Berkunjung ke Museum Kota

PEKAN LALU saya dan para sahabat mengunjungi sebuah tempat dimana kata dan kenangan tersimpan dengan baik, Museum Sultan Mahmud Badaruddin, Palembang. Museum ini terletak di Kota Palembang, tepat di seberang sungai Musi, sejajar dengan Benteng Kuto Besak.

Bukan sekedar menghabiskan waktu untuk jalan-jalan saja tapi saya ingin menjawab rasa ingin tahu saya yang belum terjawab tentang keberadaan tempat ini. Meski sudah sering berkunjung ke Kota Palembang tapi rasanya belum lengkap jika belum mengunjungi Museum Kota ini.
Museum ini merupakan Benteng Kuto Lama yang dimana Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo dan Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758) memerintah. Pada tahun 1821, tempat ini diserang oleh Tentara Belanda, lalu pada 1823 tempat ini berhasil dihancurkan oleh pemerintah Belanda sebagai aksi balas dendam terhadap Sultan Mahmud Badaruddin karena telah membakar Loji Aur Rive. Pada tahun 1825 tempat ini dibangun kembali menjadi tempat sekretariat gubernur dan tempat tinggal. Dan kini, bangunan ini menjadi sebuah museum yang menyimpan banyak peninggalan arkeolog, kebudayaan, sastra dan cerita perjuangan kala melawan penjajahan. Ada banyak sekali yang saya lihat dan saya baca ketika berkunjung ke museum tersebut, mulai dari pakaian tradisional, pelaminan (tempat acara pernikahan), alat menenun, aksara-aksara lama yang tak saya mengerti artinya, dan lain-lain.
Akhir pekan atau waktu libur harusnya dijadikan waktu yang tepat untuk berkunjung ke tempat yang belum pernah dikunjungi, setidaknya menatap tempat-tempat yang baru mungkin bisa membuka pikiran kita yang selalu tertuju pada rutinitas membosankan.

Tahun ke-3 di Pembangkit Listrik

“Bekerja di sebuah Pembangkit Listrik bukanlah untuk gengsi-gengsian, pamer dan sebagainya. Bekerja di Pembangkit Listrik adalah kesetiaan, ibadah yang memerlukan tenaga ekstra kuat, hati yang lapang dan mata yang selalu terjaga”. – Sang Koki Listrik

SALAH besar bila sebagian orang menganggap bekerja di Pembangkit Listrik adalah pekerjaan yang baik dan tak selalu benar orang yang menganggap bekerja di Pembangkit Listrik adalah hal yang buruk. Bagi saya, apapun pekerjaannya yang penting dilakukan dengan sepenuh hati, bertanggung jawab dan ikhlas. Sebab pekerjaan yang bermanfaat bagi orang banyak akan menjadi ladang pahala bila dilakukan dengan ikhlas.

Tahun ini adalah tahun ketiga saya dan rekan lainnya bekerja di Pembangkit Listrik. Di usia yang masih relatif muda, saya sudah menjalani pekerjaan yang mungkin sangat berbeda dibanding dengan teman sebaya yang lainnya. Menjalani hari-hari sebagai karyawan yang bekerja shift membuat pola hidup saya berputar 180° dari kehidupan normal. Namun kabar baiknya saya tetap menikmati hari-hari dengan hati ceria, segala kekesalan, keluh-kesah sudah saya buang ke dalam kotak sampah.

Ada hal-hal yang mungkin tak pernah kalian tahu dari pekerjaan sebagai karyawan Pembangkit Listrik. Dibalik seragam kerja, di dalam helm kerja, dan dibalik senyum ramah. Ada duka disana. Tak layak bagi saya untuk menuliskan atau menggambarkan semua kehidupan pekerja Pembangkit Listrik. Biarlah saya simpan sendiri untuk suatu hari nanti saya ceritakan kepada seseorang yang layak saya cintai tentang betapa susahnya menjaga pengukus raksasa untuk tetap menyala, mengalirkan molekul listrik dan menjaga cahaya tetap menyala.

Mungkin catatan kecil ini akan menjadi pengingat bagi diri untuk selalu mensyukuri sesuatu yang sudah dimiliki tanpa sesal di hati. Sungguh, saya sedang tak ingin mengakhiri catatan ini. Tapi saya harus pergi, bekerja lagi.

 

-Regards AGUS SETIAWAN.

“Ketika kau benar-benar mencintai seseorang, maka usia, berat, tinggi, jarak, hanyalah bilangan angka. Mau putih, kuning langsat atau hitam semua hanyalah warna. Sebab cinta selamanya indah.”

*Dwilogi novel ‘Sang Koki Listrik’ rilis bulan Agustus tahun ini. Insya Allah. :)

Sepakbola Ria

SAYA suka bermain sepakbola sejak pertama kali diajak oleh teman sebaya semasa SD dulu. Kami menghabiskan waktu sore bermain bola di lapangan hijau tepat di depan masjid. Disana ada banyak anak tetangga yang bermain, siapa yang bawa bola dialah yang menjadi kiper, tentu saja bertelanjang kaki, berlari kesana-kemari menggiring bola tanpa beban di kepala. Tertawa, bahagia, ceria meski harus terjatuh saat menendang bola. Dan ketika senja menyapa, kami pulang ke rumah dengan membawa tetes keringat masing-masing.

Beberapa tahun kemudian, sepakbola masih menjadi olahraga favorit saya di sekolah hingga tamat sekolah dan saat kini. Meski saya menyukai olahraga ini tapi mohon jangan bandingkan saya dengan pemain bola nasional yang ada, sungguh bahkan setiap kali permainan saya tidak pernah berhasil memasukkan bola ke gawang lawan. Ketika mendapat giliran menjadi kiper pun saya selalu menjadi kiper yang baik hati, pasalnya bola yang ditendang lawan selalu berhasil menerobos pertahanan yang saya buat. Mungkin terlihat konyol. Payah!

Kini, anak-anak tetangga yang dulunya sering bermain sepakbola di lapangan hijau depan masjid sudah menjadi lelaki dewasa, ada yang pergi merantau ke pulang seberang, ada juga yang sudah memiliki anak kecil dan ada juga yang telah pergi dan tak pernah kembali. Saya hanya tersenyum kecil tiap kali melewati lapangan hijau yang dulunya menjadi tempat kami bermain sepakbola. Bayang-bayang anak kecil yang berlarian mengejar bola, tawanya dan saya menyaksikan bayangan saya masih tertinggal disana. Agus kecil yang sangat bahagia ketika menendang bola.

Sore tadi, seperti puluhan hari sebelumnya. Saya dan rekan-rekan kerja bermain sepakbola lagi di lapangan hijau depan asrama namun dengan suasana berbeda, saya sudah mengenakan sepatu bola dan orang-orang yang lebih jago dalam menggiring bola.

“Maukah kau kuberitahu tentang sebuah rahasia kecil?”

“Bahwa hingga saat ini saya belum pernah sama sekali berhasil memasukkan bola ke gawang lawan”.

“Ini rahasia kita berdua saja ya, jangan bilang siapa-siapa!”

-Regards AGUS SETIAWAN.

Rumah Yang Sebenarnya

DI televisi mereka membicarakan tentang infrastruktur yang buruk, jalanan yang berlubang, macet dan bunga trotoar yang acap kali mengganggu pemandangan kota. Penggusuran tempat tinggal atau kisah tikus kantor yang berdasi. Di koran, kubaca tentang perihal calon pemimpin yang menceritakan banyak visi dan mimpi bagi para rakyatnya.

Di kota kelahiran, jalan-jalan yang berlubang sudah diaspal, baleho-baleho para calon pemimpin menghiasi taman kota. Pemandangan seperti ini menjadi agenda berkala yang sering terlihat mata. Di pasar tradisional, orang berlalu-lalang mencari kebutuhan dapurnya, para penjual sayuran dan pembeli bergelut dengan matahari yang kian meninggi.

Di rumah, masih saja lengang. Kursi malas yang kosong ditinggal pergi oleh tuannya, televisi yang tak menyala, kompor yang tak ada api sebab ditinggal emak pergi berjualan. Pagi hingga petang hari adalah sepi. Sedangkan anak-anaknya masih saja gelisah menatap hari dari balik jendela yang bisu, menghela nafas pelan seolah baik-baik saja. Begitulah setiap hari. Sementara pintu-pintu, jendela-jendela, atap-atap dan tanaman hias adalah saksi tentang hari yang berlalu.

Ruangan yang lengang, pintu yang terbuka setengah bukanlah rumah, sebab aku tak menemui siapa-siapa disana. Mungkin rumah sebenarnya adalah orang-orang mengerti kita yang menjadi tempat pulang setelah menempuh perjalanan nan lelah.

Dan saat ini, di langit malam, bintang-bintang menjanjikan sebuah mimpi pada diri tentang mata yang tetap terjaga hingga pagi.

Follow

Get every new post on this blog delivered to your Inbox.

Join other followers: