikan kepada para buruh dan para pribumi lainnya. Saat ini kita menyebutnya dengan ‘Subsidi Silang’. Kebijakan ini disebut sebagai dengan Ampera, singkatan dari ‘Amanat Penderitaan Rakyat’. Inilah asalnya mengapa Rumah Makan di Padang disebut dengan RM Ampera. Semangat Ampera ini masih bisa kita lihat, terbawa hingga detik ini. Tentu saja, nyaris di setiap tempat di seluruh Indonesia terdapat Rumah Makan Padang. Nah itulah alasan kenapa jumlah nasi yang dibungkus lebih banyak daripada nasi yang makan di tempat.

***Penuturan ini didapat dari salah satu Pengusaha Rumah Makan Padang, RM Beringin di kawasan Tabing Kota Padang. Postingan ini bukan official, masih diperdebatkan kebenarannya. Benar atau tidak, semoga kita bisa mengambil hikmahnya. Catatan ini berhutang kepada OKE77.

Perihal Kacamata dan Kehilangan

SEORANG pemuda mengirimkan sebuah pesan singkat melalui ponselnya kepada seorang gadis yang jauh disana. Pemuda itu mengabarkan kepada gadis tentang kedua orangtuanya sedang menonton konser dangdut Rhoma Irama di kotanya. Seperti melihat sebuah jalinan cinta yang tak terputus oleh waktu, pemuda itu hanya ingin bercerita.

Tetapi gadis itu sedang tidak dalam keadaan bahagia. Dia baru saja dilanda kehilangan. Gadis itu hanya membalas pesan singkat sekedarnya. Percakapan itu berlangsung singkat, tahulah si pemuda bahwa uang si gadis baru saja dicuri. Hanya saja si gadis baru menyadari kehilangan pada malam hari. Dompet dan kartu berharga masih tersimpan, yang dicuri adalah beberapa lembar uang biru dan merah. Si gadis menangis, bukan karena nilai uang yang hilang melainkan menyesali karena si gadis tak bisa menjaga barangnya sendiri, uang itu adalah upah yang didapatnya saat mengajar di Sekolah.

Pemuda itu mencoba menenangkan suasana, memberikan beberapa solusi agar tetap tenang dan ikhlas. Namun si gadis masih larut dalam kesedihannya. Dia menceritakan kepada si pemuda betapa beratnya merelakan sebuah kehilangan. Airmata gadis itu tumpah menyesali keadaan. Dalam pesan singkatnya, si pemuda mencoba bergurau dengan menanyakan:

“Apakah airmatamu sudah menjadi mutiara? Dengan begitu kehilangan uangmu akan terkembalikan”

Si gadis merasa gurauan tersebut terasa mengejek, “Dasar lelaki tak berperasaan!”.

Pemuda itu tetap mengajak bergurau, hingga tiba pada suatu percakapan tentang pemadaman listrik. Si gadis balik mengejek pemuda itu tentang pemadaman listrik yang baru saja dialami oleh pemuda.

“Bukankah jika listrik padam, kita hanya mencoba menyalakannya kembali?”. Ucap si pemuda.

“Bila terus menyala, tak perlu menyalakan (lagi) bukan?” timpal si gadis.

Pemuda itu menjelaskan tentang padamnya listrik beberapa waktu lalu. Si Pemuda itu bercerita bahwa itu adalah sebuah masalah yang harus dihadapi dan menjadikan itu sebagai momen pembelajaran. Namun sepertinya si gadis menolak untuk menerima pernyataan si pemuda. Pemuda itu tetap menjelaskan bahwa putusnya jaringan listrik kota membuat pembangkit listriknya lumpuh total. Itu adalah alasan yang sangat rasional, siapapun tak ada yang mau listrik padam.

“Tapi masalah adalah masalah, solusi adalah jawabannya” ucap si pemuda.

Namun si gadis pintar mengalihkan pembicaraan. Dia mengajak membicarakan sebuah konser musik di televisi. Si pemuda sadar, si gadis sedang mengalihkan pembicaraan. Lalu, percakapan itu berhenti sejenak saat si gadis hendak makan malam.

Malam makin larut, percakapan dilanjutkan kembali. Ponsel si pemuda bergetar, menerima pesan singkat dari gadis. Menu makan malam yang enak tak menyurutkan si gadis untuk membicarakan perihal kehilangan uang lagi. Sepertinya mengikhlaskan sesuatu itu memang sulit.

Si pemuda iseng bertanya tentang sebuah foto yang ada di facebook milik si gadis. Pada foto itu si gadis tak lagi mengenakan kacamata seperti yang ia kenakan saat terakhir kali bertemu.

“Cantik mengenakan atau tidak mengenakan kacamata?”

“Ah, pertanyaanmu menjebak”

“Jawab saja”

“Tahun lalu, terakhir kali aku lihat kau mengenakan kacamata, hingga sekarang aku hanya ingat kau mengenakan kacamata” ucap si pemuda, menolak memberi jawaban.

“Lalu, setelah melihat foto itu mana yang lebih cantik?” tanya si gadis lagi.

“Cantik itu hanya kau yang tahu, kacamata bukan penentu. Sebab kecantikan sejati ada disini, di hati. Mengenakan atau tidak, dimataku tetap enak dipandang.” Ucap Si Pemuda, berusaha untuk tidak menjawab pertanyaan.

“Kau sedang tidak menjawab pertanyaanku. Jawab saja cantik yang mana?” Si gadis tetap bersikukuh menanyakan pertanyaan yang sama.

Pemuda itu tetap pada pilihan untuk tidak menjawab sembari merangkai kata pelarian dari pertanyaan.

Si gadis pun masih terus melontarkan pertanyaan yang sama, bertubi-tubi pesan dikirimkan. Akhirnya si pemuda menyerah ia berjanji akan menjawab pertanyaan hanya bila si gadis tidak marah/tersinggung dan sebagainya yang berkaitan dengan perasaan.

“Lebih terlihat cantik mengenakan kacamata” jawab si pemuda.

Si gadis seperti tak percaya, “Ah, masa?” dia bertanya lagi. “Jika aku menjadi lelaki, aku tak bisa memilih. Kedua-duanya terlihat cantik”. Gurau si gadis.

“Hal terakhir dilihat, itu juga yang terakhir dikenang. Itulah kenapa wajahmu terlihat lebih cantik ketika mengenakan kacamata. Sebab, ketika melihat fotomu di Facebook tanpa kacamata, aku seperti melihat orang asing. Ucap si pemuda datar.

“Tidur, ngantuk”. Pesan terakhir yang disampaikan oleh si gadis.

Padahal masih banyak pertanyaan yang tersimpan dalam kepala pemuda itu. Segelas kopi yang dia seduh baru habis setengah tapi si gadis sudah memutuskan untuk tidur. Barangkali cinta seperti kopi susu, si pemuda minum kopi, begadang menunggu pesan si gadis sedangkan si gadis minum susu agar cepat tidur.

Setengahnya Lagi Dimana?

“Sayang, malam ini aku ingin bercerita padamu perihal sepotong kenangan masa kecil. Maukah kau mendengarnya?”

Ia tersenyum sembari menganggukkan kepala.

Baiklah, akan kuteruskan cerita ini untukmu.

Dulu, ada seorang anak kecil yang takut pada gelap. Ketika malam tiba, ia selalu berharap supaya malam ini ia bisa lebih cepat terpejam agar tak melihat lampu petromaks di rumahnya dipadamkan. Ia tak ingin melihat gelap. Ia selalu bersembunyi dibalik selimut ketika malam menjelang. Usia anak itu masih kecil, bahkan belum cukup umur untuk masuk sekolah, untuk itu maka setiap pagi hari ibunya mengajarkan beberapa huruf dan angka. Begitulah setiap harinya.

Pernah pada malam tertentu, anak kecil itu belum juga mengantuk. Siang tadi ia sudah menghabiskan banyak waktu untuk tidur. Matanya tak kunjung terpejam, ia berharap agar ayahnya membiarkan lampu petromaks menyala hingga pagi tiba. Kabar buruk, malam itu ayahnya mengantuk sekali. Lampu petromaks itu dipadamkan lebih awal. Anak kecil itu bersembunyi dibalik selimut lagi.

Dari sebuah lubang di dinding kamar, bulan terlihat lebih indah. Sepasang mata anak kecil itu tak henti menatap keindahan bulan. Meski hanya menatap dari balik selimut anak kecil itu cukup senang, kini ia punya ‘lampu’ yang tetap menyala diluar sana.

Keesokan paginya, anak kecil itu bercerita pada ayahnya perihal ‘lampu’ itu. Ayahnya tersenyum, ia bilang: “itu bukan lampu petromaks, itu adalah bulan”. Setelah kejadian itu, meski lampu petromaks telah dipadamkan ia tak begitu takut sebab ia masih bisa menatap bulan dari celah dinding kamar yang berlubang.

Beberapa malam selanjutnya, ayahnya mengajak anak kecil itu berjalan-jalan keluar. Mereka membuat api unggun di halaman rumah, menikmati malam sambil memanggang jagung yang dibeli tadi siang. Sayangnya malam itu bukan malam bulan purnama. Bulan hanya nampak sebagian saja. Anak itu bertanya-tanya pada ayahnya.

“Setengahnya lagi dimana?”

Ayahnya diam sambil tersenyum, menatap wajah anak laki-lakinya yang sebentar masuk sekolah. “Kelak jika kau besar, kau akan tahu jawabannya”. Katanya.

***

Kau tahu? Akulah anak kecil itu yang sejak malam itu berjanji untuk membuang semua rasa takut terhadap gelap. Dan akhirnya aku tahu bahwa bulan setengah itu tidak pernah ada. Bulan tetap utuh, tak pernah berubah. Bulan menyembunyikan setengah cahayanya pada bumi sebab pada saat itu kedudukan bulan berada tegak lurus terhadap garis penghubung antara bumi dan matahari sehingga hanya tampak setengahnya saja bercahaya. Namun bukan itu yang ingin kukatakan padamu malam ini.

“Apa?”

“Sebab setengahnya lagi tersimpan dalam senyummu. Setiap kali kau tersenyum, maka bulan selalu tampak bersinar penuh dimataku”.

*Cerita ini saya masukkan ke dalam Dwilogi Novel Sang Koki Listrik yang sebentar lagi rilis. Insya Allah.

Malam Ini Hujan Lagi

Kupikir, langit benar-benar sedih malam ini

Ia tak berhenti menitikkan airmata

Kupacu kencang sepeda motor tak henti

menari lincah diatas jalan aspal yang basah

sebab kuterlanjur tak peduli

pada hujan yang rindu pada tanah

 

Pakaianku basah sedangkan tubuh ringkih ini

bersembunyi dibalik jas hujan berwarna merah tua

Malam ini kita sama-sama menikmati

hujan yang turun, bedanya

 

Disana kau berharap

hujan turun lebih deras lagi agar

tidurmu nyenyak

Sedangkan aku

menggigil kedinginan diatas motor

berharap agar hujan segera reda.

*Puisi ini saya tulis setelah dua jam kehujanan diatas motor dalam perjalanan pulang ke rumah. Puisi spesial buat Iin.

Surat Buat Sahabat, Danu

Muara Enim, 16 Oktober 2013

Assalamualaikum, wr, wb.

Dua hari yang lalu, kita baru saja menghabiskan waktu bermain air, berenang kesana-kemari tak kenal letih. Kemarin kita saling kunjung-mengunjungi rumah, suasana lebaran masih begitu lekat hingga hari ini. Tadi malam, kau pergi meninggalkan kota kelahiran, ada begitu banyak mimpi yang sebentar lagi kau jemput di kota itu. Ah, aku kehilangan sahabat lagi.

Kau masih ingat siang itu? Ketika pulang sekolah, keringat begitu setia membasahi kulit kita. Lalu kita sempatkan untuk memberi banyak ruang kepada kaki, menjejakkan banyak langkah diatas rel kereta hanya untuk mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk berjalan kaki dari sekolah ke rumah. Sungguh pengalaman tak terlupa!

Sebentar lagi kau akan memasuki dunia kerja, dunia yang begitu berbeda dibanding dengan dunia waktu kita sekolah dulu. Ada banyak hal yang mesti kau pelajari, kau pahami. Ada banyak orang-orang baru yang akan kau temui, namun percayalah sahabat yang baik akan selalu ada di setiap suasana, yang selalu mengajak kepada kebaikan dan selalu mengulurkan tangan.

Nu, apapun yang terjadi nanti, tetaplah berjuang! Masa depan ada di tangan, ada pada kegigihan untuk bertahan. Aku menunggu banyak cerita dari tempat kerjamu nanti. Satu lagi, kemanapun kakimu melangkah, apapun yang terlihat mata, apapun yang terbesit dalam hati dan pikiran jangan pernah sekalipun melupakan iman dalam dada. Bawalah iman kemanapun kau pergi.

O ya, selamat ulang tahun, Nu. Selamat merayakannya sekali lagi, semoga Allah SWT selalu memberikan keberkahan usia kepadamu. Aamiin untuk setiap doa-doamu.

Surat ini adalah setruman semangat dariku, semoga cahaya semangatmu tak pernah padam. Percayalah bahwa langit selalu memiliki skenario terbaik, apapun yang terjadi, maka bersabarlah. Allah SWT selalu menyertai langkah-langkah kita. Salawat dan salam aku ucapkan kepada Muhammad Saw yang telah membawa pelita untuk kita semua. Teruslah melangkah, sahabat!

Wassamualaikum, wr, wb.

Tiga Cangkir Kopi

Hari ini aku menenggak tiga gelas kopi

ketiga-tiganya memiliki rasa yang sama

getir di ujung lidah

 

Aku hendak menambah gula

tapi percuma

kini tinggal ampasnya

 

Hidup bukan seperti secangkir kopi

yang jika terasa getir bisa kau tambah gula

Hidup adalah perjuangan nyata

atau “hidup hanya menunda kekalahan”

seperti yang Chairil ucapkan pada bait puisinya?

 

Harusnya aku tak minum kopi malam ini

hanya membuat mataku lelah

aromanya masih tertinggal di ujung lidah

namun pada sesapan terakhir aku tersadar

bahwa getir kopi tak segetir hidupku yang kehabisan gula

 

Follow

Get every new post on this blog delivered to your Inbox.

Join other followers: